Pria yang tidak percaya cinta

1083 Words
Akila tidak bisa berhenti tersenyum, akhirnya dia akan menikahi pria yang sangat dia cintai itu. Akila sudah sangat lama berpacaran bersama dengan Brian, sejak zaman SMA mereka terus bersama. Selisih umur mereka juga hanya satu tahun. Akila kini baru memasuki smester tiga dan Brian yang sudah smester lima. Bahkan beberapa teman kampus sudah mengetahui kalau dirinya dan Brian berpacaran. Hanya saja satu yang masih Akila takuti, yakni respon papahnya Brian. Selama ini pacarnya itu tidak pernah berani membawa Akila ke rumahnya, dengan alasan Papahnya adalah seseorang yang sulit untuk bergaul. Tapi setahu Akila, Brian tidak memiliki sosok ibu. Jika ditanya dia selalu menjawab, “Hanya Papah yang aku miliki, tolong jangan membahas ini.” Tapi Akila benar benar penasaran sekarang, dia harus tahu seluk beluk Brian jika akan menikahinya bukan? “Kak? Lagi ngapain?” Akila menengok dan mendapati adiknya sedang berada di ambang pintu, Rika namanya. “Katanya Kakak mau kawin ya?” “Nikah, kawin mah kucing,” ucap Akila mendengus kesal. “Keluar sana, jangan masuk area kamar Kakak.” “Um…. Tapi aku penasaran, Kak,” ucap Rika masuk dan ikut tengkurap di samping Akila, yang mana membuat Akila segera menutup buku diary miliknya. Tidak ingin siapapun membaca. "Apaan?" "Tentang Kak Brian, emang bener dia gak punya Mama ya?" Akila menjadi sensitive, dia mendorong bahu adiknya yang berusia 15 tahun itu untuk pergi. "Sana! Jangan ganggu Kakak. Gak sopan tau pertanyaan kamu itu." "Ehh kan cuma nanya doang, maaf dong gak bermaksud gitu." "Udah sana keluar!" "Iya iya ini keluar," ucap Rika yang segera melangkah keluar. Hari ini Akila tidak ada jadwal kuliah, jadi dia diam di rumah sementara kedua orangtuanya pergi ke pabrik. Dan adiknya? Dia izin karena tadi pagi dia merasakan sembelit pada perut. Membuat Akila berakhir harus menjaga adiknya kini. Suara telpon mengalihkan pandangan Akila, itu dari Brian. Yang membuatnya segera mengangkat panggilan itu dengan penuh kesenangan. "Hallo, Kak Bi?" "Hallo, Cantik. Lagi ngapain?" "Tiduran, aku bosen gak ada kuliah. Mau ketemu Kakak." Brian terkekeh di sana. "Sama Kakak juga kangen sama Kila. Tapi Kakak harus ke Caffe sekarang, nanti malem gimana?" "Gak bisa, Kak. Ibu larang aku ketemu Kakak malem malem." "Yah… gimana dong?" Akila hanya menghela napasnya, dia benar benar merindukan sosok kekasihnya itu. Masih teringat bagaimana Brian meminta Akila menjadi pacaranya saat Akila baru masuk SMA sementara Brian menjadi panitia penerimaan siswa baru sebagai ketua osis. "Kakak….," Rengek Akila. "Kila…." "Ih, kakak nyebelin!" Brian tertawa di sana. "Sebenarnya ada yang mau kakak omongin sama kamu." "Apa itu, Kak?" "Kakak gak mau kamu denger dari orangtua kamu nanti malem, jadi gak papa Kakak ngomong sekarang ya?" "Serius ya?" Akila mendudukan dirinya. "Kenapa? Bilang sama Kila." Brian tertawa di sana. "Sebenarnya Kakak gak punya orangtua, Kakak anak yatim sampai usia lima tahun. Papah Kris ngangkat Kakak jadi anaknya pas kecil Kakak jualan di jalan. Kamu gak masalah sama itu?" Akila menarik napasnya dalam, ternyata ini alasan Brian tidak pernah mempertemukannya dengan orangtuanya atau mengajaknya ke rumahnya. Padahal dia tidak mempermasalahkan itu. "Kakak, Kila terima kakak apa adanya. Terlepas kakak siapa, Akila akan tetep sayang sama Kakak." "Terima kasih, Sayang. Boleh dapet cium gak?" Akila terdiam, mengingat lima hari lalu Brian pernah mencium pipinya. Padahal dia adalah penganut no touch before mariagge. Itu membuat emosi Akila kembali datang. "Yang? Marah lagi ya karna ciuman itu? Maaf ya, aku gak tahan soalnya." "Hmm…. Iya gak papa, jangan gitu lagi ya. Nanti aja pas udah sah sih." "Iya, Kakak minta maaf ya? Tapi kiss virtual boleh?" Akila tersenyum di sana. "Muachhh!" "I love you." "Me too." **** "Hari ini tidak ada jadwal lagi bukan?" Tanya Kris begitu keluar dari ruangan rapat diikuti oleh sekretaris pribadinya. "Tidak, Tuan. Dan Berkas yang anda minta sudah saya selesaikan, semuanya ada di meja anda." "Oke, saya butuh laporan dari hotel yang ada di luar pulau Jawa, minta mereka kirimian itu dan analisis, cari kesalahan angka di sana. Bentuk team untukmu sendiri." "Baik, Tuan." "Selesaikan itu dalam tiga hari." "Baik, Tuan." Langka sang sekretaris berhenti di mejanya, tepat diluar ruangan Kris yang tertutup. Kris masuk ke dalam ruangannya, dia mendudukan dirinya di kursi putar. Menghadap ke arah kaca besar, dimana dia bisa melihat pemandangan kota di sana. Kris adalah salah satu pemilik perusahaan real estate terbesar di asia tenggara. Apalagi sekarang dia akan merambat ke dalam industri makanan supaya bisa menyuplai makanan sendiri untuk real estate miliknya. Hidupnya begitu sibuk, bahkan sampai tidak memiliki waktu untuk berkencan. Satu satunya cara Kris melampiaskan rasa bosan yaitu mengistirahatkan dirinya dengan terlalap. Sampai suara ketukan mengalihkan perhatian Kris, dia menatap Andre sang asisten pribadi masuk ke dalam ruangannya. Andre adalah asisten pribadi yang biasanya membereskan urusan Kris yang lebih pribadi, di dalam maupun di luar pekerjaannya sebagai pemilik real estate. "Saya sudah membuat janji dengan orangtua Akila, Tuan. Sesuai keingina anda, mereka bersedia makan malam di restaurant Chinna." "Bagus. Aku harus pulang dan bersiap." "Bagaimana dengan pembangunan hotel di Semarang, Tuan?" "Ada apa dengan itu?" Tanya Kris sambil memakai jas miliknya. "Ada sedikit masalah." Kris menerima berkas yang diberikan Andre kemudian membukanya, keningnya berkerut saat membaca isi di dalamnya. "Masalah warga?" "Iya, Tuan." "Aku tidak ingin berurusan dengan ini, cari pengacara dan selesaikan. Aku akan ke sana jika pembangunan sudah selesai." "Baik, Tuan." Kris keluar dari ruangan diikuti oleh Andre dibelakangnya. "Sudah mencari latar belakang keluarga pacar Brian?" Andre mengangguk, keduanya melangkah sambil berbicara. Melewati koridor dan lift khusus untuk pimpinan perusahaan ini. Yang hanya bisa dinaiki oleh Kris dan juga orang yang diizinkannya. "Mereka punya bisnis keluarga dalam bidang konveksi." "Seberapa besar?" "Cukup besar untuk seukuran pribumi di sini." Kris megangguk, begitu dia keluar dari lift, beberapa orang berbungkuk padanya. Tidak main main, seluruh lantai di gedung ini adalah milik Kris. Khusus kator pusat untuk K Inc. "Aku tidak tahu Kris akan seserius ini dalam menjalin hubungan dengan seseorang. Bagaimana pendapatmu?" Andre membukakan pintu mobil Kris, dimana di saa supirnya sudah menunggu majikannya. "Saya rasa Brian memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Dia ingin bertanggung jawab atas perasaannya." "Hmm…" "Anda berencana untuk menikah, Tuan?" Kris berdecak. "Itu buang buang waktu," ucapnya masuk ke dalam mobil. Di dalam sana, Kris terdiam mengingat keputusan sang anak untuk menikah. Itu bukanlah hal yang sepele, pernikahan berarti untuk selamanya. Bukannya Kris melarang, hanya saja dia merasa kalau menikah itu hanya membuang buang waktu saja. Sepanjang perjalanan diam terdiam, memikirkan pilihan sang anak. dia masih sangat muda, dan harus dilimpahkan tanggung jawab terhadap seseorang yang bukan siapa siapa. "Hhhh... haruskah menjelaskan padanya kalau pernikahan itu hanya sia sia belaka?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD