2. Ratu Terlahir Kembali

2166 Words
Saat seseorang dihukum atas kesalahannya, ada dua kemungkinan hasil yang terjadi setelahnya; dia bertobat atau semakin b***t. *** Keisha mengerjapkan mata perlahan untuk membiasakan diri dengan cahaya. Keningnya mengernyit saat mendengar suara melengking dari depannya. Setelah mampu melihat dengan jelas, dia tersenyum lebar. "Akhirnya aku terlahir kembali," gumamnya, sambil melihat tangan mungilnya. "Hahaha..." Tunggu saja, Yang Mulia Zen, aku akan menagih hutang. Keisha tidak ingat jenis siksaan yang dialaminya di akhirat, tapi dia tahu telah menjalani hukuman atas dosanya, dan hukuman itu sangat menyakitkan. "Anak pembawa sial ini masih bisa tertawa!" Dug Sebuah mangkok plastik melayang dan mengenai kening Keisha. Wajah tersenyumnya langsung berubah dingin. "Kenapa bukan kau saja yang mati?!" Keisha menyipitkan mata pada sosok bersuara galak barusan. Tampak di depannya seorang wanita gendut usia 40-an tahun. Karena wajah keriput, dan pakaian lusuh yang dikenakannya, wanita itu tampak seperti berusia enam puluh tahun. Menyadari yang dilakukan wanita gendut, gadis bernetra biru pun segera menghentikan makannya dan memeriksa kening Keisha. Mengalihkan pandangan, Keisha melihat seorang gadis kecil cantik bernetra biru, yang menatapnya penuh rasa khawatir. "Apa sakit?" tanya gadis kecil itu. Keisha mempertajam penglihatan, dan memastikan kalau gadis kecil ini memang saudari kembar non identiknya dari kehidupan sebelumnya. "Keila...?" Keila terkejut saat adik kembarnya tiba-tiba membuka suara. Seketika dia memeluknya, dan berkata, "Ya. Aku Keila. Kamu bicara, Kei... Akhirnya kamu bicara lagi." Si Bibi juga terkejut mendengar Keisha bisa bicara, tapi dia tidak terlihat sesenang Keila. Melepas pelukan, Keila memeriksa kening Keisha kembali. "Apa sakit?" Keisha menggeleng, lantas bertanya, "Kamu juga di sini?" "Apa kau ingin kakakmu pergi seperti ayah sialanmu itu?!" teriak si bibi gendut. "Keila keponakanku. Dia paling mirip kakakku. Kalau kau mau pergi menyusul ayah sialanmu itu, pergi saja. Jangan menambah bebanku! Kau pembawa sial!" Keisha menyipitkan mata ke arah si bibi, tatapan itu tajam seolah dapat memotong siapapun menjadi ratusan keping. "Siapa yang memberimu keberanian untuk mengutukku. Apa kau tidak tahu aku adalah ratu di seluruh daratan?!" Bibi mendengkus. "Ratu? Kalau kau ratu, maka aku ibu suri!" Sesaat Keisha tertegun, tapi setelah mengamati si bibi, dia berkata, "Ibu suri tidak memiliki wajah babi sepertimu." "Wajah babi?!" Si bibi menggebrak meja makan. Brak "Keisha Oberon! Keberanianmu sangat besar!" "Ya. Keberanianku memang sangat besar, dan itu lebih besar dari badanmu, lalu kenapa?" Keila segera menarik Keisha keluar rumah sederhana itu. Keduanya berlarian di gang-gang sempit yang kotor karena banyak sampah berserakan, melewati perempatan jalan dengan sebuah pamflet bertuliskan Gang Kenanga, melompati parit-parit dengan air hitam berbau busuk, dan berakhir di padang luas dengan beberapa pohon Cassia Fistula (Golden Shower) yang tumbuh. Keila tertawa setelah aksi lari-larian mereka. Dua gadis cantik usia empat belas tahun itu pun mengistirahatkan diri dengan duduk di bawah pohon Cassia. "Wajah babi? Hahaha... Memang sih, lubang hidung bibi sangat besar kayak babi, tapi kamu terlalu jujur, Kei. Hahaha...." Keisha mengabaikan tawa Keila, sudah fokus memandang bunga kelopak lima berwarna kuning di atasnya. Bunga itu mengingatkannya kepada Zen. Dulu ada banyak pohon Cassia Fistula di halaman belakang istananya, dan taman itu pun diberi nama Taman Cassia. Di tempat itu Zen akan membaringkan diri di pangkuan Keisha, lalu membiarkan gadis itu memijat kepalanya yang pusing karena urusan kerajaan. Tempat itu pula menjadi pembaringan terakhir Keisha. Melihat adiknya fokus menatap pohon, Keila menghentikan tawanya. "Kata ayah, pohon ini namanya Cassia Fistula atau Golden Shower atau Hujan Emas. Pelafalannya mirip nama kamu. Keisha… Cassia..." Keila berdiri, lantas mencoba mengambil satu bunga yang menjuntai di atas kepalanya. Dia sampai melompat-lompat beberapa kali untuk memetik bunga itu. "Akhirnya dapat." Keila duduk kembali di sebelah Keisha. Dia memasangkan bunga kelopak lima ke telinga adik kembarnya. "Kata ayah, Keisha akan menjadi hujan emasnya ayah." Keisha malah teringat perkataan Zen sewaktu menaruh bunga Cassia ke telinganya. Kejadian ini saat Zen baru naik tahta menjadi raja Zenzenia. "Apakah Ratuku tahu kenapa bunga Cassia warnanya kuning? "Ada warna lain juga untuk bunga Cassia, Yang Mulia." "Oh, ayolah, Ratuku, apa kau tidak bisa mengikuti alur? Pura-pura saja bertanya." "Hahaha... baiklah, Yang Mulia. Hamba tidak tahu. Jadi, kenapa warnanya kuning, Yang Mulia?" "Karena kuning melambangkan vitalitas, kecerdasan dan kebahagiaan. Sepertimu, Ratuku. Kau kebahagiaanku. Hujan Emas-nya Zen. Cassia-nya Zen." "Tapi Yang Mulia, pohon Cassia menggugurkan daun-daunnya." "Jika tanpa daun, bunga Cassia bisa terlihat indah, daun pun tidak keberatan untuk gugur." Sekarang Keisha tahu siapa daun dan siapa bunganya. Keisha mengepalkan tangan. Netra birunya terlihat semakin pekat karena dipenuhi dendam. Dalam kelahiran ini, dia akan membuat Zen hidup seperti di neraka. Tapi, di mana dia harus menemukan Zen? Keila merapikan rambut sebahu adiknya. "Aku percaya ayah, dan masih berharap Keisha akan menjadi hujan emas kami. Keisha pembawa keberuntungan." "Keberuntungan?" Keisha tersenyum sarkas. Malaikat jelas mengatakan dia pembawa petaka, penyebab takdir buruk umat manusia di masa depan jika dia tidak mati hari itu. "Hemm... Jadi, jangan dengarkan kata-kata bibi tadi. Bukan kesalahanmu kalau mama kita meninggal. Mama sangat menyayangimu, makanya memutuskan melahirkanmu sekalipun harus mengorbankan dirinya. Itu yang selalu ayah bilang." Keisha bahkan tidak ingat kalau ibunya telah meninggal sewaktu melahirkannya. Itu berbeda dari kehidupan sebelumnya. Kalau Keila tetap menjadi saudari kembarnya, bukankah orangtuanya seharusnya masih hidup saat ini? "Ayah pergi sejak lima tahun lalu atas keinginannya. Itu sama sekali bukan salahmu." Keila menghela napas, lalu menatap langit pagi yang cerah. "Ayah pasti kembali suatu hari nanti. Ayah akan membawa kita ke kota besar dengan gedung-gedung tinggi dan lingkungan yang bersih. Lihat Keisha, Ayah... Semenjak ayah tinggal pergi, dia tidak pernah bicara lagi, tapi hari ini dia akhirnya mau bicara lagi..." Keisha menoleh, melihat Keila menangis sesenggukan. "Ayah akan kembali... percayalah... selama ayah pergi, aku akan menjagamu... aku akan melindungimu... aku kakakmu... pasti akan melindungimu... dari bibi... dari anak-anak bibi... dari anak-anak nakal pengganggu... jadi, teruslah bicara... mulai sekarang... jangan takut... teruslah bicara..." Keisha diam saja; tidak mencoba memeluk atau memberikan penghiburan. Baik dulu maupun sekarang, kakak kembarnya ini tetap mengucapkan kalimat yang sama; akan melindunginya. Kenyataannya, dia ditinggalkan sendirian. Dia mengalami intrik sepanjang hidup sendirian, tapi di mana kakak yang katanya akan melindunginya? Keisha tidak tahu yang terjadi dengan kakaknya setelah mereka berpisah pada usia lima belas dalam kehidupan sebelumnya. Dia juga sudah melupakan sang kakak karena fokus mewujudkan impian Zen menjadi penguasa. Lalu saat malaikat mengatakan takdir Keila mati di tangannya, dia hanya berharap tidak bertemu kakaknya di kelahiran kembali ini. Sayangnya, takdir malah mempertemukannya lagi dengan Keila di hari pertama reinkarnasinya. Memang tidak ada jaminan kalau kata-kata malaikat saat itu akan berlaku pula pada kehidupan ini, tapi kalaupun itu benar terjadi, dan siklus takdir sekali lagi terulang, maka dengan sangat yakin Keisha memutuskan membunuh kakaknya sendiri daripada harus mati sekali lagi karena dibunuh Zen. Jika bersama Keila merupakan cara Dewa memperingatkan Keisha untuk menghargai hidup yang didapatnya pada kelahiran kembali ini, maka sayang sekali, Dewa telah melakukan hal yang sia-sia. Dia masih ingin membalaskan dendamnya terhadap Zen sekalipun neraka telah menantinya. Aksi tangis Keila diinterupsi oleh bocah lelaki kurus berkacamata tebal. "Kenapa kamu menangis?" Kedua gadis kecil menoleh pada sumber suara di depan mereka. "Apa bibi jelek itu memukul adikmu lagi?" Keila mengangguk. "Dia melempar mangkok ke dahi Keisha, Zein." Karena pengucapan namanya mirip Zen, Keisha seketika menatap tajam sosok anak lelaki usia enam belas tahun di depannya. Anak itu kurus, berkulit kuning langsat bersih seperti perempuan, dan tampak lemah. Rambutnya pangkas pendek dengan poni yang agak panjang menutupi dahi. Dia mengenakan kacamata berbingkai biru gelap. Tidak ada aura penguasa sama sekali dalam dirinya. Ketika netra biru Keisha bertabrakan dengan netra sekelam malam milik Zein, waktu seakan berhenti. Yang satu berdiri, yang lainnya duduk. Yang satu memasang senyum kecil, yang lainnya berwajah ketus sarat permusuhan. Apa ini wajah baru Yang Mulia Zen? "Kami sedang makan saat bibi tiba-tiba datang dan bilang kalau uangnya hilang di jalan. Bibi menyalahkan Keisha yang katanya membawa sial. Lalu dia mengutuk Keisha dan mengatakan kenapa bukan Keisha saja yang mati…" Zein memutus kontak mata dengan Keisha, lalu duduk di depan keduanya. Dia meletakkan dua botol s**u ke rerumputan. Lebih mendekat ke Keila, dia pun menghapus sisa air mata di pipi gadis itu. "Apa dia menyakitimu juga?" tanya Zein. Keila menggeleng. "Aku menangis karena merindukan ayah." Zein memeluk Keila. "Sst! Jangan menangis. Nanti, saat uangku sudah banyak, aku akan membawamu dan Keisha keluar Escape Town. Kita akan mencari ayahmu." Keisha memerhatikan setiap gestur Zein, mencari kemiripan dengan Zen yang dikenalnya. Hasilnya: Lelaki kecil ini bukan Zen. Sekalipun Zen memiliki wajah dan sifat yang berbeda setelah kelahiran kembali, Keisha akan merasakan sebuah ikatan dengannya. Tapi dengan Zein, dia tidak merasakan ikatan itu. Dia tidak tahu bagaimana menjelaskan bentuk ikatan itu, tapi dia sangat yakin akan mendapat suatu ikatan jika berhadapan dengan Zen. Setelah menenangkan Keila, Zein bertanya lagi, "Kamu sudah makan?" Keila kembali menggeleng. "Aku belum selesai makan saat Bibi memarahi Keisha." "Ambil ini. Ada sisa dari hasil penjualan." Zein memberikan satu minuman kepada Keila, bahkan membukakan tutup botolnya. "Kamu juga mi─" numlah. Zein belum selesai bicara saat melirik Keisha sudah lebih dulu mengambil botol dan menenggak s**u di dalamnya. Dia sedikit memiringkan kepala, dan memajukan wajahnya untuk mengamati adik kembar itu dari dekat. "Sepertinya ada yang berbeda dari adikmu, La," kata Zein. "Mungkin dahinya. Itu memerah karena dilempar mangkok sama bibi." Zein menggaruk tengkuknya. "Entahlah, tapi sepertinya bukan itu." "Jauhkan wajahmu dariku, Mata Empat!" bentak Keisha. Zein langsung mundur, terduduk dengan ekspresi syok. "Adikmu bisa bicara?" Keila tertawa. "Iya, dia akhirnya mau bicara lagi. Aku juga nggak tahu kenapa dia tiba-tiba bicara. Tapi aku sangat senang." Zein kembali menatap Keisha, memastikan kalau dia tidak salah orang. "Bagaimana dia bisa bicara lagi?" "Tadi tiba-tiba dia memanggil namaku. Terus, kamu tahu, Zein, dia juga mengejek bibi. Dia menyebut bibi berwajah babi, dan membuat bibi sangat marah." "Hahahaha... rasakan itu! Bibi itu memang berwajah seperti babi. Lihat saja lubang hidungnya yang besar." Keila ikut tertawa. "Biar bagaimanapun, dia tetap bibiku, Zein. Dia membesarkan kami sepergian ayah lima tahun lalu." Mengabaikan pembelaan Keila atas bibinya, Zein mendekati Keisha sampai ujung hidung mereka nyaris bersentuhan. "Ayo bicara lagi. Panggil namaku," kata Zein. "Aku Zein. Ze-in. Z-E-I-N. Zein." Keisha menoyor dahi Zein dengan telunjuknya. "Menjauh dariku." "Hahaha..." Keila tertawa puas. Zein mengusap dahinya, tapi ada senyum tipis tersembuyi di bibirnya, dna netra hitamnya seperti berkaca-kaca. "Kepribadiannya juga berubah. Dia galak, nggak pendiam dan pemalu kayak sebelumnya." Keisha mengabaikan keduanya, lanjut minum susunya sambil memikirkan ke mana harus mencari Zen. "Biarkan saja untuk hari ini. Ngomong-ngomong, bagaimana hasil jualanmu, Zein?" Anak lelaki usia enam belas tahun itu menghela napas. "Masih berjalan seperti biasa. Para preman meminta uang keamanan, dan anak-anak nakal itu mengambil s**u tanpa membayar. Yah, seenggaknya aku masih bisa memberi setoran." Keila meletakkan anak rambutnya ke belakang telinga, menatap jalanan kecil di depannya dengan ekspresi sendu. "Apa kita bisa pergi dari kota ini?" Zein mendekati Keila, lalu mengusap pucuk kepalanya. "Jangan khawatir, Lala. Kita akan keluar dari sini suatu hari nanti." Keila sedikit tersipu, dan hanya bisa mengangguk. Zein memerhatikan Keisha yang asik sendiri dengan s**u di tangannya. "Apa rasanya enak?" "Aku suka rasanya. Itu manis dan menyegarkan. Pelayan mana yang membuatnya? Aku juga ingin s**u ini di paviliun ratuku." Keila tertawa dengan gaya bahasa adiknya, sementara Zein tertegun. "Itu aku yang membuatnya," kata Zein, kembali menyembunyikan senyum kecilnya. "Sudah habis untuk hari ini, tapi besok aku akan membuatnya lagi." Keisha mengangguk. "Apakah ada rasa lain? Aku sangat suka rasa vanila." "Aku akan membuatnya lain kali. Aku sebenarnya ingin memproduksi dengan banyak varian rasa, tapi nggak punya uang untuk melakukan produksi. Aku sudah mengatakan ide itu kepada bibi pemilik peternakan, tapi mereka menolak usulku. Aku butuh mitra lain, tapi koneksiku terbatas. Orang-orang yang kukenal semuanya berada di golongan rendah sepertiku. Mereka nggak mau repot-repot melakukan uji coba. Kata mereka itu buang-buang uang. Beberapa orang kaya yang kukenal malah nggak mau bermitra denganku yang hanya anak-anak tanpa modal dasar." Keisha menyukai cara pandang Zein dan semangat berbisnisnya, maka dia spontan berkata, "Aku akan menjadi mitramu." Zein tertegun sejenak, lalu tersenyum kecil. Kali ini dia tidak menyembunyikan senyumnya. "Terima kasih. Aku senang mendengarnya," kata Zein. Berpikir Zein tidak percaya, Keisha bersedekap dan sedikit menaikkan dagunya. "Apa kau meragukan ratu dari seluruh daratan ini?" Mata Zein berkaca-kaca, refleks dia mengulurkan tangan seperti hendak memeluk, tapi kemudian berhenti. Keisha mengernyit karena tindakan aneh Zein. Detik berikutnya, dia meringis karena pihak lain malah mengacak rambut di bagian atas kepalanya. "Uhh, astaga! Kenapa kamu jadi sangat menggemaskan, Kei?" "Beraninya kau mengacak rambutku!" Keisha marah, tapi karena wajah kekanakannya, dia malah terlihat imut di mata Zein. "Jangan khawatir, Yang Mulia Ratu. Hamba akan memperbaiki lagi rambutmu." Zein malah semakin mengacak rambut Keisha, bahkan menggunakan dua tangan. Dia tertawa riang. "Mata Empat!" Keisha memukuli lengan Zein tanpa ampun. Tidak tahan dipukuli, Zein berlari. Dalam pelariannya, dia diam-diam menghapus air matanya tanpa sepengetahuan yang lain. Keisha mengejar Zein. Mereka mengelilingi pohon Cassia. Dua sosok yang berlarian di bawah pohon Cassia itu bagai gambaran dalam sebuah lukisan. Yang satu tertawa, namun menyembunyikan luka. Sementara yang lain menggerutu kesal, namun sangat bahagia karena telah terlahir kembali. Sesekali angin semilir membantu menggugurkan dedaunan Cassia, menambah harmoni, seolah menjadi pelengkap suasana dua insan itu. Untuk beberapa alasan yang tidak dimengerti, Keila merasa terusik dengan kedekatan keduanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD