BAB 06: BUTTERFLY HUG

1335 Words
Sedan mewah yang membawa Isla dan Zhen berhenti tepat di depan lobby sebuah restoran cepat saji yang menyajikan menu aneka masakan khas Jepang. Zhen turun lebih dulu, diikuti Isla di belakangnya. “Selamat siang, Kak. Silahkan pesanannya,” ujar seorang pelayan di balik etalase menu. “Dok?” tegur Isla, karena Zhen hanya diam saja. “Duluan aja,” jawabnya acuh. “Hoka Hemat 1-nya satu, Kak,” ujar Isla pada sang pelayan. “Saya, Bento Special 2 dan sukiyaki,” ujar Zhen. Isla merutuki diri, bagaimana bisa pesanan Zhen justru menu favoritnya. ‘Ya Allah... Isla mau bayar sendiri tapi ini tanggal tua. Mau pesan yang kesukaan Isla, ga enak sama Ji Sung kalau kemahalan.’ Begitu mereka duduk, Isla terdiam, menatap rangkaian menu yang tersaji di hadapannya. Bukan miliknya, tetapi milik Zhen. “Cuci tangan dulu sana,” ujar Zhen begitu ia kembali melakukan ritual yang barusan ia sebutkan. Isla mengangguk, berjalan menuju wastafel restoran. Begitu ia kembali ke meja mereka, Isla terdiam, menatap makanannya dan Zhen bergantian. “Dok?” “Hmm?” “Yang Dokter makan punya saya,” lirih Isla. “Oh ya?” Isla mengangguk, antara bingung dan tiba-tiba kehilangan kecerdasan. “Kamu makan yang itu aja kalau begitu,” ujar Zhen santai. Entah mengapa Isla tak berani mendebat pria di depannya. Lagipula situasi ini seperti laksana doa yang dikabulkan dalam sekejap. Isla mengangguk sopan, meraih sumpitnya, merapalkan doa dalam sunyi sebelum mulai menyantap makanannya. “Permisi, ini mangkok kosongnya, Kak.” Seorang pelayan mendekati meja mereka, meletakkan sebuah mangkok kecil tanpa isi. Zhen meraih mangkok itu, mengisinya dengan sebagian sukiyaki yang tadi dipesannya, lalu menyodorkan mangkok itu pada Isla. “Dokter,” lirih Isla. Tak ada jawaban dari Zhen, ia kembali sibuk dengan suapannya sendiri. Seperti yang Zhen sudah duga, makanan sebanyak itu tandas dibuat Isla. “Saya sudah, Dok,” ujar Isla. Malu. “Hmm! Ayo,” Begitu mobil mereka meninggalkan halaman restoran, Zhen meminta Isla untuk melakukan pekerjaannya. Isla menurut. Selama setengah jam perjalanan, ia tuntas menjelaskan dua jenis obat terbaru untuk perawatan pasca bedah toraks. Zhen tak berdecak kagum, tak pula memberi pujian, walaupun ia tau sepanjang ia bertemu seorang medical representative, baru kali ini ia mendapatkan informasi yang begitu jelas dengan pendekatan medis yang lugas namun detail. “Dok, boleh saya bertanya?” tanya Isla sopan. “Hmm!” gumam Zhen. “Dokter tau dari mana kalau saya sarjana kedokteran?” Zhen memalingkan wajahnya, menatap jalanan yang mulai padat di siang menjelang sore itu. “Apa penting saya tau dari mana?” “Oh, ngga sih, Dok. Cuma bingung aja, karena seingat saya ga banyak yang tau dan ga ada yang membicarakan soal itu di rumah sakit.” “Hmm.” ‘Ya ampun, susah banget sih ngajak dia ngobrol dua arah.’ Zhen menutup kedua matanya, mengusaikan perbincangan mereka begitu saja. Sementara Isla justru menoleh, menatap pahatan Illahi yang terpejam di sampingnya. Wajah Zhen yang sedikit mendongak karena menyandarkan kepala ke sandaran kursi justru mempertegas garis wajahnya. ‘Cakepan dia kemana-mana sih dari Ji Sung.’ *** Isla terbangun dari tidurnya. Ia menoleh ke sisi kiri, terkejut karena tak mendapati Zhen di sisinya. “Dokter Zhen kemana Pak?” “Sudah turun tadi di bandara, Non.” “Hah?” “Nona Isla tidur pulas sekali. Pak Zhen pesan agar saya jangan membangunkan Nona.” “Ya Allah. Saya turun di sini saja kalau begitu, Pak. Maaf, tadi saya juga mau turun di bandara saja.” “Apa saya boleh tau Nona Isla mau kemana?” “Pulang, Pak.” “Baik. Saya antar, Non.” “Ga usah, Pak. Saya turun di sini saja.” “Pak Zhen yang meminta saya agar mengantar Nona kemana pun.” Isla terdiam, merasa bingung dengan situasi yang sedang ia alami. Baru hari ini ia mengenal Zhen, tetapi entah kenapa semua hal kecil yang Zhen lakukan membuatnya tak merasa asing. Lucunya lagi, Isla bahkan merasa jika Zhen lebih mengenalnya dibandingkan ia mengenal Zhen. Seperti makanan yang tadi mereka pesan, tidak mungkin bukan Zhen tak sengaja memakan bento miliknya? Jelas-jelas menu itu berbeda isi dan penyajian. Bahkan Zhen memesan soft pudding taro dan menyodorkannya pada Isla. Dari beberapa varian dessert, Zhen memilih menu itu, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk Isla. ‘Apa gue doang yang ngerasa aneh?’ “Pak?” tegur Isla pada Efendi. “Ya, Non.” “Bapak tau di mana saya tinggal?” “Ngga, Non. Ini saya ambil arah kembali ke rumah sakit. Apa saya salah, Non?” “Jadi Bapak ngira saya tinggal dekat rumah sakit?” Efendi terkekeh. “Iya, Non.” “Kenapa?” “Karena Nona Isla ke rumah sakit jalan kaki.” “Kok Bapak tau?” “Kan saya sering lihat. Saya sering nongkrong di lobby depan ngobrol sama satpam kalau lagi nunggu Bapak.” “Oh.” ‘Make sense sih. Tapi kok masih aneh ya?’ “Bapak kerja sama Dokter Zhen dari kapan?” “Sudah lama, Non. Dari Den Zhen SMA. Eh maksud saya Pak Zhen.” “Aden atau Bapak?” “Kalau ada orang lain Bapak, kalau hanya saya dan Dokter Zhen ya Aden, Non.” Isla terkekeh, begitupun Efendi. “Bapak orangnya baik dan teliti, Non. Pembawaannya saja yang dingin.” “Oh. Pantas pasiennya banyak ya Pak?” “Iya, Non.” Isla kembali terdiam. Kedua matanya menembus kaca jendela, menatap rintik hujan yang mulai turun. Kelebat kenangan terakhir bersama Oki mulai menyerbunya lagi. Sekuat apapun ia berusaha melawan, ia tetap butuh waktu untuk menerima kandasnya kisah cintanya bukan? “Nona Isla?” “Ya, Pak?” “Boleh Bapak ngasih tau sesuatu?” “Soal apa, Pak?” “Saya ini dulu orang miskin, Non. Datang ke rumah Den Zhen meminta pekerjaan apa saja. Waktu itu Ayahnya Den Zhen ngasih saya pekerjaan membersihkan taman dan halaman. Lalu, pas Den Zhen belajar nyetir mobil, saya di suruh Ayahnya Den Zhen ikut belajar. Begitu saya dapat SIM, saya dijadikan supir pribadinya Den Zhen dan adiknya. “Tapi, yang saya ingin kasih tau ke Nona adalah, baik Den Zhen ataupun keluarganya, ga pernah ada yang merendahkan saya karena saya miskin, Non.” Isla menatap lekat sosok pria paruh baya itu, bertanya-tanya dalam benaknya mengapa beliau menceritakan tentang Zhen dan keluarganya pada Isla. “Nona itu cantik, anggun, berpendidikan, bahkan pintar. Den Zhen saja sampai diam mendengar presentasi Nona Isla tadi.” “Memang biasanya gimana?” Efendi hanya tertawa, tak menjawab pertanyaan Isla. “Pak, apa ada sikap saya yang salah?” “Soal apa Non?” “Kenapa Bapak menceritakan tentang Dokter Zhen dan keluarganya ke saya?” “Oh, tadi saya lihat Nona melamun waktu di parkiran rumah sakit. Nona bilang ‘gue ga miskin!’ beberapa kali. Saya sudah coba menegur, tapi Nona ga bereaksi, makanya Den Zhen yang negur Nona Isla. Saya pikir cerita saya bisa sedikit menghibur, Non.” Kali ini Isla terkesiap, bahkan mulutnya sedikit menganga. Apa separah itu ia melamun tadi? ‘Astaghfirullah.’ Setelahnya, Isla hanya memberitahukan alamat tempatnya tinggal, dan tak lagi melanjutkan perbincangan apapun dengan Efendi. Rasanya terlalu malu dipergoki terpuruk oleh pria yang diincarnya. Entah harus ditaruh di mana wajahnya nanti kala bersitatap dengan Zhen lagi. “Sudah sampai, Non,” ujar Efendi begitu ia menepikan sedan mewah yang dikendarainya tepat di depan kediaman sang penumpang. “Oh, iya. Terima kasih ya Pak. Tolong sampaikan ke Dokter Zhen juga terima kasih dari saya.” “Baik, Non.” Efendi menarik tuas pintu, tetapi baru saja pintu di sampingnya hendak ia dorong, suara Isla terdengar kembali. “Ga usah, Pak. Ga usah turun. Saya bisa sendiri.” “Tapi, Non?” “Assalammu’alaikum.” “Oh iya, wa’alaikumsalam, Nona Isla.” Isla menarik tuas pintu di sampingnya. Menurunkan kaki kirinya terlebih dahulu ke trotoar. Begitu Isla menutup pintu sedan yang ia tumpangi, selembar kertas berwarna putih dari sobekan buku resep jatuh tepat di atas sepatunya. Isla menunduk, meraih kertas itu. ‘Butterfly hug. Every morning and before you sleep. -dr. Zhen Ryu Rayden, SpBTKV-’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD