BAB 14: HUTANG

1450 Words
Gary: Nek, tugas eyke selesai ya. Gary kemudian mengirimkan dua buah foto. Satu fotonya bersama Kane yang tengah mencengir seraya mengangkat sebuah tas bekal. Dan satu lagi adalah foto tas bekal kedua yang ia letakkan di atas meja kerja dengan papan nama bertuliskan dr. Zhen Ryu Raiden, Sp. BTKV. Isla: lo masuk ruangannya? Gary: Ngga. Nitip Dokter April, tadi pas gue datang, dia juga bawain makanan buat lakinya. Isla: Lakinya? Gary: dr. Irgi. Lah Nek, yeiy ga tau? Couple goals banget itu se-Permata Indah. Isla: Ngga. Baru tau banget malah. Gary: Lo kalau lagi lemot emang kelewatan banget sih onengnya! Isla: Sial lo! Terus lo bilang apa? Emang dr. April ga aneh lo bawain Ji Sung bekal? Gary: Tenang! Eyke bilang tadi dr. Zhen dengar pas dr. Kane nitip makan. Dia nitip sekalian. Isla: Oh. Isla: Dibilangin kan lunch box gue jangan sampe ilang? Gary: Iya, Nek. Lo lama-lama kayak Mami! Urusan tupperware aja kayak besok mau kiamat! Isla: MAHAL! Gary: Dih, eyke dikasih CAPS LOCK! Gary: Udah ah, eyke cabut dulu. Bye, Nek. Sarangeyo! Isla: Gumawo, Ger. Drive safely. Sarangeyo. Isla beranjak ke kamar mandi mungilnya, ritual yang selalu ia kerjakan sebelum beristirahat; mandi, membersihkan wajah, shalat, dan skincare-an. Dan begitu tinggal menyelesaikan usapan krim malam di wajahnya, ponsel yang Isla letakkan di atas nakas bergetar. Zhen: Thanks. Tak hanya satu kata itu, selanjutnya sebuah foto masuk ke pesan singkat Isla. Tetapi itu bukan foto bekal yang Isla berikan, melainkan secarik kertas dengan tulisan tangan Gary. ‘From Jisoo to Ji Sung. Sarangeyo, Oppa!’ “Kampret si Gary!” gumam Isla. Panik. Isla: Dok, maaf, itu bukan saya yang nulis. Isla: Maaf Dok. Isla: Itu tulisan Gary. Isla: Tadi habis beli makanannya, saya langsung balik. Keburu gerimis, Dok. Jadi Gary yang antar. “Ya ampun, cheesy banget deh gue di mata dia!” gerutu Isla lagi. Di bagian atas pesan singkat itu hanya tertulis ‘online’. Dan semua pesannya ber-checklist biru. “Bales dong...” monolog Isla lagi. Namun hingga pagi menjelang, Zhen tak membalas pesan itu. Isla bangun dengan keadaan yang tidak segar sama sekali. Tidurnya tak nyenyak karena menunggu balasan dari Zhen. Mau menelpon pun ia tak berani, khawatir Zhen sedang di ruang operasi atau sedang beristirahat. Tapi yang jauh lebih ia khawatirkan adalah, jika Zhen tak mengangkat telponnya, prasangka jauh lebih menyiksa dari omongan tajam bukan? “Ya ampun, ga di bales juga. Liat aja nanti! Gue unyek-unyek si Gary! Ga waras kali tuh orang ngasih pesan kok pake sarangeyo. Amblas dah harga diri gue! Huhuhu, Mamaaa...” monolog Isla yang cukup panjang. Isla pun mengetikkan kembali pesan singkatnya untuk Zhen. Isla: Dok, maaf ya. Tak lupa ia menambahkan emoticon sedih. Ia terus saja memandang layar ponselnya. Dan seketika hatinya berdebar hebat kala checklist abu-abu berubah menjadi biru. ‘typing,’ bunyi tulisan tepat di bawah nama Zhen. Zhen: Sholat subuh sana! Abis itu baru lebaran lagi. Isla: Maafin dong, Dok. Zhen: Iya. Saya paham. Ga mungkin kamu cinta sama saya. Isla: Bukan gitu, Dok. Kok Dokter ngomongnya gitu sih? Zhen: Jadi kamu cinta sama saya? Isla terbatuk, membelalak, lalu tiba-tiba diterjang perasaan ngeri. Zhen: Ya udah, kalau ga cinta ga apa-apa. Isla: Dokter ih! Tauk ah! Bodo amat! Suka-suka situ! I don’t care! Zhen: Ya udah. Bye! “Yah?” Isla termangu. Pandangannya naik ke batas atas pesan singkatnya, Zhen tak lagi online. “ARGH! GARY RESEK! ZHEN NYEBELIN! PUSIIIIIING!” *** Matahari pun naik sepenggalah. Setelah menyiksa Gary dengan cubitan dan pukulan bertubi-tubi, kini keduanya sudah tiba di sebuah perusahaan farmasi bernama Medico Farmasia. Isla dan Gary duduk santai seraya menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru lobby. Mereka memang sengaja datang lebih pagi, berniat mencegat Oki sebelum melarikan diri. “Eh Nek, yeiy tau ga kalau investor ini company udah out!” “Hah? Gimana maksud lo?” “Ya udah ga nanem modal lagi.” “Serius lo, Ger?” “Iya. Ada beberapa perusahaan yang investornya berhenti modalin, Nek. Terutama investor asing karena resesi dan suku bunga US naik. Dengar-dengar juga, perusahaan ini di take over sama investor lokal.” “Siapa?” “Ga tau eyke juga. Kan masih simpang siur beritanya. Namanya juga gosip, Nek!” “Gosip aja kerjaan lo!” “Refreshing, Nek! Kan udah banyak medrep sini yang resign.” “Oh gitu?” “Ho oh. Gue dengar langsung dari mantan medrep sini. Kemaren pas lo kencan sama Ji Sung, gue ngobrol sama dia. Perusahaan ini tuh udah di mode bertahan. Yang kontrak banyak ga diperpanjang. Si Sampah kontrak Nek di sini?” “Ngga, karyawan tetap dia.” “Selamat deh!” sinis Gary. Isla hanya terkekeh menanggapi. Beberapa menit kemudian, pandangan Isla terfokus pada sosok yang sedang berjalan menuju lobby. Dua insan itu bergandengan tangan, bercengkrama seraya tertawa. Rasanya dunia indah sekali bagi keduanya. Gary mengikuti arah pandang Isla, lalu mendengus. “Ga usah iri, Nek,” ujarnya lembut. “Ngga iri, Ger. Ngenes aja. Kok bisa ya gue ngabisin lima tahun hidup gue sama cowok yang modelnya begitu.” “Ya namanya juga jatuh cinta, Nek. Kadang ga bisa milih. Makanya sekarang yeiy pilih! Pilih cowok yang bener! Yang berkualitas ori! Bukan yang KW sekian kayak si Sampah. Ganteng kagak, tajir kagak, belagu iya!” “Iya, Gary!” kekeh Isla. Dan yang ditunggu-tunggu, akhirnya pasangan itu melangkahkan kaki masuk ke ruang muka perusahaan. Mereka belum menyadari keberadaan Isla dan Gary, masih dengan tenangnya melenggang seolah tak punya dosa. “Oki!” tegur Isla. Langkah Oki terhenti begitu saja. Perlahan, ia menolehkan pandangannya. Menatap Isla yang duduk santai dengan menyilangkan lengan di depan d**a. “Isla?” Bahkan perempuan yang berdiri tepat di samping Oki turut membatu. Tak menyangka jika mantan sang pacar berani datang ke wilayahnya. “Gue mau ngomong.” “Soal apa?” lirih Oki. “Lo mau gue bongkar di sini?” Orang-orang yang sedang berlalu lalang di sana mulai melayangkan pandangan penuh tanda tanya pada keduanya. “Ini tempat kerja ya!” Amy unjuk suara. Isla hanya tersenyum sinis seraya menatap tajam pada perempuan penghancur pertunangannya itu. “Gue mau nagih---” “OKE! Kita ngobrol di luar, La,” potong Oki cepat. Mungkin khawatir jika Isla membongkar aibnya. Yang selanjutnya terjadi adalah Oki meminta agar Amy naik lebih dulu ke kantornya. Amy menolak, bersikeras ikut dalam percakapan sang kekasih dengan sang mantan. Oki yang terlalu jengah dengan cara orang-orang memandang mereka akhirnya mau tak mau mengiyakan. Gary pun mengikuti. Sedari awal ia memang tak berencana untuk meninggalkan Isla sendirian menghadapi mulut b******n Oki. “Transfer sekarang!” tegas Isla tanpa tedeng aling-aling. “Transfer apa?” “Diem lo! Ga usah banyak bacot! Ga ada urusannya sama lo!” ketus Isla pada Amy. “EH---” “Amy!” sergah Oki cepat. “Kalau kamu ga bisa diam lebih baik kamu duluan ke kantor.” “Kamu belain dia?” “Aku ada urusan sama Isla, Amy! Kalau kamu mau tau, diam di sini!” Amy menghentakkan kakinya, kesal. Namun tak jua melangkah menjauh. Gary sedari tadi menahan kekehannya. “Aku belum ada uang, La,” ujar Oki kemudian. “Sekarang gue bukan tunangan lo lagi. Jadi gue ga ada tuh kewajiban untuk berbaik hati minjemin lo duit. Kan udah gue bilang kalau lo ga punya duit, gue ga perduli, gue mau duit gue balik! Ngutang kemana kek! Pinjem sama selingkuhan lo kek!” “ISLA!” “b*****t! UDAH GUE BILANG JANGAN BENTAK GUE! LO PIKIR LO SIAPA?” Gary yang sudah ingin meluncurkan cacian di ujung lidahnya langsung urung begitu saja saat mendengar pekikan Isla. “Transfer sekarang sebelum gue bikin lo malu!” “Isla...” “TRANSFER! Jangan lo pikir gue ga tau lo bohong! Lo pikir gue ga pernah lihat saldo rekening lo? Lo lupa kita pacaran lima tahun, Oki?” “Tapi La...” “Ga mau? Oke, gue bongkar kebusukan lo sekarang juga!” Isla bersiap melangkah, hendak menuju lobby kembali. Namun lengannya dicengkram oleh Oki. “Oke. Aku bayar.” “Nah gitu dong! Dasar merki!” Oki merogoh ponselnya, dengan berat hati membuka kunci layar dan sebuah aplikasi perbankan. Memindahkan dana sebesar lima belas juta dari rekeningnya ke rekening Isla. Amy yang di sampingnya mendengus berkali-kali. “Sudah, La.” Isla membuka ponselnya, membaca notifikasi kredit dana yang masuk ke rekeningnya. Lalu mengangguk. “Gue balik!” “La...” Isla terus saja melangkah dengan Gary yang merangkulnya, tak mengindahkan gumaman pelan Oki yang memanggilnya tadi. “Are you fine, Nek?” Isla menggeleng. Air matanya tumpah kembali. “Nek...” “Dia khianatin gue, dia bikin gue dan keluarga gue malu. Tapi kenapa gue masih aja nangisin dia, Ger? Kenapa?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD