Cinnamon Terrace

1350 Words
Gawai Danisa yang tergeletak di atas kasur berbaring, muncul sebuah nomor telepon tak dikenalnya. Sejenak ia ragu, namun akhirnya diangkat juga telepon itu. "Halo, Sa. Ini nomor telepon Danisa, kan?" tanya suara laki-laki di ujung sana. Danisa tidak mengenali suara penelepon itu. "Maaf, anda siapa?" tanyanya bimbang. "Aku, Sa. Masa lupa sih? Erik!" "Erik mana, ya?" Perempuan itu bukan sedang malas mengingat-ingat, tapi memang merasa tidak punya teman bernama Erik. Dia ingin segera menutup percakapan itu, hanya saja belum menemukan cara yang tepat. Tidak ingin dianggap kurang sopan, apalagi laki-laki penelepon itu tau namanya. “Eriko Wijaya, dulu di PMK juga bareng Ryan dan Kristo. Ingat?” Danisa memanggil ulang nama peneleponnya. Eriko, Eriko, Eriko Wijaya. “Erik! Duh, maafkan. Maklum sudah tua, mudah lupa.” Lelaki di ujung telepon tertawa senang, “akhirnya, ingat juga kamu! Apa kabar, Sa?” “Baik, baik. Kamu sendiri di mana sekarang?” “Sa, aku baru dengar soal Ryan. Turut belasungkawa, ya. Maaf terlambat.” Dug! Jantung Danisa seolah berhenti berdetak. Mengapa semuanya selalu membangkitkan kenangan menyedihkan itu. Susah payah perempuan itu menata hatinya, berjuang keras menegarkan diri, membangkitkan semangat, tapi selalu ada hal yang membuatnya ingat kembali. Danisa ingin berteriak pada semua orang, agar mereka tahu, dia tidak ingin dikasihani. Menyandang status sebagai janda ditinggal mati, dan orang tua tunggal bagi putranya sudah merupakan tanggung jawab yang luar biasa, tanpa harus ditambah beban pandangan iba dari laki-laki, atau tatapan ketakutan dari perempuan lain. “Ya, terima kasih, Rik,” jawabnya dengan suara tercekat. “Omong-omong, dari mana kamu tau nomor ponselku?” “Aku di Bali, Sa. Baru saja aku telepon Kristo, dan dia kasih tau nomormu.” “I see.” Mendapati dirinya sedang berbicara dengan rekan kerja almarhum suaminya di masa lalu, Danisa merasa tidak terlalu nyaman. Erik bukan Kristo, yang telah dikenalnya sejak lama. Dia dulu memang sering ikut bergabung dengan acara-acara kantor suaminya. Kenal dengan sebagian besar warga Putra Mandiri Konstruksi, namun hanya sebatas mengenal nama saja, tidak lebih. Itu sebabnya ia agak canggung dengan percakapan telepon itu. Meraba-raba apa yang ingin disampaikan Erik, selain ucapan bela sungkawa yang terlambat dua tahun. “Kata Kristo, kalian mau pergi makan malam, kan? Nah kebetulan, sekalian aku undang kalian ke tempatku. Aku sudah kasih alamatnya ke Kristo. See you there, Danisa.” Sepertinya Erik paham kecanggungan lawan bicaranya, dengan cepat ia menyampaikan maksud dan menutup teleponnya. Danisa mengedikkan bahu dan mengerucutkan bibirnya, tampaknya ia tidak punya pilihan lain selain menerima undangan Erik barusan. Perempuan itu segera mematut diri di depan cermin, berharap apa yang dikenakannya sesuai dengan tempat makan malamnya nanti. Diambilnya scarf panjang bermotif Morocco dari dalam lemari, lalu disampirkannya ke bahu, menutupi tubuh bagian atas yang hanya berbalut kaos polo putih. Rambutnya dibiarkan tergerai, lalu mengambil clutch bag dengan tali rendah sebagai wadah ponsel, dompet, sebungkus kecil tissue, serta lipgloss. Merapikan goresan eyeliner cair di garis kelopak matanya, dari ujung hingga pangkal. Suara klakson terdengar dua kali dalam rentang jarak berdekatan. Bergegas Danisa keluar menuju balkon depan kamarnya. Benar saja, mobil Innova berwarna hitam yang dikendarai Kristo sudah tiba dan menunggunya di depan rumah kos. Disambarnya clutch bag di atas kasur, menutup rapat jendela kamar, mematikan pendingin ruangan, mengunci pintu, lalu menuruni tangga dengan cepat. “Makan di mana kita, Sa?” Satu tangan Danisa menutup pintu mobil, sementara tangan lainnya memegang clutch bag yang digunakan sebagai pemukul lengan Kristo. “Aduh! Aku tanya baik-baik kok malah dipukul, sih?” “Kamu sudah tau kita mau kemana, kan? Kenapa pakai acara tanya segala!” “Maksudmu?” “Itu, temanmu si Erik tadi telepon aku.” “Oh, Erik. kalau nggak ke sana sekarang juga nggak apa-apa. Bisa kapan saja, kan?’ “Nggak enak dong. Dia sudah undang, lalu kita nggak datang, mana bisa begitu? Nggak sopan, kan?” "Jadi kamu mau ke sana aja?” “Ya, lagian kamu juga sih, pakai acara kasih tau nomor ponselku.” “Nggak gitu juga ceritanya, Sa. Dia tadi tanya kabar Ryan, langsung aku ceritakan, dan buntutnya maksa mau telepon kamu langsung.” “Oke, fine. Aku nggak apa-apa kok. Yuk, kita ke sana aja. Kamu sudah tau alamatnya, kan?” Kristo menghela napas panjang. “Oke, Juragan!” memundurkan mobil hingga di mulut gang, dan berbatasan dengan jalan raya. Dengan cekatan, diputar kemudinya, dan melaju kencang menuju Jimbaran. Cinnamon Terrace, terdiri dari satu pondok utama, lima gazebo di area kolam ikan, dan beberapa meja payung taman. Sederhana, cozy, cantik, tenang, empat kata yang terlintas pertama kali dalam pikiran Danisa ketika turun dari mobil. Menjatuhkan cinta pandangan pertama pada tempat makan yang eksotis itu. Erik segera datang menyambut teman lamanya, merangkul Kristo dan menepuk punggungnya beberapa kali, lalu menyapa Danisa, dan menyalaminya, erat dan lama. “Ehm. Jangan kelamaan salamannya. Udah lapar, nih!” Kristo sengaja mengganggu, melihat mata Erik yang tidak lepas memandang wajah manis sahabatnya. Dia sendiri pun agak heran, Danisa tampak tenang, tidak terlihat gugup atau canggung dengan tatapan Erik yang terpaku padanya. Perempuan itu tersenyum tenang, balas menatap ke dalam mata pemilik Cinnamon Terrace. “Ah, sorry, sorry. Yuk, ke dalam!” Erik membawa mereka ke satu private gazebo di bagian tengah. Ketiganya berjalan melewati jembatan-jembatan penghubung dari pondok utama ke gazebo, dan antar gazebo. Bangunan-bangunan kecil semi permanen itu berada di atas kolam ikan berkedalaman 1,3 meter. Di tiap sudutnya diberi lampu sorot, ke arah atas dan ke arah kolam, memantulkan cahaya cantik tiap kali ikan-ikan berenang menimbulkan riak kecil di permukaan air. Seorang pelayan perempuan berkebaya tradisional Bali mengikuti dari belakang. Setelah Danisa dan Kristo duduk, dia memberikan masing-masing tamunya sebuah buku menu bersampul kulit sintetis. “Our signature is Thai, but we also serve Balinese and Indonesian cuisine.” Erik menjelaskan, sambil membukakan buku menu di hadapan Danisa. “Silakan dipilih, dijamin enak semua.” “Jadi kamu resign dari PMK terus langsung bikin restoran ini, Bro? Mantap!” Kristo membuka percakapan. “Well, itu yang ada di dalam pikiranku waktu itu. Sayangnya uang tabungan belum cukup, modal ilmu juga belum mumpuni.” “Lalu?” tanya Danisa, dia juga penasaran, bagaimana seorang Erik yang dulu tampaknya biasa saja kini telah bermetamorfosis menjadi pengusaha kuliner. Bukan kelas main-main, Danisa sibuk mereka-reka berapa modal yang telah dikeluarkan lelaki itu. “Aku ke Thailand, kerja di perusahaan konsultan interior di sana. Ngumpulin modal, uang dan ilmu masak menu Thai.” “Berapa tahun di Thailand?” tanya Kristo. “Total lima tahun. Dua tahun full jadi karyawan, satu tahun nekat buka street food sama teman orang asli sana. Bangkrut, modal habis, malah nanggung hutang.” Erik tertawa mengenang masa lalunya hidup terlunta-lunta di negeri orang. “Lalu aku kerja lagi setahun lebih, setelah hampir enam bulan hidup luntang-luntung di sana, syukurnya nggak dideportasi," Erik tertawa lebar, memamerkan kerut-kerut di ujung mata serta lesung pipinya. Cahaya lampu dan suasana restoran yang temaram membuatnya tampak memesona. "Keberuntungan datang, aku dapat kenalan baru, orang Indonesia yang juga punya cita-cita sama. Dia yang mengonsep ini semua, secara finansial tentunya, cos, I was totally broke,” lanjutnya sambil tertawa lagi. “What a dramatic story!” Danisa menghela napasnya. “Eh—hm, I could tell the worst dramatic if you like to listen.” Erik mengedipkan matanya pada Danisa. Wajah perempuan itu merona, disibakkan rambutnya ke belakang bahu, membolak-balikkan halaman buku menu untuk menutupi kegugupannya. “So, apa rekomendasi menu malam ini?” tanya Danisa. “Oke, aku akan siapkan menu terbaik kami, ya! Kalian tunggu di sini sebentar.” Erik kemudian pergi bersama pelayan perempuan yang mengiringinya sejak tadi. Danisa meraih air putih dingin dalam gelas berkaki, diteguknya sedikit sambil menikmati cahaya lampu yang menyoroti gazebo, kolam, taman. Kain-kain putih dililit di tiang-tiang, meliuk dan melambai tertiup embusan angin. “Cantik, ya, Kris,” ujarnya mengagumi. Kristo hanya mengangguk samar, menaik-turunkan alisnya sebagai jawaban untuk Danisa. Tak berapa lama, tiga orang pelayan datang, menyuguhkan Som Tam—salad dari serutan pepaya muda yang disiram saus kacang sebagai menu pembuka. Lalu berturut-turut, semangkuk besar Massaman Beef Curry—kari daging sapi, dua piring Phad Thai—mie goreng dengan potongan daging kepiting dan kacang kedelai, dan Tom Yam Goong dalam pot tungku ukuran sedang. Terakhir, disuguhkan Mango Sticky Rice, sebagai makanan penutup, serta dua gelas jus berisi mix fruit dingin. Aroma kapulaga, jinten, kayumanis, jeruk nipis dan cabai berbaur. Menari-nari di ujung hidung, menggoda untuk dihirup dan disesap, Membuat kelenjar saliva mengeluarkan cairan sebagai reaksinya terhadap aroma yang telah dihidu. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD