Heart's Echo

1297 Words
Kristo mengajak Danisa makan siang di sebuah kedai kecil dan sederhana di pinggir jalan Kunti. Menu yang disajikan aneka masakan Italia, dengan berbagai variasi. Danisa menolak memesan ala cartè yang tertera dalam daftar menu, yang tak jauh-jauh dari pizza dan pasta. Dia berjalan ke dekati kasir, di sana ada berbagai masakan rumahan Italia yang ditata dalam buffet kaca. "Pilih menu touch screen, kangen makan di warteg, ya?" canda Kristo, langsung dibalas dengan ujung siku Danisa menohok keras perutnya. "Haduh! Emangnya aku sandsack?" protes Kristo membelalakkan matanya. Danisa memilih tiga butir arancini—bola-bola nasi yang bercampur keju, telur, rempah lalu digoreng dalam balutan tepung roti. Ditemani beef stroganoff dan tumis kale yang dicampur parutan wortel. Sedangkan Kristo tampaknya puas dengan satu loyang besar pizza dengan toping bunga kol cincang, potongan besar tuna, dan saus tomat pedas serta mozzarella. Keduanya juga memesan air mineral dan smoothies buah. "Enjoy your lunch!" ujar pemilik kedai, tersenyum ramah ketika mengantar pesanan mereka. Seorang pria Italia tulen yang telah lama tinggal dan menetap di Bali. Posturnya yang gempal, dengan kepala plontos, dan matanya yang jenaka, mengingatkan Danisa akan aktor Hollywood, Danny de Vito saat masih muda. Mirip sekali! "Pizzanya enak, Kris?" "Kalau laper semua enak. Mau coba?" Kristo menyodorkan loyang pizza agar Danisa mudah menjangkaunya. "Makan pakai tangan saja, lebih nikmat," lanjutnya. Mulutnya penuh mengunyah potongan besar pizza. Danisa mengigit ujung potongan pizza yang baru diambilnya. "Enak juga pakai kembang kol gini. Asin manis!" "Kalau enak, berarti kamu yang bayar, ya," goda Kristo. "Nih aku balikin, cuma gigit sedikit doang!" Sahabatnya itu tertawa hingga tersedak. "Nah, sukurin!" umpat Danisa menertawakan wajah Kristo yang memerah. "Apes bangeeet! Makan keselek gara-gara minta bayarin!" Kristo menegak habis air mineralnya. Selera makannya menjadi hilang. "Sisanya dibungkus aja deh. Taruh kantor pasti langsung ludes, dihabisin Iman." "Makanya kalau pesan makanan pakai ukuran. Padahal pizza yang ukuran medium kan, ada tadi di menu." "Kirain tadi kamu mau bagi dua. Nggak taunya malah pilih buffet." Selepas menikmati makan siang, keduanya kembali melanjutkan perjalanan. "Ternyata enak ya, jadi orang lapangan. Bisa jalan-jalan tiap hari," celetuk Danisa, menikmati jalanan naik turun dan sedikit kelokan menuju Canggu. Sepanjang yang Danisa tahu, Canggu adalah nama desa di wilayah Kuta Utara, yang berbatasaan dengan Seminyak dan Tanah Lot di bagian utara. Bila Seminyak berisi deretan restoran dan butik-butik mahal, maka Canggu dipenuhi private villa, resort, dan beach club terkenal, dengan pemandangan langsung ke arah pantai Canggu, Batu Mejan, Berawa, Batu Bolong, dan Pererenan serta sawah-sawah padi cantik yang bersusun terasiring. Dibuat seperti itu untuk memudahkan pengairan dari yang paling atas sampai ke petak di bagian bawah. Pantai-pantai di Canggu tak kalah indah dari pantai di Kuta selatan. Menghasilkan ombak-ombak yang cukup tinggi dan kuat. Tak heran setiap hari ada banyak surfer, yang berasal dari dalam dan luar negri, mengincar ombak pantai-pantai di sana untuk ditaklukkan. "Nggak setiap kali harus jalan-jalan, Sa. Kebetulan aja, di Bali setiap tempatnya menjadi daerah wisata. Jadi ya, seperti ini, kerja rasa plesiran. Pas lagi mumet, kerjaan banyak masalah, gampang buat cari tempat refreshingnya." "Nah itu bedanya, Kris. Kalau di Jakarta, kita suntuk-suntuk eh malah ke mall. Bukannya segar malah tambah suntuk. Ngeliat barang bagus-bagus tapi gajian masih lama. Hahaha!' "Huh! Kalau itu sih, dasar kamu tukang belanja!" Keduanya tertawa lepas. "Eh, ini udah sampai? Tempat apa ini, Kris?" Danisa memutar posisi duduknya, menengok kiri dan kanan, mencari tahu di mana mereka berada. Kristo tidak menjawab pertanyaannya, dia sibuk mencari tempat untuk memarkirkan mobil. "Kita mau nemuin Pak Adrian, Sa, ownernya Pratama & Pratama." "Oh! Itu sebenarnya kantor konsultan atau jasa outsourcing, sih?" "Outsource, tapi kadang dapat proyek, ya dikerjakan sendiri juga. Tapi mereka hanya ambil pekerjaan sebagai konsultan ahli saja, tidak pekerjaan konstruksi secara keseluruhan," papar Kristo. Keduanya berjalan beriringan masuk ke area beach club di kawasan Pantai Batu Mejan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pantai Echo. "Udah tau mau meeting di sini, kenapa tadi kita makan dulu!" tukas Danisa, sembari melihat sekeliling beach club yang memiliki pemandangan dan batas langsung pinggir pantai. Pasti makanan di sini tak kalah enak dibanding masakan Italia tadi, pikir Danisa. Bali terkenal dengan aneka menu seafood segar yang menggugah selera. Jemari Kristo menelusuri layar sentuh ponselnya, mencari nama Adrian, kemudian memencet tombol bersimbol telepon. "Soalnya kalau makan di sini nanti kamu bikin malu aku, Sa. Kamu kan, doyan banget seafood. Bisa nggak konsen meetingnya." Danisa menonjok pinggang lelaki tinggi kurus berwajah oriental, sahabatnya itu. "Ouch! Sak—" Panggilan telepon Kristo sudah dijawab. "Hallo, Pak Adrian. Saya sudah sampai di Echo," kata Kristo cepat beralih perhatian, bicara melalui sambungan telepon. "Oke, Pak. Saya tunggu di dalam," lanjutnya. "Beliau belum datang?" tanya Danisa. "Katanya sekitar lima belas menit lagi. Yuk kita masuk duluan." Danisa mengajak Kristo memilih tempat duduk di beranda luar restoran, tepat di pinggir pantai. Beach club itu mungkin lebih sederhana dibanding tempat sejenis lainnya di pesisir Bali selatan. Namun kesederhanaannya itu membuat pengunjung merasakan suasana homy. Tenang dan nyaman menikmati embusan angin, mendengarkan suara deburan ombak, dan membiarkan kaki-kaki terbenam pasir pantai. Walaupun warna pasir di pantai itu hitam, tapi bersih dan lembut. Danisa melepas flatshoesnya, dan berjalan hingga bibir pantai. Sementara Kristo memilih duduk di bangku kayu bercat putih, memesan minuman untuk mereka. Kaki-kaki mungil Danisa basah disapa riak-riak kecil yang menyentuh bibir pantai. Ia menarik jeansnya hingga ke betis, agar air laut tidak membuat celana panjang yang dikenakannya basah. Sudah lewat tengah hari, namun pancaran sinar matahari tidak terlalu kuat, tertutupi arakan awan berlatar langit yang masih berwarna biru, secerah pagi hari. Danisa memandang lurus ke arah horizon. Pikirannya melayang-layang, mengingat kenangannya bersama Ryan. Almarhum suaminya itu yang membuat dirinya menyukai wisata alam. Ryan sudah menggemari kegiatan outdoor dan olah raga ekstrim sejak masih duduk di bangku sekolah. Kecintaannya pada alam ditularkannya ke Danisa sejak mereka resmi pacaran di tahun pertama kuliah. Ryan mengenalkan asyiknya naik gunung, camping, menyusuri hutan pinus, berjemur di pantai, mencoba berbagai olah raga air, dari mulai diving, surfing, hingga bungee jumping. Khusus olah raga ekstrim langsung ditolak Danisa. "Aku belum mau mati muda," kata Danisa kala itu, yang langsung mendapat ejekan dari Ryan. Tanpa terasa, garis bibir Danisa melengkung membentuk garis senyum mengingat semuanya. Terlebih saat ingatan itu meloncat ketika Danisa memilih city tour di Singapura untuk bulan madu mereka. Bulan madu yang seharusnya menyenangkan bagi pasangan yang baru menikah, berubah menjadi ajang protes Ryan. Sepanjang jalan Orchard Road, suaminya itu cemberut dengan kening berkerut macam orang tua. Hingga akhirnya mereka tiba di Sentosa Island, barulah suasana agak sedikit reda. Untunglah bulan madu hambar mereka tergantikan dengan study excursion kantor PMK ke China. Pak James mengizinkan Ryan membawa Danisa serta dengan syarat membayar pengeluarannya sendiri, karena waktu itu Danisa belum menjadi karyawan di sana. Acara kantor berubah menjadi bulan madu kedua pasangan itu. Membuat iri dan menjadi bahan becandaan rekan-rekan kerja Ryan. Mengingat semuanya yang seperti baru terjadi kemarin. Getar pilu dan lirih merasuki hati Danisa. Kedua matanya mulai berkaca-kaca, menggigiti bibir menahan kegetiran yang mulai merasuki pikirannya. Rindu pada sosok Ryan yang masih hidup. Rindu kehangatan pelukan dan liarnya saat bibir Ryan di atas bibirnya. Rindu obrolan dan canda tawa yang selalu mereka lakukan setiap hari. Mendiang Ryan tidak pernah absen menelepon istrinya, sesibuk apapun dia bekerja. Hanya sekedar menyapa, memanggil nama lengkapnya, Danisa Alfianti Wiratama, menanyakan keadaannya setiap dua jam sekali. Hangat dan membuat Danisa selalu merasa suaminya berada di dekatnya setiap saat. "Sa! Danisa!" teriak Kristo, melambaikan tangan memberi isyarat agar Danisa kembali ke meja mereka. Dilihatnya seorang lelaki muda sudah duduk di hadapan sahabatnya itu. Itu kah Pak Adrian? Sangat muda untuk seorang pemilik perusahaan. Dan sepertinya cukup tampan! bisik hati Danisa. Dia berjalan pelan mendekat, sembari menyisir rambutnya yang tertiup angin. Diusapnya air mata yang tadi hampir menetes. Senyum manis kini tersungging di wajahnya. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD