The Beginning

1148 Words
Selesai mengisi perutnya dengan teh hangat dan double cheeseburger, mood Danisa membaik. Paduan kurang istirahat dan lapar memang berhasil meningkatkan level keganasan seseorang. Saat ini, Danisa dengan tenang melanjutkan pekerjaannya, melengkapi desain The Premier, ditemani suara Adam Levine. Namun tak berapa lama, terdengar suara-suara orang berdebat di lantai bawah mengusik ketenangannya. Dengan heran, ia bangkit dari kursi dan membuka pintu ruangan. "Man, ada apa sih?" teriaknya dari balkon. Iman, yang berada di teras bawah, tidak menjawab pertanyaan Danisa, dia sibuk berusaha menghalangi seseorang masuk ke dalam kantor. Hingga terpaksa Danisa turun ke lantai bawah, "Ada apa, Man?" tanyanya lagi. Iman menoleh, "Ini lho, Bu—" Seorang perempuan tua mendorong tubuh Iman agar bisa langsung menghadap Danisa. "Mbak ini sekretarisnya Pak Kristo, ya? Kalau gitu saya mau bicara sama mbak saja!" ucapnya lantang. "Em, maaf, Bu, tapi saya bukan sekre—" "Saya tadi pagi-pagi sudah telepon Pak Kristo, beliau bilang saya boleh langsung datang ke sini. Tapi adik ini menghalangi saya masuk!" perempuan tua bertubuh gempal itu terus mengomel, sembari menunjuk-nunjuk ke wajah Iman. "Ibu, kita bicara di dalam saja, ya. Mari ikut saya, Bu," ajak Danisa, lalu menoleh ke Iman. "Tamu kok kamu perlakukan seperti itu sih? Orang tua lagi!" tegurnya berbisik. "Lha, dia maksa sambil marah-marah, mau ketemu Pak Kristo, padahal orangnya aja belum datang," bisik Iman membela diri. "Ya tapi nggak perlu terlalu kasar lah. Sopan santun tetap harus dijaga." "Maaf, Bu, saya tadi cuma mau kasih tau ke ibu itu. Dianya udah sewot duluan." "Kamu, nih, ngeyel terus!" tekan Danisa dengan geram tertahan. "Sudah sana, tolong buatkan minuman." Kemudian Daniasa berpaling lagi ke ibu tua itu, "Ibu mau minum apa? Teh atau kopi?" "Nggak, Mbak! Nggak perlu. Saya bisa minum di rumah. Saya kesini mau bicara hal penting." "Baik, Bu, silakan duduk." Danisa mempersilakan ibu itu duduk di sofa di ruang tamu. Ibu itu menurut, duduk dengan sikap angkuh. Kris, Kris! Ini tho, tamu yang kamu bilang tadi. Pantas kamu milih ngacir, pakai bilang ada urusan di luar segala. Paling juga kamu malas berhadapan sama ibu ini. "Jadi apa yang bisa saya bantu, Bu?" "Pak Kristo itu lho, Mbak. Kok orangnya ingkar janji. Saya mau menuntut perihal kesepakatan yang telah kami buat." Perempuan tua itu bicara dengan nada tinggi, napasnya sedikit terengah-engah. Jari telunjuk yang gempal berhias pewarna kuku merah tua, senada dengan pemulas bibirnya, menunjuk-nunjuk lagi, kali ini ke wajah Danisa. Menghadapi orang yang lebih tua memang tidak mudah. Harus banyak-banyak bersabar, mendengar dengan penuh perhatian, bicara pun harus memilih kalimat yang baik. Walaupun hati geram, karena tidak tahu duduk persoalan yang sebenarnya, tapi sopan santun wajib dijaga. Jadi Danisa tetap berusaha agar garis senyumnya terus mengembang, di kala wajahnya ditunjuk-tunjuk. Ibuku saja nggak pernah begini kalau ngomel, cetus Danisa dalam hati. "Begini, Bu." Danisa akhirnya mendapat bagian bicara setelah lama menunggu ibu itu selesai ngomel. "Saya kan—hm, maaf, kita belum sempat kenalan. Saya Danisa, Ibu namanya siapa?" "Saya Merry!" "Ehm, Bu Merry, saya baru kemarin tiba di Bali. Saya belum mengerti ada kesepakatan apa antara Ibu dengan Pak Kristo. Bisa tolong dijelaskan supaya saya paham?" Belum sempat ibu itu menjawab, Iman mengetuk pintu. "Masuk, Man!" seru Danisa. "Maaf, Bu. Di depan ada yang datang lagi. Katanya suami Bu Merry." Bu Merry langsung beranjak dari kursinya dan bergegas keluar. "Haduh! Punya suami satu saja kok susah sekali diurus! Disuruh enak-enak tiduran di rumah malah ikut nyusul kemari!" omelannya menggema di ruang kantor yang masih melompong, belum sepenuhnya terisi furniture. Tinggallah Danisa kebingungan, menatap penuh tanya pada Iman, yang hanya dibalas dengan mengangkat kedua bahunya. Rasa penasaran yang akhirnya mendorong Danisa dan juga Iman ikut keluar menyusul Bu Merry. Di pintu pagar, seorang laki-laki tua kurus duduk di kursi roda. Sepertinya suami Bu Merry menderita lumpuh, mungkin disebabkan stroke, karena dia kesulitan bicara, hanya menggerak-gerakkan bibir dan tangannya. Itu pun susah dipahami. "Haduh, Suuuss! Kamu gimana sih? Masa Bapak dibawa kesini!" bentak Bu Merry pada perawat yang mendorong kursi roda suaminya. "Maaf, Bu. Tadi Bapak yang—" "Ah, sudah! Sudah! Ayo lekas kita pulang. Lagian percuma juga kesini. Pak Kristonya tidak ada." Ketiganya pergi begitu saja meninggalkan kantor tanpa pamit permisi. Danisa dan Iman sampai tercengang melihat tingkah laku orang-orang tua itu. "Man, tolong panggilkan satpam. Suruh ke ruangan saya, kamu gantikan dia dulu sementara di depan." "Oke...!" Rumah sewa yang dijadikan kantor itu cukup besar. Terdiri dari dua lantai, dengan total tiga kamar ukuran besar. Satu kamar yang ukurannya lebih kecil di lantai bawah, berisi satu buah meja kerja—untuk Pak James—serta sofa dua dudukan. Ruang tengah besar di lantai ini rencananya akan dijadikan ruang meeting besar. Tapi ruangan ini belum diisi furniture. Masih kosong melompong. Satu kamar di atas digunakan untuk ruang kerja Kristo, Danisa, dan Project Manager. Sedangkan kamar lainnya untuk tim lapangan, kondisinya pun masih kosong, belum berisi furniture. Pak Obed, laki-laki berusia hampir lima puluh itu masuk menghadap Danisa. "Ibu panggil saya?" tanyanya. "Ya, Pak Obed. Saya hanya ingin tanya, di pos ada buku tamu, kan?" "Ada, Bu." "Bu Merry tadi dari mana?" "Ibu yang tadi marah-marah?" "Iya." "Ibu tadi langsung nerobos masuk. Saya dan Iman coba tahan, dia langsung ngomel-ngomel. Belum sempat saya suruh isi buku tamu, Bu." Pak Obed mengusap keningnya, ia sadar telah melakukan kesalahan. "Kalau tidak salah, ibu tadi itu rumahnya di ujung gang, sebelum tanah kosong yang mau dibuat bedeng pekerja." Danisa bergumam tidak jelas, ia masih penasaran dengan Bu Merry, apa maksud kedatangannya dan apa keperluannya dengan Kristo. Karena tidak ada petunjuk sama sekali, akhirnya ia menyerah dan meminta Pak Obed kembali bertugas di posnya. Terhenyak duduk sendiri di ruangannya, Danisa memijat-mijat kening. Baru dua hari bekerja, sudah ada masalah yang harus dihadapi. Walaupun belum tentu itu masalah pembangunan The Premier, tapi bisa jadi juga ada kaitannya. Kalau boleh jujur, Danisa merindukan suasana kerja dalam kantor yang nyaman di Jakarta. Kehidupan yang serba teratur serta kebersamaannya dengan Atalla. Haruskah dia berjalan mundur ke belakang? Menyerah bahkan sebelum pertempuran di mulai? Pertempuran? Ah, bukan, ini semua hanya pekerjaan yang harus diselesaikan. Kristo dan—Ryan—hanya menakutinya mengenai pekerjaan lapangan yang berat, tekanan tinggi, emosi yang bercampur aduk. Dibutuhkan kematangan, profesionalisme dalam bekerja, dan yang pasti sanggup bersikap tenang di bawah tekanan pekerjaan. Danisa menghela napas panjang. No, I won't give up! "Man!" panggilnya pada Iman yang berada di pos satpam. "Ya, Bu!" sahut Iman. "Kunci motor dong." "Mau kemana, Bu?" "Wanna know aja," candanya. Dalam hitungan menit, Danisa telah menyusuri jalan Kartika Plaza, terus mengikuti petunjuk jalan, hingga tiba di gerbang Pantai Legian. Ia memarkirkan motornya, melepas sepatu dan menaruhnya di bagasi motor, lalu berjalan tanpa alas kaki. Membiarkan angin pantai menerpa kulit wajah, dan menyapu rambutnya. Bulir-bulir pasir lembut membenam jemari kakinya. Kristo benar, aku harus sering-sering melakukan ini. Relaksasi murah meriah, tidak perlu keluar uang banyak seperti pergi ke spa. Dihirupnya dalam-dalam aroma pantai yang berhasil dengan mudah mengurai kerutan-kerutan dalam pikirannya. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD