Hari Minggu sore itu, rumah yang tak begitu besar, yang dulu mereka bangun bersama terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Tirai berkibar pelan, dan lantai kamar dipenuhi koper terbuka serta tumpukan pakaian yang masih terlipat rapi.
Kirana berdiri terpaku di depan lemari, jari-jarinya gemetar saat menarik baju-baju Huda. Setiap kain yang ia masukkan ke dalam koper terasa seperti menyusun kembali luka yang ia berusaha tutup.
Pintu kamar terbuka. Huda masuk sambil mengusap keringat di pelipis, wajahnya terlihat buru-buru—atau sok penting.
Lelaki ini, sudah bercerai pun masih mengganggu hidupnya. Kirana bersumpah kalau dia bakal menyesal memperlakukan Kirana seperti ini. Di masa lalu, Huda selalu bersikap lembut dan penuh perhatian, tidak pernah sekalipun membentaknya. Siapa yang tahu di balik sikap lembutnya ternyata dia sudah menumpuk banyak kebohongan.
“Kirana, cepat ya. Flight aku jam lima kalau sampai aku ketinggalan pesawat kamu mau tanggung jawab!,” katanya sambil melempar diri ke kasur, membuka handphone tanpa menoleh pada istrinya.
Kirana mendongak pelan. “Kenapa kamu nggak suruh… dia saja?” Nada suaranya datar, tapi rahangnya mengeras. “Kamu kan selalu bilang dia perhatian.”
Dia yang dimaksud adalah selingkuhan, cinta pertama Huda. Yang Kirana tidak pernah tahu selama tiga tahun terakhir ini mereka sudah berhubungan kembali.
Huda mendongak dengan malas. “Dia lagi sibuk,” jawabnya enteng, seolah itu alasan paling masuk akal di dunia. “Makanya kamu aja yang siapin. Kamu kan di rumah terus.”
Kirana membeku. Dadanya sesak seperti dicekik dari dalam. Dia bilang di rumah terus, apa matanya buta tak melihat bagaimana dia bekerja banting tulang agar bisa membayar hutangnya ke rentenir itu.
“Aku nggak sibuk?” ulang Kirana, nadanya pelan tapi tajam. “Kamu pikir aku ini apa? Pembantu gratisan?”
Huda duduk, ekspresi kesalnya muncul. “Kirana, jangan mulai. Kamu tuh tanpa kerja pun pasti dapat uang dari Pak Bram. Jadi jangan banyak alasan.”
Uang dari Pak Bram? Dia pikir Kirana mendapatkannya sebagai santunan. Dasar suami biadab! Sudah menukar istrinya dengan uang, pekerjaan masih bisa berkata demikian. Kalau saja ga memikirkan Kiara, Kirana sudah ingin menusuk pria itu hingga mati.
Urat di leher Kirana menegang. Ia menggenggam baju Huda begitu kuat hingga knuckle-nya memutih.
Dalam batinnya, amarah berdesakan seperti air mendidih:
Dia sudah menjualku. Menjual harga diriku untuk uang. Dan kini masih berani memperlakukanku seperti ini?
“Aku ini kerja, Mas!” bentaknya nyaris tak terkendali. “Kerja mati-matian! Bukan hidup enak seperti kamu bayangkan!”
Huda berdiri mendekat, wajahnya berubah lebih serius. “Aku tahu Pak Bram pasti kasih kamu kartu ATM. Jadi kalau ibuku datang dan minta uang, kamu kasih. Ingat.”
Kirana menatapnya, mata melebar tak percaya. “Kenapa aku harus kasih? Kita udah nggak ada hubungan lagi, Mas.”
Huda menghela napas panjang, seperti orang dewasa menghadapi anak kecil. “Ibuku… Ibumu nggak tahu kita cerai. Kalau dia tahu, dia pasti shock. Kamu mau dia serangan jantung? Kamu mau dia mati?”
Kirana merasakan dorongan kuat untuk melempar koper itu ke wajahnya. Matanya memerah, bukan oleh air mata, tapi oleh amarah yang mendidih.
“Jangan sumpahin ibuku, Mas!.”
Huda mengangkat kedua tangannya, nadanya berubah lebih lembut, manipulatif. “Ya sudah… makanya nurut. Jangan banyak melawan. Aku ini masih papa Kiara. Kalian tetap butuh aku.”
“BUTUH APA?” Kirana hampir berteriak. Suaranya pecah. “Dua tahun ini kamu nggak pernah nafkahin anakmu! Alasannya usaha bangkrut! Dan aku yang harus banting tulang!”
Huda menunduk, tapi bukan menyesal—lebih seperti malas mendengar.
“Aku pergi untuk masa depan kita,” gumamnya pelan, mengulang kalimat yang dulu pernah membuat Kirana percaya. “Lagian yang gak mau dimadu kan kamu, kalau kamu mau menerima kan kita tetap jadi suami istri. Aku masih sayang kamu, Kirana!” Huda membalai rambut Kirana dan dia langsung menangkisnya.
“Omong kosong! Kamu hanya memanfaatkanku, kalau kamu sayang sama aku kamu gak mungkin jual aku! Lelaki gila yang rela perempuan yang dia sayang disentuh pria lain!”
“Jangan drama Kirana..aku sayang kamu, tapi sayangku pada Olivia lebih banyak ..gak papa kamu berkorban sedikit. Ingat dulu, ibumu dirawat di rumah sakit habis puluhan juta, aku yang mengupayakan!”
Mata Kirana memerah “Kalau kamu anggap itu hutang, kenapa gak bilang, hah? Aku akan bayar, bukan kamu seenaknya menjadikan aku jaminan dengan terus menerus menambah hutang sampai milyaran begitu.?”
Kirana terisak.
“Kamu pikir aku gak punya perasaan, ya?”
“Tsk! Kirana…kamu terlalu berlebihan! Aku tahu, kamu pasti menikmati sentuhan Pak Bram! Hahahaha”
Tawa Huda menggelegar, hati Kirana rasanya diremas-remas.
“Dasar b******n….”isak Kirana, air matanya menetes ke tumpukan baju Huda di koper.
Kirana menarik napas panjang, mencoba meredam gemuruh dalam dadanya. Ia kembali menutup koper, tangannya bergetar.
“Bajumu sudah siap, sebaiknya kamu segera pergi dari sini, Mas!.”
Hanya itu yang bisa ia ucapkan sebelum emosi mengoyaknya dari dalam.
Mobil itu melaju perlahan meninggalkan halaman rumah. Kirana berdiri kaku di depan pagar, memandangi lampu belakang yang makin mengecil sebelum akhirnya hilang di tikungan. Tidak ada air mata yang jatuh kali ini. Hanya rongga kosong di d**a, seperti ada ruang yang tiba-tiba dipreteli paksa.
Begitu suara mesin menghilang sepenuhnya, Kirana memegang dadanya dengan kedua tangan—bukan karena rindu, tapi karena sesak yang merayap naik dari perutnya. Sesak yang berasal dari rasa kotor yang sudah terlalu lama ia tutupi dengan alasan-alasan murahan.
Bukan Huda yang memenuhi kepalanya.
Melainkan wajah orang tuanya.
Wajah Kiara.
Kalau mereka tahu anak dan ibu seperti apa aku ini…
Ia mengusap wajahnya kasar, lalu masuk ke rumah yang terasa seperti bangunan kosong yang kehilangan jiwa. Hanya ada koper-koper lama, lemari yang harusnya terisi penuh kini tampak seperti cangkang tak berguna. Sebagian besar barang berharga sudah terjual—untuk menutup hutang, untuk bertahan hidup, untuk segala hal yang tidak pernah ia banggakan.
Kirana menunduk memungut kaos kecil milik Kiara di lantai. Aroma bedak bayi samar-samar menyentuh hidungnya. Dan rasa perih di dadanya kembali muncul.
Ia belum sempat menarik napas panjang ketika ponselnya berdering keras—memecah kesunyian seperti cambukan.
Nama Bramasta muncul di layar.
Tidak pesan.
Telepon.
Jantung Kirana mencelos.
Dengan tangan dingin, dia menggeser ikon hijau.
“Ya, Pak…” suaranya lirih.
“Besok pagi jam enam kamu di rumah saya.” Suara Bram tegas, tidak memberi ruang tawar. “Saya mau berangkat lebih awal. Kamu siapkan semuanya dari A sampai Z. Mengerti?”
Kirana menutup mata sejenak. A sampai Z. Ia tahu persis apa maksudnya.
“K…ke rumah Bapak? Iya, Pak.”
“Hm.” Ada jeda singkat, terdengar seperti Bram sedang mengecek sesuatu. “Dan Kirana… jangan pakai baju kerja biasa. Pakai yang saya kirim tempo hari itu.”
Kirana menggigit bibir bawahnya sampai terasa asin.
Yang Bram maksud bukan seragam kantor.
Dan itu bukan sesuatu yang pantas disebut “pakaian”.
“B—Baik, Pak.”
Bram tampak belum selesai. “Kalau kamu belum beli yang saya inginkan, beli sekarang. Saya tidak mau lihat kamu pakai yang lain.”
Nada perintahnya menusuk, membuat perut Kirana berputar seperti mau muntah oleh rasa malu.
“Iya, Pak…”
“Good girl,” gumam Bram pelan, rendah, dan menampar harga diri Kirana lebih keras daripada makian mana pun. “Jangan buat saya ulangi perintah.”
Telepon terputus.
Keheningan kembali mengisi rumah. Tapi kini, keheningan itu seperti menertawakannya.
Kirana duduk di lantai, lututnya gemetar.
Ia menatap sekeliling ruangan—ruang tempat ia dulu merasa berharga, menjadi istri, menjadi ibu, menjadi anak yang diharapkan hidup benar.
Sekarang ia merasa sebaliknya.
Seperti lumpur di bawah kaki sendiri.
Seperti perempuan yang tersesat terlalu jauh ke dalam kubangan yang ia buat sendiri.
Ia menatap ponsel yang masih ada di tangannya.
Satu panggilan dari Bram cukup untuk mengguncang seluruh fondasi harga dirinya.
Dengan tangan gemetar, Kirana berdiri.
Ia mengambil tas, menutup pintu rumah, dan melangkah keluar.
Menuju mall.
Menuju pilihan yang ia tahu akan semakin membuat dirinya tenggelam dalam rasa hina.
Tapi dia tetap pergi.
Karena jalan kembali ke dirinya yang dulu… sudah tidak ada.
Dinginnya AC mobil taksi tidak mampu meredakan panas yang menjalar di kulit Kirana. Ponsel di genggamannya bergetar sekali, lalu dua kali. Dua notifikasi dari dua dunia yang berbeda sekaligus.
Taksi akhirnya sampai di mall. Kirana berjalan dengan langkah gontai menuju toko lingerie ternama. Dengan malu-malu, ia memilih beberapa set yang menurutnya sudah cukup berani—rendahan dengan lace, warna merah menyala, bahan yang nyaris transparan.
Dia mengirim foto pilihannya kepada Bram, berharap salah satunya disetujui.
Jawaban Bram datang hampir langsung. Bukan tulisan, tapi sebuah gambar baru. Sebuah set yang jauh lebih vulgar, lebih terbuka, dan hampir tidak meninggalkan ruang untuk imajinasi. "Ini. Size kamu kan M? Beli yang warna hitam," perintahnya.
Kirana memandangi gambar itu, darahnya berdesir campur aduk antara malu, jijik, dan—yang paling menyiksa—sebuah gairah terlarang yang mulai membara. Dia merasa seperti sedang mempersiapkan kostum untuk film porno, bukan "seragam dinas".
Tapi dia sudah tidak punya pilihan. Dia sudah terjun terlalu dalam. Dengan tangan gemetar, dia memberikan kartu ATM hitam pemberian Bram kepada kasir, membayar untuk sesuatu yang akan digunakan untuk menghancurkannya sendiri.
Dia tidak lagi memiliki kendali. Jalan mundur sudah tertutup. Yang bisa dilakukannya hanyalah menuruti setiap keinginan Bram, sambil berharap suatu saat nanti, semua pengorbanan ini akan sepadan.