BAB 8.

1019 Words
Alex berjalan melalui pintu masuk bar, terpesona oleh gemerlap lampu-lampu neon yang membelah kegelapan malam. Suara musik bergemuruh di telinganya, menciptakan denyut yang memenuhi kekosongan dalam dirinya. Setelah menghadapi pertarungan sengit dengan komplotan mafia, inilah saatnya untuk melepaskan beban dan mencari pencerahan dalam tempat yang tidak terduga. Di dalam, suasana semakin hidup. Para pengunjung terbagi dalam percakapan-percakapan seru, tertawa, dan berdansa di tengah gemerlapnya cahaya. Alex merasakan energi yang berdenyut-denyut, seolah-olah bar ini adalah dunia terpisah di dalam dunia. Ia menuju ke bar, duduk di kursi kayu yang mengkilap. Bartender, seorang wanita dengan senyum ramah di wajahnya, tersenyum pada Alex. "Apa yang bisa saya tuangkan untukmu?" tanya wanita itu dengan penuh semangat. Alex mengangguk, memutuskan untuk memesan sesuatu yang kuat. "Whiskey, tolong." Wanita itu menyiapkan minuman dengan cekatan, dan Alex menyaksikan cairan amber itu mengisi gelasnya. Dia mengangkat gelasnya, membiarkan aroma khas whiskey mengisi hidungnya sebelum akhirnya mengambil tegukan pertama. Sensasi hangat merayap dari tenggorokannya, membawanya masuk ke dalam dunia baru. Sementara itu, pandangan Alex terhenti pada sekelompok wanita muda yang duduk di sudut bar. Mereka tersenyum, rambut panjang mereka berkilau di bawah cahaya. Mereka tampaknya memiliki kecantikan yang tidak biasa. Para wanita yang disebut gadis namun sudah tidak gadis lagi itu mulai merayu alex dengan gaya sensual. Namun tampaknya alex sama sekali tidak tergoda dengan para wanita yang sudah bergelanjut di tubuhnya saat ini. "Tuan tersenyumlah, kamu pasti akan terlihat tampan jika tersenyum?" "Tuan apakah kami masih kurang cantik hingga tuan tidak melihat kami seperti ini?" Saat para gadis itu mulai merayu Alex, matanya terfokus pada satu sosok yang tidak asing baginya. Mia. Hatinya berdebar kencang. Mia adalah gadis yang pernah hampir mati di tangannya, dan bayangan kejadian itu masih menghantuinya. Mata Alex memandang Mia dengan campuran perasaan yang tidak bisa dimengerti. Mia, meski terlihat berbeda sekarang, masih membawa kenangan tragis di masa lalu mereka. Alex mencoba menutupi kebingungannya, mencoba memahami alasan Mia berada di tempat ini. Apakah ini bentuk pencerahan yang ia cari? Ataukah kehadiran Mia di sini hanya kebetulan yang pahit? Dia mengangkat gelasnya, mencoba menenangkan diri. "Mia," batin alex. Alex memandang Mia sejenak, matanya penuh dengan pertimbangan dan keputusan. Tanpa ragu, ia mengeluarkan ponselnya dari saku dan memanggil Van, tangan kanan setianya. "Van," panggil Alex dengan suara tegas. "Aku di sini, alex," jawab Van dengan santai. "Ini penting. Aku butuh kamu melakukan sesuatu untukku," kata Alex, suaranya serius. "Terima perintah, Bos. Apa yang bisa aku lakukan untuk mu di dalam bar mewah ini hah?" Van bertanya dengan penuh antusiasme untuk membantu meski tersirat sedikit ejekan didalamnya. Alex menatap Mia sekali lagi sebelum berbicara "Kamu lihat gadis bartender itu" van mengikuti arah pandangan alex dan menemukan seorang bartender yang tidak asing di pelopak mata van, mia gadis yang pernah hampir di siksa oleh alex hanya karena tidak sengaja menumpahkan secangkir kopi. "Kamu ingin aku melakukan apa lex?" "Culik dia!" perintah alex dengan suara rendah namun terdengar mengerikan. "Apa kamu serius? menculik wanita itu, heiii apa yang ingin kamu lakukan kepadanya lex?" "Jangan banyak tanya lakukan saja apa yang aku perintahkan!" dengan menghela nafas berat van terpaksa mengikuti permintaan alias perintah dari alex yang merupakan bos sekaligus sahabtnya itu "Baiklah tapi aku harap kamu tida melakukan tindakan yang akan merugikan kita oke" Sepeninggalan van Tanpa ragu alex meninggalkan bar dengan para gadis yang ia sewa menuju kesebuah tempat yang sangat jauh dari keramaian kota menggunakan mobil mewah miliknya. Van melihat Mia berdiri di ujung bar dengan lihai mia mengocok minuman untuk para pelanggan di bar tersebut. Van melihat alex sudah tidak ada ditempat meski berat dan malas tapi perintah alex adalah ancaman baginya. Dengan berat hati dan langkah gontai van mendekati mia. "Hai" sapa van ramah layaknya para pengunjung bar lainnya. "Hai" mia balas menyapa. "Mia," bisiknya. Mia menoleh, matanya memancarkan campuran antara keterkejutan dan ketakutan."A-apa? yang barusan kamu katakan?" Van memberinya senyuman lembut. "Mia? nama kamu mia bukan?" "Darimana kamu bisa tau namaku?" "Tentu saja dari name tag yang kamu pakai." jawab van sedikit tersenyum. "Ohhh iya maaf aku kira kita pernah bertemu sebelumnya" ucap mia melihat wajah van yang terasa tidak asing di ingatan mia. "Benarkah? aku rasa tidak" dalih van. "Ahh mungkin itu hanya perasaan ku saja, baiklah karena aku sudah sedikit lancang karena berkata seperti itu maka aku akan mentraktir mu minum whisky." "Baiklah terimakasih. tapi kamu harus menemaniku untuk itu bagiamana?" "Itu tidak masalah." Langit malam menyelimuti kota dalam gelap total. Mia merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres pada pria yang kini duduk dihadapannya itu. ketika mia lengah dengan gerakan cepat dan terampil, Van menusukkan jarum ke dalam botol itu, menarik cairan hitam ke dalamnya dan memasukannya kedalam gelas minuman mia tanpa diketahui oleh siapapun yang berada disana. Bar yang ramai itu bukanlah suatu halangan bagi van untuk melaksanakan perintah dari atasannya itu. Mia yang polos tersenyum ramah dan meminum minaman itu tanpa ragu. Mia bisa merasakan sentuhan dingin dari cairan itu saat gelas itu bersentuhan dengan bibirnya. Detik berlalu seperti jam, dan dia merasa tubuhnya mulai terasa lemah. Pandangannya menjadi kabur, dunia berputar di sekelilingnya. Mia menatap van, bibirnya bergetar namun tidak mampu mengeluarkan suara. "Kita telah mencapai titik tanpa jalan keluar, Mia. Kita terperangkap dalam neraka ini, aku tidak punya pilihan selain melakukan apa yang alex minta mia." Dengan gerakan cepat van menangkap tubuh mia yang limbung, membawanya kedalam dekapannya pergi menghindari keramaian. Van memandang Mia dengan tanpa ekspresi. Langit malam menelan kota dengan bayangan kegelapan, menyoroti penderitaan yang tersembunyi di balik jendela-jendela tertutup rapat. Van, seorang pria dengan masa lalu yang penuh dengan keputusasaan, menggendong Mia keluar dari bar memasukkannya kedalam kendaraan pribadinya. Van menarik nafas berat, tatapannya terpaku pada jalanan yang seolah-olah tak berujung. "Ayolah ini perintah alex, van... sadarlah kenapa kamu harus berat hati untuk melakukannya." ucap van pada dirinya sendiri. Dalam redupnya lampu jalan yang berkilau di tengah malam, Van memandang Mia melalui kaca mobil tanpa ekpresi. Mia terbaring tak bergerak, terlelap dalam tidurnya akibat obat tidur yang Van berikan. Kepalanya bersandar lembut di jendela, wajahnya tenang, meskipun dunia luar masih gelap dan tak berujung. Dalam diam, mobil itu melaju menuju takdir yang tidak terhindarkan, membawa mereka lebih dalam ke dalam kegelapan yang mengitari mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD