SIENA 7

1168 Words
Siena, Kehilangan cinta pertama itu menyakitkan. Apalagi ketika dia mendapatkan cinta baru. _Siena_ Siena meletakan kedua tangannya di atas pinggang. Matanya menatap intens pada segerombol gadis yang asik berjoget di depan sana. Siena berdecak saat gadis yang diincarnya meloncat naik pada salah satu temannya. Berganti dari tradisional dance menjadi modern dance. Siena masih mengamati, meski sebenarnya tangannya sudah gatal bukan main. Beberapa menit berlalu, akhirnya dance selesai. Siena yang ada di luar area dance memutar menuju pintu masuk. Sebenarnya, yang melihat mereka latihan itu banyak, bahkan hampir memenuhi luar area itu. Tapi, Siena merasa sendiri. Gadis itu memilih menepi di tempat sepi sambil mengamati. Para mahasiswa yang menonton pun bubar, tinggalah sekelompok gadis itu dan Siena di sekitar sana. Siena semakin dekat, mungkin jaraknya 3 meteran, hanya terpisah pagar besi berlubang. “Haus banget,” keluh salah seorang dari mereka yang Siena tahu namanya Liandra. Keluhan itu diikuti keluhan lain. Ria, gadis yang sedari tadi Siena perhatikan. Gadis yang membuat Siena mati penasaran selama semalaman penuh. Gadis yang diduganya menjadi perempuan lain papanya. Gadis dan ibunya yang membuat Siena menderita. Ria, dia berdiri tersenyum manis menatap gadis lain yang berjumlah 9 orang. “Ria beliin, kalian mau minum apa?” Detik selanjutnya, masing-masing dari mereka menyebutkan minuman yang diinginkan. Dan Ria, gadis yang tersenyum itu mengetikan sesuatu di ponselnya. Mungkin dia memesan lewat ojek online. Alis Siena terangkat, kini kedua tangannya dia lipat di depan d**a. Senyum miring dia tunjukan di sudut bibirnya saat tahu Ria begitu baik dengan anggotanya. Ya, setahunya Ria adalah ketua dari club dance Admawijaya. Entah karena keterampilannya berjoget atau kecantikannya yang begitu terpancar yang menjadikan Ria sebagai ketua. Namun, yang jelas bagi Siena adalah... Ria incarannya. Cukup lama Siena mengamati mereka bercakap sambil menunggu pesanan Ria. Wajahnya berkedut gatal mendengar percakapan mereka. “Gue salut deh sama lo, Ri. Udah cantik, pinter, jago dance lagi.” Salah satu anggotanya memuji. Gadis dengan rambut sepanjang telinga dan berkulit eksotis. Gadis lain ikut memuji, gadis berwajah galak namun memiliki senyum manis. “Iya, gue seneng deh kenal sama lo. Lemah lembut lagi orangnya.” Ria tersenyum kecil. “Itu semua karena mama Ria.” “Pret.” Siena mengejeknya pelan. “Mama selalu ngajarin Ria buat sering berbagi sama temen. Mama juga selalu bilang perempuan harus anggun, sopan, dan lembut.” “Mama lo juga bilang, kalau laki orang lebih menggoda daripada lakinya sendiri,” gumam Siena meneruskan. “Mama lo hebat, ya!” puji gadis lain. Ria tersenyum dan mengangguk. “Hebat rebut bokap gue,” gumam Siena lagi. “Ri, belum sampe juga, ya?” tanya si rambut sepanjang telinga tadi. Ria langsung mengecek ponselnya. “Udah deket, Ria ke depan tungguin mas-nya, ya!” Mereka mengangguk. Akhirnya, Ria pun pergi. Namun, setelah itu mereka kembali ribut, membuat Siena yang ingin mengikuti Ria memilih mengurungkan niat. “Aduh, sok manis banget Ria itu!” keluh si rambut sepanjang telinga tadi. “Iya, mulut gue gatel sebenernya pas muji dia!” kata si gadis pemilik senyum manis. “Lagian dia caper banget, kalau bukan karena dia bisa dimanfaatin gue ogah deh pilih dia jadi ketua. Cocokan juga Liandra.” Liandra yang disebut tertawa keras. “Andai dia nggak bisa dimanfaatin, dari dulu kali gue rebut posisinya.” Siena tersenyum sinis mendengar perkataan mereka. Gadis itu langsung menggulung lengan kemejanya hingga ke siku. Kakinya melangkah mengikuti jalan yang Ria lewati tadi. Siena melangkah cukup jauh. Suasana koridor yang ramai membuatnya menyesal tidak mengikuti Ria sedari tadi. Sampai akhirnya, dia sampai di depan gedung aula terdekat. Milik anak Fakultas Seni. Matanya menemukan Ria yang sedang menerima tiga bungkus plastik dan mengulurkan uang kepada mas ojeknya. Setelah itu, Siena memilih berbalik menunggu Ria di tempat yang lebih sepi karena tempat ramai terlalu luar biasa untuknya. Ria melewatinya dengan mulut bersenandung. Siena tersenyum miring. “Cewek t***l kaya lo nggak pantes jadi ketua!” katanya keras membuat Ria berhenti melangkah. Ria berbalik menatap Siena tidak mengerti. “Lo cewek kemarin yang sama Aksa dan Saka?” tanya Ria. Siena hanya mengangguk sebagai jawaban. “Kita baru ketemu kemarin, tapi kenapa lo ngomong gitu ke gue? Bahkan lo hina gue?” “Karena lo emang t***l. Lo terlalu munafik untuk buka mata. Lo tahukan kalau sebenarnya mereka nggak anggap lo?” Ria melirik kesana kemari dengan gusar. “Gue butuh semua itu,” katanya kemudian. Siena bertepuk tangan. “Wow, segila itu lo sama pujian dan juga popularitas? Lo kurang perhatian, heh?” Ria mencengkeram plastik di tangannya erat. “Lo nggak berhak tahu apa pun!” “Ya, lo kurang perhatian,” kata Siena tidak nyambung. “Apa yang lo mau dari gue?” tanya Ria selanjutnya. “Balikin apa yang harusnya jadi punya gue. Jangan rebut apa pun milik gue!” Ria mengernyit bingung. Gadis itu tidak mengerti dengan kata “milik” yang Siena maksud. Namun, entah kenapa otaknya justru mengarah pada pertemuan pertama mereka. Di mana Siena bersama Saka dan setelahnya Saka berkata jangan sakit dia. Mata Ria mendadak memerah dengan rahang mengeras. Wajahnya menatap Siena penuh benci. “Lo yang rebut punya gue!” Siena melotot kaget menatap Ria. “b**o,” hinanya pelan. Ria meletakan bungkusan minuman itu di lantai. Kakinya melangkah mendekati Siena. “Lo yang b**o! Urakan! Barbar! Nggak punya sopan santun! Orang tua lo nggak pernah ngajarin itu?” Bugh. Satu pukulan berhasil menghantam sudut bibir Ria. Gadis yang pada dasarnya lemah lembut dan tidak pernah berkelahi itu langsung terjatuh dengan mengenaskan. Napas Siena memburu menatap Ria yang kesakitan. Baginya, satu pukulan saja tidak dapat menghilangkan perkataan Ria yang menghina kedua orang tuanya. Meski dia belum tahu benar atau bukan Ria yang papanya maksud adalah Ria ini, namun hatinya terlanjur panas. Bodo amat Ria di depannya ini siapa, yang Siena ingin hanya memberi Ria pelajaran. “Lo nggak pantes ngomong itu!” bentak Siena menunjuk Ria yang sibuk mengusap sudut bibirnya. Bahkan gadis itu telah menangis kesakitan. Siena telah membungkuk, tangannya sudah mengepal siap melakukan pukulan lagi. Namun, itu semua gagal karena ada yang mencekalnya. “Stop it, Siena!” Siena langsung menoleh menatap si pencegah itu. “Dia hina gue! Dia bilang bokap nyokap gue nggak didik gue sopan santun!” katanya membela diri. “Kekerasan nggak selesaiin masalah, Siena!” balas laki-laki itu dengan nada tinggi. Siena melepas cekalannya pada Ria. Berdiri tegak menyejajarkan dengan laki-laki di depannya. “Lo kenapa? Biasanya lo nggak akan bentak gue kalau gue ngebela diri. Lo kenapa?” Aksa terdiam kaku, tangannya yang mencekal tangan Siena terlepas. Tanpa suara dia menunduk dan menolong Ria untuk berdiri. Dia membawa Ria pergi menjauhi Siena tanpa berkata. Siena hanya mampu memandang keduanya dalam diam. Rasanya perih, tapi dia tidak boleh lemah. Dia bahkan bisa bertahan selama bertahun-tahun dari luka yang lebih parah daripada ini. “Patah hati? Atau lo nggak tahu sama sekali tentang Empat Kembar dan Si Cantik Ria?” tanya Saka yang tiba-tiba saja berada di sebelahnya. Menyebalkan. Kenapa di saat dia butuh waktu tenang justru jin pengganggu ini datang? _Siena_  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD