DITERIMA KERJA

1711 Words
Karin membuka mulut nya dan menutupnya kembali. Ia menatap tidak percaya ke arah Ryan. “Bapak tidak sedang bercanda, bukan?” tanya Karin. “Apakah wajah saya terlihat bercanda? Kamu saya terima menjadi sekretaris saya. Namun, kamu jangan senang dahulu. Kamu akan menjalani percobaan, selama menjadi sekretaris saya. Satu hal lagi, saya peringatkan kepadamu. Saya sudah memiliki kekasih, jadi kamu jangan merasa besar kepala dan geer, dengan apa yang saya lakukan dan katakan tadi. Tidak hanya kamu seorang saja yang mendapat perlakukan seperti tadi,” ucap Ryan. Ia lalu menunujuk ke arah pintu ke luar. “Sekarang kamu ke luar dari ruangan saya dan tanyakan pada resepsionis di depan, letak ruang HRD, katakan kalau Pak Ryan yang memerintahkanmu.” Ryan kemudian, kembali menekuni pekerjaannya dan tidak melihat ke arah Karin yang meninggalkan ruangannya. Karin menganggukkan kepalanya, meskipun dalam hatinya ia merasa heran, bagaimana bisa dirinya diterima bekerja, setelah sikap Ryan tadi yang seakan menolak dirinya untuk bekerja. “Permisi, Pak!” pamit Karin. Ia lalu berdiri dari duduk nya dengan perasaan sedikit mendongkol, karena Ryan mengacuhkan dirinya yang pamit ke luar. “Dasar, bos aneh! Sikapnya berubah-ubah, seperti bunglon saja,” gerutu Karin pelan. “Saya mendengar apa yang kamu katakan! jangan kamu pikir, karena kamu sudah diterima bekerja menjadi sekretaris saya, berarti kamu bebas untuk mengatai saya,” tegus Ryan, tanpa mendongak dari pekerjaannya. Karin pun berlalu ke luar dari ruangan Ryan dan berjalan menuju meja resepsionis. Begitu sampai di depan meja resepsionis, Karin pun mengatakan apa yang dikatakan oleh Ryan tadi. Berdasarkan petunjuk yang diberikan kepadanya, ia pun menuju ke lantai tiga di mana kantor HRD itu berada. Sesampainya di depan ruangan HRD, Karin mengelap tangannya yang terasa basah, karena gugup, sebelum mengetuk pintu itu. Begitu masuk ke dalam ruangan tersebut, Karin pun dipersilakan untuk duduk dan menyampaikan maksud kedatangannya. Manajer HRD itu, tersenyum ke arah Karin dan mengatakan kalau ia disuruh Ryan untuk menemuinya. “Kamu beruntung, bos besar langsung yang melakukan tes wawancara untukmu, beliau orang yang sangat teliti dan serius dalam pekerjaannya. Kau tahu, mengapa beliau sendiri yang turun tangan langsung dalam pemilihan sekretarisnya? itu semua karena tidak ada yang tahan dengan ritme kerja dirinya dan juga sikapnya yang terkadang kasar.” Karin hanya diam saja mendengarkan penjelasan dari pak Kelvin, manajer HRD. Ia menyimpan di dalam hatinya informasi yang didapatkannya, agar ia bisa bekerja dengan baik. Dirinya pun kemudian mendapatkan penjelasan, kalau ia mulai besok bekerja di kantor pusat. Untuk biaya keberangkatan dan akomodasinya ditangung oleh perusahaan. “Kau diharapkan sudah ada di bandara pada jam lima sore nanti, karena pesawatmu akan berangkat pada pukul 18.00. Dirimu akan naik pesawat bersama dengan pak Ryan. Kau benar-benar beruntung, selain dipilih secara langsung, kamu pun juga akan satu pesawat dengan bos dan bisa merasakan naik pesawat pribadi bos,” tambah Kelvin lagi. Setelah mendapatkan penjelasan panjang lebar, Karin pun ke luar dari ruangan tersebut, dengan terburu-buru ia meninggalkan perusahaan tersebut untuk segera berkemas. Hingga, ketika berada di dalam angkot, ponselnya pun berbunyi dengan nyaring. Begitu diangkatnya, ia mendengarkan suara familiar yang bernada kesal, “Tega sekali kamu meninggalkan aku sendirian di sini? apa yang terjadi denganmu sampai kau melupakanku?” tegur suara di ujung sambungan telepon. Karin menepuk keningnya pelan, ia melupakan Umi, sahabatnya. Yang ada di pikirannya hanyalah harus sampai rumah dan berkemas. Jarak antara rumahnya dan bandara yang lumayan jauh, belum lagi kemacetan, yang bisa menghambat perjalanannya, karena sampai di bandara sebelum waktunya tiba untuk melakukan check in. “Maafkan aku, Umi! Aku terlalu bahagia karena diterima menjadi sekretaris untuk bos di kantor pusat, selain itu aku juga harus mempersiapkan segala sesuatunya, karena sore ini juga aku akan berangkat ke Jakarta,” kata Karin. Sesampainya Karin di depan pintu rumahnya, ia dengan terburu-buru membuka pintu rumah dan membuat ibunya yang sedang membuat kue pesanan orang. Sebenarnya, Karin tidak mengerti apa yang terjadi dengan ibunya, karena dahulu mereka hidup nyaman di Jakarta dan seingatnya ibunya bekerja di kantor yang besar. “Apa-apaan kamu ini, Rin! Sudah masuk ke dalam rumah tidak mengucap salam dan sekarang kamu malah lari-lari di dalam rumah,” tegur ibunya. Karin yang sudah berada di depan pintu kamarnya berbalik dan merangkul ibunya yang tengah membuat adonan kue. “Assalamu’alaikum Ibu sayang, maaf Karin lupa. Karin terlalu berbahagia, karena diterima bekerja dan sore ini juga aku akan berangkat ke Jakarta, karena besok sudah mulai bekerja,” terang Karin kepada ibunya. Ibu Karin melepaskan pelukan anaknya itu, ia berjalan menuju keran dan mencuci tangannya yang terkena noda. Ia lalu memberikan perintah kepada dua orang pegawai yang membantu ia sehari-hari dalam membuat kue pesanan orang dan juga untuk ditaruh di etalase toko mereka. Digandengnya lengan Karin dan mereka berdua masuk ke dalam kamar anaknya itu. Kamar dengan cat berwarna merah muda dan dihiasi poster idolanya. Keduanya kemudian duduk di atas tempat tidur, ibu Karin menatap putri semata wayangnya itu dengan lekat, “Kamu benaran siap tinggal di Jakarta dan jauh dari ibu?” “Iya Bu, aku senang menerima pekerjaan ini dan kuharap ibu akan memberikan ijin kepadaku. Aku sangat mengharapkan pekerjaan ini, Bu!” Ibu Karin terlihat kecewa, mendengar jawaban anaknya itu. "Kamu sudah bulat dengan keputusanmu, ibu tidak bisa melarang.Semoga lancar pekerkaanmu di sana dan kamu cepat mendapatkan teman." Setelah mengatakan hal itu ibu Karin masuk ke dalam kamarnya, entah mengapa perasaannya menjadi tidak enak, mengetahui Karin akan kembali ke kota yang dengan sengaja ditinggalkannya untuk melupakan masa lalunya yang kelam, juga untuk menghindari teror dari orang-orang yang mengetahui masa lalunya, dengan cara menelepon dan mengirimkan pesan bernada ancaman kepada dirinya, Ia sudah memblokir nomor kontak tak dikenal tersebut dan akan ada lagi nomor kontak lainnya yang menghubungi dirinya dan hal ini membuat ia menjadi memikirkan keselamatan Karin. Mungkin dengan putrinya itu berada jauh darinya ia akan lebih aman, daripada berada dekat dengan dirinya. Sementara itu, Karin yang sedang membereskan pakaiannya menghentikan kegiatannya, ketika sahabatnya Umi datang mengejutkan dirinya dan langsung memeluknya dengan erat. “Kita akan berpisah, Rin! kamu di Jakarta, sementara aku tetap di sini. Aku juga diterima bekerja di perusahaan itu, hanya saja aku diterima di cabang, sementara kamu di kantor pusat,” kata Umi dengan sedih. “Tidak mengapa, Umi! nanti kita, ‘kan, masih bisa melakukan video call setiap hari dan juga aku akan datang kembali ke kota ini, kalau ada waktu. Masih ada ibuku di sini,” jawab Karin. Umi kemudian membantu Karin memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Semuanya sudah beres, Karin melihat ke seluruh kamarnya dan hatinya merasa sedih harus meninggalkan kamar yang sudah 15 tahun ditempatinya. Ia nantinya di Jakarta akan menempati sebuah rumah yang telah disediakan oleh perusahaan. Karin, ibunya dan Umi sudah berada di ruang tunggu keberangkatan, tetapi Karin tidak akan bergabung bersama dengan penumpang lainnya, ia akan ikut terbang dengan pesawat pribadi bosnya dan hal ini membuat ia menjadi sedikit cemas. Mata Risa menatap tidak percaya, bibirnya bergetar hebat, ketika ia melihat seorang pria yang berjalan mendekat ke arahnya dan Karin duduk. Dengan bibirnya yang bergetar tanpa sadar, Risa menyebut nama yang sudah puluhan tahun tidak diingatnya lagi. Sudah ia kubur dalam-dalam, bersama dengan kisah kelam masa lalunya. “Mas Bima!” sapa Risa lirih. Pria muda tersebut berlalu begitu saja melewati dirinya dan Karin. Risa menahan air matanya yang hamper menetes, melihat kemiripan wajah pria muda tadi, dengan pria yang dicintainya. Karin beranjak dari duduknya, ia tidak menyadari kegelisahan dan kesedihan yang dirasakan oleh ibunya. “Ibu, selama berada di Jakarta, Karin akan sering menelopon ibu. Pria yang barusan lewat tadi itu adalah bos Karin dan itu pertanda, kalau Karin harus segera mengikutinya masuk ke dalam pesawat. Risa menggelengkan kepalanya, ia meggenggam jemari Karin dengan erat. Dengan suara yang bergetar hebat karena takut, ia pun berkata, “Kamu batalkan saja bekerja dengan bos mu itu! Ibu tidak setuju kamu bekerja dengannya!” Karin menatap bingung ke arah ibunya, yang mendadak berubah pikiran dan tidak mengijinkan dirinya untuk pergi bekerja ke Jakarta. “Mengapa Ibu menjadi berubah fikiran? bukankah ibu, sebelumnya Sudah setuju aku bekerja di Jakarta? Ibu bisa menyusulku tinggal di sana. Bersama, kita Kembali tinggal di Jakarta, seperti dahulu." Risa menggelengkan kepalanya, ia tidak mungkin ke kota yang memang sengaja ditinggalkannya. Ia takut untuk bertemu Kembali dengan orang-orang di masa lalunya. Namun, sekarang kenyataan menghantamnya, putrinya harus berada dekat, dengan bagian dari orang yang pernah hadir di masa lalunya. Karin memeluk ibunya dan menenangkannya, “Ibu harus rela melepaskanku bekerja di JaKarta. Aku akan baik-baik saja, tidak akan ada yang menyakitiku!” Karin kemudian melepaskan pelukannya. Dan bersamaan itu, didengarnya sebuah suara dengan nada dingin menegur dirinya. “Kenapa kamu lambat sekali menyusul saya? Apakah kamu berubah fikiran? dan batal menjadi sekretaris saya,” tegur Ryan, sambal memberikan tatapan tajam ke arahnya. Ryan kemudian mengalihkan tatapan matanya ke arah wanita yang berdiri di samping Karin. Tatapan keduanya bertemu, ia dapat melihat kalau wanita itu melihat ke arahnya dengan rasa gugup dan takut. “Apakah kita pernah bertemu sebelumnya? mengapa saya merasa pernah melihat anda?” tanya Ryan kepada ibu Karin, dengan tatapan yang menyelidik. Risa menahan rasa gugupnya, ditatap dengan tajam oleh anak dari pria yang pernah menjadi kekasihnya. “Kita tidak pernah bertemu! mungkin anda melihat seseorang yang memiliki kemiripan wajah saja dengan saya.” Ryan menggumam tidak jelas, kemudian ia berbalik dan berlalu dari hadapan Karin dan ibunya. Karin yang tidak mau dimarahi oleh Ryan lagi, gegas menyusulnya. Setelah ia berpamitan dengan ibunya terlebih dahulu. Risa hanya bisa diam, mengawasi kepergian Karin. Dipendamnya rasa cemas dan takut, akan keselamatan putrinya. Ia harus bisa meyakinkan dirinya, kalau Karin akan baik-baik saja, selama berada di Jakarta. Ponsel Risa berdering nyaring, ia pun mengangkatnya tanpa memperhatikan identitas penelepon. Sebuah suara berat terdengar memperingatkan dirinya, “Kami tahu, hari ini putrimu kembali ke Jakarta dan kami akan mengawasinya! jangan kau pikir akan bisa menyembunyikan masa lalu hitam mu, sebagai seorang pembunuh, untuk selamanya!" Suara dering telepon pun di putus begitu saja, membuat tubuh Risa gemetar ketakutan dan keringat dingin membasahi wajah dan punggungnya. Tak lama berselang, ponsel Risa Kembali berbunyi dan dilihatnya ada notifikasi pesan masuk. Ia pun membuka isi pesan tersebut, yang ternyata foto dirinya tergeletak di tanah, dengan noda darah di tangan dan pakaian yang dikenakannya. Bersamaan dengan itu, adalah sebuah tulisan yang berbunyi, “Noda masa lalu, akan selalu mengikutimu dan kami tidak akan pernah lelah mengingatkan dirimu!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD