Membaca namanya membuatku seperti dihempas secara paksa ke masa lalu. Ada sesosok wajah yang begitu melekat dengan nama itu. Sosok yang pernah menguasai hatiku begitu dalam dan di saat yang sama juga memberikan kepahitan paling menyedihkan dalam hidupku.
Perlahan aku menahan napasku saat sosok yang beberapa tahun ini berusaha aku lupakan mendadak seperti menari-nari di kepalaku, seolah sedang mengejekku karena tidak bisa melupakannya. Ah! Sosok itu, kenapa harus muncul lagi di pikiranku?
Dia adalah sosok yang membuatku memutuskan meninggalkan kota kelahiranku, meninggalkan kepedihan yang dilakukannya.
Mataku menatap ke depan setelah mengeja namanya dalam hati. Tanganku menekan dadaku perlahan. Ternyata rasanya masih sama. Dadaku masih terasa nyeri saat menyebutkan namanya.
Ini sangat bodoh, harusnya semuanya telah berlalu dan aku bisa hidup tanpa perlu mengingatnya. Atau boleh saja mengingatnya tapi nggak seharusnya aku merasa sesakit ini lagi.
Aku menarik napas panjang saat sosoknya terbayang begitu jelas di pikiranku, tidak mau hilang walaupun aku berusaha menepisnya.
Fernino Dwijuna. Nino.
Mungkinkah dia orangnya?
***
(Flashback)
Sudah dua hari ini Nino tidak datang ke rumah, telepon pun sulit dihubungi karena lebih sering panggilanku nggak diangkatnya. Aku kesal sekaligus cemas memikirkannya. Bagaimana bisa, menjelang hari pernikahan kami, dia malah menghilang tanpa kabar.
Aku berusaha menenangkan diriku sendiri dengan memikirkan mungkin banyak yang harus dikerjakannya sehingga nggak sempat mengabariku. Nino yang pekerja keras itu memang kadang suka lupa waktu jika sedang bekerja.
Aku sedang memisah-misahkan kartu undangan yang telah ditempeli label nama tamu undangan berdasarkan alamat penerima undangan. Harusnya Nino menemaniku mengerjakan hal ini, tapi aku tidak bisa memaksanya jika memang ada hal penting yang harus didahulukannya. Setelah semalaman mengetik nama-nama tamu undangan, pagi ini sebenarnya aku ingin istirahat. Tapi memikirkan ada banyak hal yang yang belum dikerjakan, aku memilih bertahan.
Aku dan Nino memang mengerjakan persiapan pernikahan kami sendiri, kalau pun ada yang membantu paling itu hanya keluarga dekat, bukan dengan sengaja memanggil orang lain agar bisa memberikan bantuan mereka. Dari hal remeh hingga yang terpenting, kami kerjakan sendiri. Nino kebagian mengurus hal yang sedikit menyulitkan sedangkan aku sisanya yang mudah.
Rasanya menyenangkan bisa melewati tahap demi tahap seperti ini sebelum ke acara pernikahan kami yang sebenarnya. Rasa lelahnya terbayar dengan apa yang sudah kami kerjakan.
Aku tersenyum puas menatap kartu undangan yang tersusun rapi di sudut kamarku. Warna hijau pastelnya membuat perasaanku tenang. Nino yang mendesain sendiri undangan kami dengan sedikit masukan dariku. Walaupun Nino bilang, bantuan yang aku berikan hanya berupa kata-kata dalam bentuk omelanku. Padahal maksudku baik, agar undangan kami benar-benar unik dan nggak dimiliki oleh siapa pun.
Aku tidak pernah membayangkan pernikahan mewah yang menghabiskan banyak biaya, bisa menikah dengan orang yang bersedia menghabiskan hidupnya denganku sudah cukup. Aku rasa, Nino-lah orangnya.
Kami telah cukup lama bersama, telah tahu baik dan buruk sifat kami masing- masing. Di hari Nino melamarku, sebenarnya aku nggak terkejut karena aku sudah yakin memang ke arah sanalah Nino membawa hubungan kami. Nino yang begitu pengertian dan menerima kekuranganku tentu akan bisa menjadi calon suami yang baik untukku.
Memikirkan hari pernikahanku yang semakin dekat malah membuatku tidak bisa berkonsentrasi. Selama lima tahun ini, aku dan Nino jarang bertengkar. Kalau pun ada masalah, dia lebih sering mengalah yang malah membuat egoku semakin tinggi. Aku yang keras kepala kerap kali menjadi pemicu masalah di hubungan kami. Kadang aku tidak habis pikir, seberapa banyak kesabaran Nino sampai dia bisa bertahan selama itu denganku.
Seperti yang kukatakan tadi, Nino memang begitu pengertian padaku sampai aku nggak pernah melihat kebaikan pria lain lagi. Duniaku hanya terpusat padanya, tidak yang lain.
"Nay, ada Nino tuh di depan." Kepala Mama muncul dari balik pintu kamarku saat aku masih sibuk memberi label pada kartu undanganku. Aku mengernyit, biasanya Nino tidak pernah meminta Mama untuk memanggilku jika dia datang. Dia akan masuk sendiri ke rumah, karena seluruh sudut rumah ini sudah seperti rumahnya sendiri.
Dasar lelaki aneh, memberi kejutan yang tidak romantis dengan mengacuhkan selama dua hari ini. Buat apa juga dia datang tiba-tiba seperti ini. Memang dikiranya aku akan terharu karena kejutannya itu? Ah! Nino memang tidak pandai buat hal yang seperti itu. Dia cenderung kaku untuk membuat sebuah kejutan. Baginya, yang penting dia tahu kau aku selalu ada buatnya, itu sudah cukup. Tidak perlu dijelaskan dengan kejutan-kejutan lagi.
"Kenapa nggak langsung masuk aja? Aku lagi sortir undangan," sapaku saat melihat sosoknya di teras rumah. Sekilas aku melihat sorot matanya begitu aneh, seperti seorang anak kecil yang baru saja melakukan kesalahan. Dia mengangkat wajahnya dan menatapku dengan takut-takut.
"Ke mana aja dua hari nggak bisa dihubungi?" Tak urung aku duduk di sebelahnya karena dia tidak beranjak juga dari duduknya. Padahal aku sudah memintanya untuk masuk dan membantuku mengurusi undangan.
"Nay...." Dia menyentuh lenganku perlahan. Aku menoleh dan menatap wajahnya Entah kenapa kali ini aku sangat cemas saat melihatnya. Ini bukan Nino yang biasa kukenal. Dia seperti orang lain saat ini.
"Ada masalah di kantor?" tanyaku khawatir. Nino memang pernah mengeluh padaku jika sedikit kesulitan mendapatkan cuti panjang di hari pernikahan kami nanti. Apa itu penyebabnya? Tapi sepertinya masalah sepele seperti itu nggak mungkin membuat Nino berwajah muram seperti ini. Kurasa dia punya banyak cara untuk bisa menyelesaikan hal kecil itu.
"Ada hal yang telah terjadi di luar kendaliku." Mendadak dia menundukkan wajah sambil mengacak-acak rambutnya. Aku menatapnya dengan bingung. Aku menahan napas dan debar jantungku nggak bisa kukendalikan, debarannya terasa menyesakkan sampai membuatku kesulitan bernapas. Padahal Nino belum bercerita apa-apa, kenapa aku malah ketakutan seperti ini?
"Maksudnya?" Aku memicingkan mataku menunggu penjelasan darinya. Lama tidak ada suara dari Nino, dia terdiam dan semakin membuatku cemas.
"Ceritakan padaku ada masalah apa?" tanyaku sambil menyentuh telapak tangannya. Sejenak aku terkejut karena telapak tangannya terasa dingin.
"Karin hamil, Nay," katanya nyaris tak terdengar. Aku mengernyit.
"Karin pacarnya Hendra? Memang apa masalahnya kalau Karin sampai hamil?" Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran Nino, kenapa dia mesti meributkan masalah kehamilan Karin. Yang bertanggung jawab atas kehamilannya, kan, pacarnya.
"Aku nggak tahu, Nay. Maaf...." Nino masih meremas rambutnya frustrasi.
"Harusnya Hendra yang memikirkan ini semua, bukan kamu. Jangan gara-gara Hendra temanmu, kamu sampai pusing memikirkan masalah ini," kataku. Aku tahu Hendra memang sahabatnya Nino, tapi aku baru tahu jika rasa kesetiakawanan Nino sebesar itu, sampai memikirkan hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab Hendra.
"Bukan gitu, Nay." Dia kemudian diam selama beberapa detik. Aku memiringkan wajahku agar bisa menatapnya lebih saksama. Kalimat Nino yang berbelit-belit, wajah ketakutannya, dan juga gerak-gerik tubuhnya yang tidak seperti biasa membuatku begitu khawatir. Apa sebenarnya yang sedang terjadi?
"Kata Karin, aku yang menghamilinya." Aku terdiam, seperti tidak mengerti dengan perkataannya. Apa-apaan ini! Apa maksud Nino bercanda hal yang nggak lucu seperti ini?
"Ka...kamu?! Jangan bercanda, No!" kataku tertahan. Wajah Nino tidak berubah, masih tegang dan serius seperti tadi. Aku berharap sedetik lagi dia akan tertawa dengan keras dan mengatakan jika ini semua adalah lelucon yang dibuatnya. Aku terus menunggu, tapi sampai kesabaranku habis, Nino.masih diam dan berwajah tegang.
"Nino!" Aku sudah setengah berteriak karena dia masih terdiam.
"Jangan buat lelucon seperti ini! Nggak lucu!"
"Aku nggak yakin apa yang terjadi, Nay. Malam itu aku memang sedikit mabuk. Maaf Nay..., aku nggak cerita hal ini ke kamu. Hendra mengajakku merayakan promosi jabatannya. Saat terbangun, aku sudah tertidur di kamar kost Karin," jelasnya dengan suara lemah. Aku menegang dan menatap wajah Nino lebih lama, berusaha mencari kebohongan di matanya. Tapi entah kenapa tidak kutemukan. Tanganku terasa bergetar. Aku tahu Nino nggak pandai berbohong. Walaupun saat ini aku berharap jika dia sedang berbohong padaku.
"Karin meminta tanggung jawabku. Aku nggak tahu Nay," katanya lagi dengan wajah memelas. Refleks aku mendorong tubuh Nino. Emosiku sudah sampai pada puncaknya. Ada rasa tidak percaya, tapi melihat keseriusan wajahnya, tidak ada harapan bagiku. Napasku terasa memburu karena amarah, tangisku pun pecah karena emosi. Aku nggak bisa membedakan lagi, apa kali ini aku marah ataukah sedih.
"Bilang ke aku kalau semua ini nggak benar! Kalau semua ini cuma karangan kamu!" Kataku sambil menarik-narik kerah bajunya dengan penuh amarah. Ini pertama kalinya aku berlaku kasar pada Nino. Amarah membuatku tidak bisa mengendalikan diri dengan benar. Nggak ada lagi hal baik yang ada di pikiranku sekarang. Rasa marah dan kecewa begitu mengendalikanku.
"Aku juga nggak percaya, Nay. Tapi Karin punya semua buktinya. Maafin aku, Nay," katanya lagi dengan nada memelas. Tangannya seperti terulur ingin menggapaiku, tapi dengan kasar aku menepisnya dan lebih memilih menjauh darinya. Napasku terasa semakin berat karena tangis yang tak kunjung reda. Rasa kecewaku sudah teramat besar dan sepertinya nggak ada hal yang bisa memperbaikinya lagi, walau kata maaf sekali pun.
Rasanya seperti ada yang meledak di kepalaku. Dadaku terasa nyeri. Dengan tenaga yang tersisa, aku memukul-mukul Nino dengan tanganku. Dia diam, tidak melawan. Bahkan saat tangisku semakin keras dan aku berlari masuk ke dalam rumah, dia tetap diam, tidak mengejarku. Saat saat itu, aku masih berharap semua yang aku dengar adalah kebohongan.
Nino yang kucintai bukan sosok yang seperti itu, dia tidak akan pernah membiarkan aku menangis. Tidak! Dia bukan lagi Nino yang kukenal! Aku tidak mau mengenal Nino yang telah menorehkan luka yang begitu dalam buatku.
Aku bersimpuh di sudut kamar dengan tangis yang semakin terasa menyiksa. Wajahku basah oleh air mata, aku ingin berteriak karena merasa semua ini sungguh tidak adil. Kenapa semuanya terjadi saat mendekati hari pernikahanku? Apa aku memang tidak boleh mendapatkan kebahagiaanku? Apa begini cara Tuhan menunjukkan jika hidup itu tidak selalu baik dan sesuai rencana?
Aku menarik undangan yang telah tersusun rapi di sudut kamarku, dengan kasar aku menghamburkan semuanya. Aku melempar semuanya dengan tangis dan rasa marah yang tidak bisa kuhentikan. Tidak ada gunanya lagi semua ini. Aku terus menangis tanpa sadar telah merobek ratusan undangan yang bertuliskan namaku dan namanya.
***
"Bu ... Ibu ....!" Suara itu membuyarkan lamunanku. Aku salah tingkah sambil pura-pura membenarkan posisi dudukku.
"Sudah, lupakan aja. Saya lagi terburu-buru!" Aku memasang sabuk pengaman pada Vio dan menyalakan mobil dengan tergesa.
Aku berharap ada orang lain yang memiliki nama yang sama dengannya. (*)