POV LIAM
Annie berlari keluar gereja, memicu kekacauan. Seketika itu juga, Om David muncul dan melayangkan tinjunya ke wajahku. Aku tak melawan, aku tahu aku yang salah.
“Beraninya kau mempermalukan putriku?! Aku mempercayaimu! Meskipun kalian berdua salah, aku tahu Annie mencintaimu, itulah sebabnya aku mengizinkan hubungan ini. Tapi sekarang, cukup! Lupakan aku, lupakan keluarga Johnson! Kamu sudah mati bagi kami!” Kata-kata itu menusukku seperti sebilah pisau. Amarah dan kebencian terpancar dari setiap kalimatnya. Mama dan Tante Sam memeluk erat, pemandangan itu semakin menghancurkan hatiku. Aku telah menghancurkan persahabatan yang telah terjalin bertahun-tahun. Aku telah melukai Annie, gadis yang sangat dicintai orang tuaku.
Petugas pernikahan mulai membubarkan tamu, sementara aku tetap di tempat. Papa mendekatiku dan mengamati wajahku. Sepertinya tidak terlalu parah, karena dia tidak berkomentar. Dia menjauh dan menarik lengan mama. Mama hanya menatap pintu masuk, melihat teman-temannya pergi bersama keluarga mereka. Om Lucien tampak sangat marah, tapi menahan diri. Om Steven langsung pergi bersama keluarganya. Apa yang telah kulakukan? Aku mengacak rambutku, berusaha mencari cara untuk memperbaiki semuanya, tapi sudah terlambat. Kerusakan sudah terjadi.
Papa mengatakan sesuatu, tapi aku tidak memahaminya hingga dia mengulanginya. “Liam, sudah waktunya pulang.” Dia menyentuh lenganku dan tersenyum. Aku tahu, bagaimanapun keadaannya, papa tidak akan pernah menghakimiku. Namun, mama yang benar-benar terluka. Dia sangat terpukul.
Langkah kaki kami menuju mobil, dekorasi pernikahan masih tersisa. Aku duduk di jok belakang, kepala tertunduk. Wajah Annie masih jelas di ingatanku, bayangan kesedihannya menusuk kalbu. Aku begitu menyesal telah menyakitinya. Rasanya ingin sekali mencarinya, menghiburnya. Dia pasti sedang sangat terpukul. Aku menegakkan badan, menatap ke depan. Air mata mama mengalir tanpa suara, dia begitu rapuh, hatinya pasti hancur. Aku telah menghancurkan segalanya, termasuk hatinya.
Rumah terasa begitu suram saat kami tiba. Lewis dan Maria sudah menunggu di sana. Aku naik ke kamarku, membiarkan tubuhku lemas di atas ranjang. Rahangku sedikit nyeri, tapi tak tertahankan. Kelopak mata terpejam, dan bayangan kupu-kupu itu memenuhi pikiranku. Indah sekali, bagai malaikat. Ada rasa gugup yang sempat menghampiri, tapi aku menemukan kekuatan untuk mengakhiri sesuatu yang tak seharusnya terjadi.
Aku masih terduduk di tempat tidur ketika sebuah ketukan lembut memecah kesunyian. Dengan susah payah aku bangkit, mengusap rahang yang masih terasa nyeri. Pukulan Om David memang ampuh. Aku teringat cerita Om Steven, bagaimana dia membalas perbuatan Om David pada Tante Sam. Kini, giliran aku yang merasakan balasannya.
Di ambang pintu, Maria muncul dengan wajah sendu. Matanya berkaca-kaca menatapku. Kesalahan yang telah terjadi, tergambar jelas dalam tatapannya. Aku membukakan pintu untuknya. Tangisnya yang tertahan menghancurkan hatiku.
“Maaf, Liam. Salahku. Aku tidak seharusnya kembali lagi. Kamu mau nikah sama Annie, tapi aku malah mengingatkan janji bodoh kita dulu. Sekarang semuanya kacau. Semua om kamu marah, mama juga menangis terus. Aku sangat menyesal.”
Aku meluk Maria. Dia tidak salah. Aku usap air matanya. Rasanya tidak tega melihat dia sedih. Harusnya aku sudah berhenti dari awal, tapi aku tetap melanjutkannya. Annie sudah tahu, aku minta dia membatalkannya, tapi dia tidak mau. Dia memaksa lanjut, padahal aku tahu kalau itu tidak akan membuatnya bahagia. Kemarin dia menantangku di depan semua orang, tapi ini jalan terbaik. Aku sayang dengan Annie, tapi itu tidak mungkin cukup untuknya.
“Ini bukan salahmu, Maria. Semua ini salahku. Seharusnya aku menghentikan semuanya sejak awal. Tapi sekarang, aku bisa menepati janjiku. Ketika semuanya sudah tenang, aku akan mengatakan yang sebenarnya pada semua orang, kita telah lama menjalin hubungan dan kita akan menikah.”
Tatapan ragu Maria menusukku. Aku tak melihat kebahagiaan yang seharusnya ada di wajahnya. Aku menunduk, hendak menciumnya, ketika—BRAK!—pintu terbuka lebar.
“Hah?! Jelaskan ini semua! Apa artinya ini?!” Mama berbicara dengan luapan emosi yang banyak, aku belum pernah melihat dia seperti ini sebelumnya. Dia sungguh sangat murka. Aku langsung melihat ke arah Maria, dia sangat ketakutan.
“Memangnya apa yang Mama lihat? Maria dan aku sudah lama berpacaran. Sekarang aku sudah bebas dan dia di sini, jadi kami memutuskan untuk memberi kesempatan pada hubungan kami. Tidak ada yang akan menghentikan kami.”
Dengan cepat, mama menghampiri Maria dan melayangkan tamparan keras. Maria tersentak, tangannya terangkat untuk menutupi pipi yang memerah.
“MAMA? Bagaimana mama bisa tega memukulnya?!” Aku memeluk erat Maria, air mata membasahi pipinya.
“Dasar anak kurang ajar! Aku baik-baik aja nerima kamu di rumah ini, kamunya malah seperti ini. Aku sudah tahu kenapa kamu bersikeras kembali. Kamu mau hancurin pernikahan Liam dan kamu berhasil! Aku sudah peringatkan kamu dari dulu, aku tidak bakal biarin kamu rebut Liam dari Annie. Mama tahu kamu salah, Liam. Beberapa bulan ini kamu terlihat bahagia sama Annie, jangan bohong! Hanya gara-gara wanita ini kembali, semuanya kacau. Pokoknya mama tidak setuju! Kalau kalian mau bersama, pergi jauh-jauh dari sini! Mama kecewa dengan kalian. Mama tidak mengira kamu akan seperti ini Liam, kamu juga pernah aku sayangi Maria. Aku anggap seperti anak sendiri. Aku bawa kamu ke sini biar jadi lebih baik, bukan perusak rumah tangga! Pergi! Jangan kembali lagi sebelum kalian sadar kalau hubungan kalian itu salah!”
Begitu mama selesai berbicara dia langsung pergi, Maria langsung jatuh ke lantai. Aku tahu sekali dia sayang sekali sama mama. Dulu, waktu orang tuaku menyelamatkan dia dari rumah yang jahat itu, mama nerima dia dengan sangat baik. Mama selalu ingin punya anak perempuan, dan dia sayang sekali dengan Maria.
“Maafkan aku, Liam! Maafkan aku! Tapi aku nggak bisa sama kamu kalau kita menyakiti banyak orang.” Aku membantu dia untuk berdiri, lalu memeluknya. Kata-kata Mama memang sakit, tapi aku sudah dewasa, aku bisa memutuskan sendiri.
“Jangan salahkan diri kamu, ya? Pergi ke kamar kamu, ambil baju-baju. Nanti kita ke apartemenku dulu, sambil mikir mau melakukan apa selanjutnya.”
Dia diam aja, memikirkan kata-kataku. Awalnya dia seperti ingin nolak, berarti dia tidak mau ikut aku.
“Nggak, aku nggak mau pergi. Aku mau ngomong sama papa, jelasin semuanya. Aku nggak mau bikin mereka tambah kecewa. Kamu aja dulu, nanti kita kontak-kontakan.”
Aku ngehela napas, terus ke lemari ambil koper, packing beberapa baju. Ternyata masih ada koper yang sudah mama siapkan untuk aku dan Annie bulan madu.
Aku ambil barang-barangku, lalu pergi. Entah kapan lagi aku bisa kembali ke sini.