PANDANGAN PERTAMA!

1447 Words
“Hei! Jaga mulut, Om, ya! Apa kata Om? Bocah bau bawang?!” Rinjani tak terima dan sama sekali tak punya rasa takut. Ia mendorong sebelah bahu pria itu lalu memposisikan diri di hadapannya. Bhumi yang terkejut, hanya beranjak dengan mulut menganga. Namun Sadewa tetap tenang, tak menunjukkan ekspresi apapun. Ia tersenyum sinis. Memperhatikan gadis itu dari ujung kaki sampai kepala. Sepatu kets putih, rok sepertiga kaki, atasan rajut, serta rambut dicepol asal. Sadewa bisa menebak berapa usia gadis di hadapannya kini. “Saya nggak ada waktu meladeni kamu.” Rinjani tergelak. Tak habis pikir dengan pria di hadapannya yang sangat dingin meskipun berkharisma. Ia tak memungkiri bahwa Sadewa sangat tampan. Bulu halus di sekitar wajahnya membuat ia seketika teringat dengan sang mantan. ‘Damn! Ketemu lelaki tampan aja lo masih belum bisa lupain Emir, Rin!” Rinjani bermonolog, sementara Sadewa kembali mengalihkan pandangannya, meneguk bir dan bersikap acuh. Kesal karena tak mendapat tanggapan. Rinjani mendekat, lalu menendang tulang kering kaki pria itu. “Akh!” “Semoga kita nggak ketemu lagi, Om … tampan!” Rinjani menjelek-jelekkan wajahnya di hadapan Sadewa yang masih meringis kesakitan. Kemudian menjulurkan lidah dan melangkah dengan kaki terseok. Menatap punggung Rinjani yang berlalu membuat Bhumi kagum. “Gila! Berani juga tuh perempuan.” “Sial!” “Tapi lo dibilang tampan, Man!” Sadewa menggerutu kencang. Ia merasa tulang keringnya hampir patah. Sungguh menyakitkan. Sialnya, malam itu bukan hanya hatinya yang sakit. Tulang kering pun ikut merasakan hal yang sama. “Percaya, nggak? Mungkin dia jodoh lo!” “Lo kalau ngomong bisa di filter nggak sih?!” “Ya, siapa tahu dia bisa buat lo lupain si Chayra.” “Nggak semudah itu lah!” “Baiklah. Memang susah kalau sudah cinta mati. Mungkin disuruh mati juga mau!” “Sial lo!” *** Dalam perjalanan ke kampus, Rinjani selalu menghela nafas. Ia menatap keluar jendela, tampak tak bisa menikmati alunan musik beats yang menggema di seluruh penjuru mobil. Biasanya, ia dan sang sahabat—Nayyala selalu heboh. Bahkan sampai membuat mobil bergoyang-goyang. Tapi sepertinya Rinjani benar-benar tak bisa menikmati keindahan pagi hari yang cerah itu. “Hei, lo belum cerita sama gue tentang semalam, ada apa?” Rinjani menoleh dengan malas. “Gue nggak mood ceritainnya.” “Bukannya lo ngerayain anniversary?” Rinjani berdesis. Memorinya hampir melupakan tentang itu, namun Nayyala mengingatkannya kembali. “Kok ketawa gitu?” “Anniversary terburuk sepanjang sejarah.” “Kenapa?” “Dia putusin gue.” “What?” Tanpa sadar Nayyala menginjak rem mendadak, hingga ban berdecit dibersamai bunyi klakson menguar kencang. Beruntung saja, mobil di belakang tidak sedang melaju cepat, jika tidak–-mungkin mereka sudah mengalami kecelakaan. “Nay!” Jantung Rinjani hampir lepas dari cangkangnya. Ia menggenggam seatbelt dengan kuat sambil terpejam kuat. “Sorry … sorry … gue kaget!” “Lo juga bikin gue kaget!” Nayyala menyalakan lampu hazard. Saat mobil di belakang melewati mereka—Nayyala mendapat sumpah serapah dari pengemudi tersebut. “Kalau nyetir yang bener dong! SIM-nya nembak, ya!” seru bapak-bapak berusia empat puluh tahunan. “Biasa aja dong, Pak!” sulut Nayyala membalas, ia merasa sama sekali tak bersalah. Padahal jelas, aksinya itu membahayakan. “Kok bisa?” tanya Nayyala setelah menutup kaca jendela. Disaat yang sama, Rinjani menoleh ke kanan ke kiri. “Lo yakin kita mau cerita disini? Lo berhenti di tengah jalan tau! Kalau ada polisi tilang gimana?” Rinjani menghela nafas. Melihat tingkah Nayyala kerap kali membuatnya sakit kepala. “Ya udah, kita ke tempat bibi gue dulu, ya.” Nayyala menarik persneling kemudian menginjak pedal gas perlahan. “Hah? Bibi lo?” “Iya, sebentar doang, kok. Cuma anter bahan bake and cake-nya aja.” “Terserah lo deh!” Rinjani memutar bola mata jengah. Hatinya masih sangat sakit. Kisah cinta yang sudah diperjuangkan selama delapan tahun berakhir sia-sia. Dan sejak semalam—Emir bahkan tak menghubunginya. “Mata kuliah pertama lo jam berapa?” Rinjani mengernyitkan dahi. “Jam sembilan empat puluh. Kita ‘kan sekelas! Lo lupa?” “Eh, iya.” Nayyala mencengir. Mereka memang beda fakultas, namun ketika mata kuliah umum, Rinjani dan Nayyala kerap kebagian satu kelas. “Lagian gue males ketemu Pak Jusep.” “Kenapa?” tanya Nayyala. “Genit banget! Dasar tua keladi!” Nayyala tergelak. Akhirnya, sang sahabat bisa ceriwis seperti sedia kala. Meski suasana hatinya sedang berbeda. Tapi gadis itu sudah mulai bisa meluapkan emosi dengan mencurahkan isi hatinya. “Sayangnya mas sama sepupu gue udah punya tunangan sih. Kalau nggak, gue jodohin lo, Rin.” Rinjani mengerutkan kening. “Dih, ogah!” Rinjani langsung menolak. Ia tak mungkin semudah itu move on dari Emir. Terlalu banyak kenangan yang sudah mereka lalui bersama. “Memang lo udah pernah lihat sepupu gue?” Rinjani mengangkat bahu. “Gue yakin kalau lo lihat dia, pasti klepek-klepek.” “Percaya diri banget lo!” “Haruslah!” Nayyala berbicara dengan nada ngotot. Mobil terus melaju, sedikit lebih lambat karena mereka memang sengaja menghindari mata kuliah pertama bersama Jusep. Dalam perjalanan itu, Nayyala tak henti-henti menceritakan keluarganya. Meski tak sekali dua kali—Rinjani bahkan sangat bosan mendengar itu. “Lo udah pernah gue ceritain tentang bibi Anjani ‘kan?” Rinjani mengernyitkan dahi, berusaha mengingat. Ya, mungkin Nayyala pernah menceritakannya, tapi karena dirinya suka tidak fokus jadi ingatannya langsung buyar. “Hmmm, maybe.” “Nah, kita mau antar bahan ke toko kuenya.” “Hah? Toko kue? Kata lo dia istri pengusaha kaya raya?” “Memang … tetapi beliau ini orangnya down to earth banget.” “Oh!” Rinjani malas menanggapi. Ia masih mengingat ekspresi wajah Emir yang tak bersalah saat memutuskan hubungan mereka. “Kisah cinta beliau sama paman Arjuna juga kayak yang ada di novel-novel gitu.” “Oh, ya?” Kali ini Rinjani sangat antusias. Ya, dia memang sangat suka membaca novel. Genre romantis adalah favoritnya. Tapi akhir-akhir ini dia menghindari novel dengan kisah cinta yang manis. Karena melihat percintaannya berakhir tragis. “Mereka nikah kontrak lho—awalnya.” “Eh, beneran?” “Serius!” “...” “Awalnya bibi yang cinta mati sama paman. Tapi paman nggak cinta gitu, katanya. Terkesan cuek dan cuma manfaatin. Tapi lama kelamaan malah berbalik. Bahkan dulu bibi sempat mau tinggalin paman lho, Rin.” Rinjani tak begitu terkejut. Ia jadi ingat kalimat. “She fell first but he fell harder. Klise banget.” Rinjani terkekeh pelan. Ia tahu sekali cerita romance bergaya klasik seperti itu. Dan memang tidak asing. Ternyata di dunia nyata memang ada, ya? Menit berlalu …. “Akhirnya sampai juga.” Nayyala memarkirkan mobil di toko kue tersebut. Dari desain arsitekturnya, sudah bisa ditebak bahwa gedung itu pasti mahakarya Barathaland. “Padahal cuma buka toko kue, tapi tempatnya mewah banget.” Rinjani menunduk seraya memperhatikan halaman depan yang luas. “Yups! Didesain khusus sama anaknya.” “Anaknya?” “Udahlah, kita nggak banyak waktu. Tolong bantu gue angkatin dus di belakang, ya.” Nayyala keluar lebih dulu. Selanjutnya diikuti oleh Rinjani yang sempat menggerutu. “Untung gue sayang. Coba nggak. Udah gue tinggalin lo, Nay!” “Terima kasih lho, Sist. Muach!” Rinjani geli sendiri melihat tingkah Nayyala. Oh ya, persahabatan mereka dimulai sejak ospek. Rinjani sengaja hijrah dari kampung halaman untuk berkuliah di perguruan tinggi swasta terbaik Indonesia. Padahal, di negaranya juga banyak. Tapi Rinjani punya alasan khusus kenapa ia memilih tinggal di Indonesia daripada Malaysia. Nayyala mendorong pintu kaca itu dengan bahu, sementara kedua tangan memegang dus. “Halo, Bi!” Nayyala menaruh dus itu di meja front office. “Hai, Sayang. Kamu sama siapa?” Tak lama, Rinjani muncul dari balik pintu membawa satu dus lainnya, “Ini, Bi. Sahabat yang pernah aku ceritain.” “Oh … yang namanya sekilas mirip Bibi?” “Ya, that’s right.” “Hai!” Anjani meraih dus di tangan Rinjani, menaruhnya ke atas meja front office lalu memeluk Nayyala dan Rinjani bergantian. “H-hai, Tante.” Rinjani tertunduk malu. Ini pertama kali ia bertemu wanita yang kerap diceritakan Nayyala sejak empat tahun bersahabat. “Jangan panggil dengan sebutan itu dong. Panggil Bibi saja, ya. Biar cepat akrab.” “Oh, i-iya, Bi.” Rinjani memandang wajah Anjani yang tak asing di pandang. Apa mereka pernah bertemu sebelumnya? “Oh, iya, Anjani Samitha, bibinya Nayyala ….” Anjani mengulurkan tangan seraya memperkenalkan diri. Senyum yang terpancar pun begitu indah. Rambut dikepang ala-ala korea, membuat wajahnya tampak awet muda. “Senang bertemu Bibi. Aku Rinjani Hussain. Sahabat Nayyala.” Anjani dan Rinjani saling memandang. Entah mengapa di pertemuan perdana itu terasa sangat berbeda. ‘Apa aku pernah melihatnya?’ Anjani bermonolog. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD