Chapter 10

2406 Words
Sepasang suami istri itu sedang berharap-harap cemas. Sang istri duduk di kursi tunggu sambil terus menenggelamkan wajahnya di antara telapak tangannya, sedangkan sang suami terus mondar-mandir di depan pintu ruang di mana putrinya sedang berjuang hidup dan mati. Ayden menatap istrinya yang sedari tadi belum juga menghentikan butiran bening yang jatuh di pelupuk netranya. Pria itu mendekati sang istri, mengelus pundaknya, dan menyandarkannya pada d**a bidangnya. "Berhentilah menangis, Lena. Kau membuat pikiranku semakin kacau," pinta Ayden terdengar frustasi. Bukannya menuruti titah suaminya, isak Elena malah semakin keras, membuat sang suami semakin mengerang tak tertahan. "Sebenarnya apa yang terjadi saat itu? Bukankah kau mengatakan ingin mengambil air minum?" tanya Elena di sela-sela tangisnya. "Seperti biasa, ia tidak mau dijodohkan," dusta Ayden. Ia tidak ingin mengatakan hal sebenarnya, karena itu akan memperumit suasana. "Lalu mengapa kau bisa semarah itu?" tanya Elena. Wanita itu yakin bukan hanya itu alasan mengapa suaminya bisa semarah itu. "Bagaimana aku tidak marah di saat pernikahan itu bahkan kurang dari seminggu lagi terjadi. Apa yang harus kukatakan pada Dirga?" balas Ayden. Hatinya penuh sesal, karena ia sudah tidak jujur pada istrinya, tapi harus bagaimana lagi. Ia hanya ingin menutup buku lama dan membuka lembaran baru. Mengisinya dengan kenangan yang lebih baik dari sebelumnya. "Sejak awal aku pun sebenarnya tidak setuju. Andai aku bisa menutupi kebangkrutan perusahaanmu, aku mungkin tidak akan mengorbankan masa depan putriku. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Tania, detik ini juga aku minta cerai padamu," ujar Elena tersedu-sedu. Ayden sedikit mendelik tidak suka. Gampang sekali istrinya itu mengucapkan kata cerai. "Sttt ... sudahlah, sebaiknya kita berdoa agar Tania baik-baik saja. Aku tidak menyangka anak itu bisa melakukan hal sebodoh itu," ujarnya seraya mengelus kepala istrinya dan sesekali mengecupnya. Elena mendongak dan memukul d**a suaminya hingga terdengar sebuah ringisan. "Mengapa kau gemar sekali mengatai putrimu, Ayden? Dia itu berasal dari benihmu, maka sifatnya pun tak jauh berbeda darimu. Jika dia bodoh, maka kau pun bodoh," gerutunya. Rasanya Ayden ingin sekali menggaruk tengguknya yang sama sekali tak terasa gatal. Entah mengapa perkataan Elena membuatnya terasa kikuk. Setelah sekian lama mereka menunggu, akhirnya dokter yang menangani Tania pun keluar. "Keluarga pasien," panggil dokter itu. Ayden dan Elena pun segera beranjak dari tempat duduknya. Berharap tidak ada sesuatu yang buruk terjadi pada putri mereka. "Bagaimana keadaan putri kami, dokter?" tanya Ayden. "Syukurlah lukanya tidak terlalu dalam dan segera tertangani. Saat ini pasien sedang beristirahat." Jawaban dokter membuat sepasang suami istri itu bernapas lega. "Apa kami boleh menjenguknya?" tanya Elena. Dokter itu mengangguk. "Silakan." Seulas senyuman terbit di bibir ranum Elena. Wanita itu segera duduk di sisi brankar putrinya. Ia pandangi wajah lemah putrinya. Sebelah tangannya menggenggam erat tangan putrinya yang sudah dibalut dengan kain kasa, sedangkan sebelahnya lagi ia gunakan untuk membelai surai hitam kecoklatan putrinya dengan lembut. Tak hanya itu, dikecupnya berkali-kali luka itu seraya menggumamkan kata maaf. Entah seberapa dalam penyesalannya, jika Tuhan tidak memberikan kesempatan hidup pada putrinya. Pastilah dunianya terasa runtuh, meledak dan hancur begitu saja. Menyisakan ruang hampa yang membuat jiwanya seolah tak lagi bersama jasadnya. Di belakang Elena, pandangan Ayden tak luput memandangi putrinya. Sedikit rasa bersalah menyelimuti dirinya. Ia tak habis pikir Tania bisa melakukan hal sejauh itu. Apakah gadis itu benar-benar sudah lelah dengan semua luka yang ditorehkannya, hingga mau mengakhiri hidupnya? Semuanya hanya gadis itu yang tahu. "Tidurlah, ini masih tengah malam," ucap Ayden sambil menepuk bahu istrinya. Elena menggeleng. Ia sanggup berjaga semalaman demi menunggui putrinya. Ia ingin menjadi orang pertama di saat putrinya membuka mata. Ayden menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kasar. Ia mengerti apa yang dirasakan istrinya. Tak ada seorang pun ibu yang rela melihat buah hatinya terbaring tak berdaya. Pada akhirnya ia membiarkan istrinya berjaga, sedangkan dirinya mulai duduk di sofa seraya memejamkan matanya. *** Mentari mulai mengintip dari celah-celah jendela seorang gadis yang belum juga terbangun dari tidur panjangnya. Elena tanpa lelah terus berada di sisi putrinya. "Ibu," ucap Tania lirih. Matanya mulai mengerjap-ngerjap—menampakkan netra coklat madunya yang bening dan indah. "Ibu di sini, Sayang," balas Elena seraya menggenggam erat tangan putrinya. Gadis itu melirik ke sebelah kanannya. Sebutir kristal bening jatuh di sudut matanya kala ia melihat wajah seseorang yang sedang menungguinya. Elena segera menyeka butiran bening itu. Wanita paruh baya itu sedikit bernapas lega kala melihat putrinya yang terjaga. "Kau haus, Sayang?" tawarnya. Sementara gadis yang ditanya pun mengangguk lemah. Wanita paruh baya itu menuntun putrinya untuk minum. Setelahnya ia memosisikan kepala brankar putrinya ke atas agar putrinya itu bisa sedikit bersandar. "Maaf, karena aku telah berkata kasar," sesal Tania. Elena menggelengkan kepalanya. "Tidak, Sayang. Kau tidak memiliki salah apa pun. Ibu yang seharusnya meminta maaf, karena tidak bisa menjagamu dengan baik," balasnya seraya mengecup punggung tangan putrinya. "Ibu mohon jangan lakukan itu lagi. Ibu tidak bisa hidup tanpamu. Jangan tinggalkan Ibu. Cukup adikmu yang pergi, tidak denganmu," lanjutnya. Butiran kristal bening itu mulai kembali berjatuhan—menampakkan kerapuhan gadis itu. Tania mulai terisak, hatinya bergejolak antara menyesal ia masih hidup dan segala rasa tidak bersyukurnya ia memiliki ibu sebaik Elena. "Mengapa kalian membawaku kemari? Seharusnya kalian membiarkanku meninggalkan dunia ini. Dengan begitu, kalian bisa hidup tenang tanpa pengacau sepertiku. Aku hanya bisa membuat kalian menderita," ucap Tania meski dalam hati sebenarnya ia sama sekali tak berniat mengakhiri hidupnya. Dirinya hanya terlampau lelah dan ingin mengetahui sejauh mana kepedulian ayahnya. "Karena kau adalah sumber kebahagiaan kami." Bukan Elena yang menjawab melainkan pria paruh baya yang baru saja datang sambil menenteng kresek makanan. Pria paruh baya itu berjalan mendekati sang istri, kemudian menyerahkan kantong kresek yang dibawanya. Sementara itu istrinya mengangguk patuh seolah mengerti isyarat bahwa suaminya menyuruhnya makan. "Maafkan Ayah, ya. Jangan pernah berpikir untuk meninggalkan kami. Kau tidak akan tahu seberapa lama kami menanti kehadiranmu di dunia ini dan kau tak pernah tahu seberapa banyak pengorbanan kami untukmu. Maka dari itu, jangan kecewakan kami, Sayang." Pria itu mengelus kepala anak gadisnya, lalu mengecup dahinya. Tania mengernyit atas perlakuan manis ayahnya. Lagi-lagi desiran aneh itu muncul lagi. Bolehkah ia meminta untuk diperlakukan manis lagi? "Maaf." Tanpa diduga Tania menghamburkan tubuhnya pada ayahnya. Ayden yang mendapat perlakuan itu menyunggingkan bibirnya dan membalas pelukan putrinya. Rasa itu sama—hangat dan menenangkan. "Kau pernah bertanya apakah kematianmu akan membuatku bahagia atau tidak, maka jawabannya tentu saja tidak. "Kaulah malaikat kecilku, mutiara hidupku. Kehilanganmu sama saja membuat batinku remuk, napasku tercekat, dan duniaku hancur seketika. Seluruh tulang rasanya menghilang dari tubuhku, membuatku merosot tak berdaya," ujar Ayden tanpa melepaskan rengkuhannya. Jika kau ingin mati, seharusnya kau mati sebelum kau dilahirkan, Tania Sayang, lanjutnya dalam hati. Tania terus saja terisak. Kepalanya semakin ditenggelamkan di antara d**a ayahnya. Gadis itu tak peduli apakah perkataan ayahnya tulus atau tidak, yang jelas ia bahagia mendengarnya. Tak jauh dari sana, Elena menyeka air matanya. Wanita paruh baya itu nampak haru melihat pemandangan yang sungguh ia idam-idamkan. Ayden mendekatkan bibirnya ke telinga Tania. "Kau bukan pembunuh, Tania. Ayah mohon lupakanlah perkataan bodoh yang pernah kuucapkan. Ayah mohon, Sayang, lupakanlah dan marilah kita menggoreskan tinta yang seharusnya terukir," bisiknya lirih. Batin Tania berdenyut nyeri. Sungguh ia tidak bisa melupakan apa yang terjadi. Rasanya terlalu sulit. Ia tahu ayahnya begitu egois setelah apa yang sudah ayahnya lakukan, dengan entengnya pria paruh baya itu menyuruhnya melupakan. Terlebih kala memikirkan nasib malang keempat nyawa yang menjadi korban, karena perbuatan pria paruh baya itu. *** Dua hari berlalu sejak kejadian itu ternyata sikap Ayden berubah seratus delapan puluh derajat. Walau pria paruh baya itu masih bersikap dingin. Namun, setidaknya ia tak melayangkan lagi tatapan membunuh pada putrinya. "Sudah, Ayah, aku kenyang," rengek Tania sambil menutup mulutnya. Sedari tadi ia terus saja dijejali makanan oleh ayahnya. "Seorang pengantin tidak boleh terlihat sakit." Lagi-lagi itulah yang Ayden katakan pada putrinya. Untung saja sebelum dokter menangani putrinya, ia menyarankan agar dokter tidak memberi putrinya itu jahitan. Kemungkinan luka itu hanya akan menimbulkan parut yang ia akan hilangkan dengan laser. "Tapi rasanya aku ingin muntah." Bayangkan saja, ia sudah meminum segelas s**u kedelai dan jus jeruk, mengemil kacang-kacangan, dan kini ayahnya menjejali perutnya dengan daging sapi yang diolah dengan kentang, paprika, dan brokoli. Makanan itu memang berkhasiat agar proses penyembuhannya berangsur lebih cepat. "Aku belum menghamilimu, Tania. Bagaimana kau bisa mual-mual begitu," canda seorang pria yang baru saja datang dengan senyuman yang mengembang di wajah tampannya. Sementara itu di brankar sana, seorang gadis mendelik dengan penuh umpatan di hatinya. "Silakan duduk, Dimas." Elena mempersilakan calon menantunya untuk duduk di sofa. Dimas tersenyum ramah pada calon mertuanya. "Maaf aku baru datang menjenguk dan maaf jika aku tidak membawa apa-apa," sesalnya. Tania memutar kedua matanya jengah dengan sikap manis pria itu. "Tidak apa-apa. Lagi pula, sore nanti Tania sudah boleh pulang," sahut Elena. "Ah, sebaiknya kita tinggalkan mereka berdua. Ayo, Elena, kita harus mengurus administrasinya." Ayden membuka suara. Menghilangkan kecanggungan antara putrinya dan calon menantunya. Tania seketika menarik tangan ayahnya. Matanya mengisyaratkan tak mau ditinggalkan. Namun, ayahnya itu malah tersenyum seraya melepaskan tangannya. Elena mengangguk patuh. Pinggang wanita itu direngkuh suaminya dengan posesif. Meninggalkan putrinya agar memiliki waktu berdua dengan calon menantunya. "Kudengar kau mengalami kecelakaan kecil atau ... lebih tepatnya bunuh diri," celetuk Dimas saat ia memegang pergelangan tangan Tania. Namun gadis itu buru-buru melepaskannya. "Aku tidak bunuh diri, Dimas," sergah Tania sambil memalingkan wajahnya. Dimas bukanlah pria bodoh kala melihat di mana letak luka itu sehingga ia bisa menebak seperti itu. "Apa kau mencoba lari dari perjodohan ini? Tidakkah kau bersyukur aku bahkan menerimamu apa adanya, meski kau bekas orang lain." Entah mengapa ucapan Dimas terasa menyentil hatinya. "Kau itu pria bodoh atau apa sih? Oh ... atau jangan-jangan kau ini seorang gay hingga mau menerima perjodohan ini demi menutupi hubungan asmara terlarangmu," ucap Tania dengan kesal. Bukankah semua pria menginginkan gadis yang perawan, itulah yang dipikirkannya. Dimas terkekeh. Ia membalikkan wajah Tania agar mau menatapnya. "Mana mungkin pria tampan sepertiku seorang gay. Lagi pula, aku bukanlah pria suci. Aku pun melakukan hal sama sepertimu. Tapi kau tenang saja, aku sudah taubat dan aku berjanji akan setia pada istriku." Mata Tania membulat sempurna. Apa Dimas baru saja mengatakan secara tidak langsung pria itu sudah pernah menjalin hubungan yang terlampau jauh dengan seorang wanita? Oh ayolah, pria tampan dan kaya sepertinya tentu saja sangat mudah menjerat para gadis untuk bertekuk lutut dalam sejuta pesonanya. Namun membayangkan pria itu bersama seorang wanita entah mengapa membuatnya bergidik ngeri. Semua pria sama saja, b******k, pikirnya. "Lalu kenapa kau tidak menolak saja?" tanya Tania penasaran. "Memangnya kenapa? Kau cantik dan juga cerdas. Aku yakin pilihan orangtuaku tidak salah," jawab Dimas dengan terus menampilkan senyuman mautnya. "Dengarkan aku, Tania. Aku tak peduli bagaimana masa lalumu, bahkan jika anakmu masih hidup aku pun dengan senang hati menerimanya. Namun aku mohon, jangan pernah sekali pun mengingat pria b******n itu, mengerti?" Tania hanya menganggukkan kepalanya kala Dimas berkata dengan jarak sangat dekat dengan wajahnya, bahkan ia bisa sangat jelas merasakan embusan napas pria itu. Bukan hanya itu, netra hitam pria itu seolah mengintimidasinya. Gadis itu yakin, ada sesuatu di balik sikap manis yang coba pria itu tampilkan. Tatapan dingin pria itu tak jauh berbeda dari ayahnya. Dalam hati gadis itu hanya bisa berharap ia bisa menjaga diri dari pria seperti calon suaminya ini. Walau harus ia akui pesona pria itu memberikan gelanyar aneh yang membuat tubuhnya meremang, tapi ia tidak boleh jatuh. Jika harus ada jatuh di sini, maka pria itulah, bukan dia. Tak beberapa lama kemudian Ayden dan Elena kembali masuk ke ruang rawat putrinya. Bagaimanapun Tania dan Dimas belum menjadi sepasang suami istri yang sah baik secara hukum maupun agama, karena itulah tak baik meninggalkan dua sejoli itu dalam satu ruangan. Dimas pun tak mau pulang. Pria itu bersikukuh untuk turut mengantar calon istrinya pulang. Sepanjang waktu pria itu habisnya untuk mengobrol dengan calon ayah mertuanya. Dari luar pria itu memang terlihat baik, tapi Tania tetap harus berhati-hati. Gadis itu hanya sesekali membalas gurauan orangtua dan calon suaminya dengan senyuman. Setelah infusan terakhir habis, kini Tania sudah diperbolehkan pulang. Ayden terlihat sangat protektif pada putrinya. Tak ada yang akan menyangka sebelum kejadian ini pria paruh baya itu justru bersikap kejam pada putrinya. Saat ini contohnya, Ayden membawa kursi roda karena tidak ingin putrinya kelelahan. Oh ayolah, Tania sudah merasa sangat sehat. Lagi pula, tangannyalah yang terluka bukan kakinya hingga gadis itu harus duduk di kursi roda. Tania menggeleng tidak mau duduk di kursi roda. Hal itu membuat perdebatan kecil antara ayah dan anak itu mencuat. Namun dengan sigap Dimas menyingkirkan kursi roda itu hingga ayah dan anak itu menatapnya aneh. Dimas merengkuh pinggang Tania dengan posesif. "Biar aku yang memapahnya," usulnya membuat gadis yang berada di sampingnya ingin sekali melayangkan sebuah bogeman mematikan. Namun lagi-lagi Tania hanya bisa menghela napas kasar kala ayahnya mengizinkannya. Ayden memukul jidatnya. "Aku lupa bahwa gadis kecil kita sudah ada seseorang yang bisa mengurusnya. Kalau begitu, kita tinggalkan saja mereka, Lena," ucapnya sambil mengerling nakal pada istrinya. Tania menatap kesal ayah ibunya yang berjalan meninggalkannya terlebih dulu. Membuatnya terjebak bersama pria yang ingin disingkirkannya. Setelah punggung orangtuanya perlahan menghilang dari pandangannya, gadis itu mendorong tubuh Dimas. "Aku bisa sendiri," ujar Tania sambil melenggang pergi. Dimas tak tinggal diam. Pria itu mengejar langkah Tania dan merengkuh pinggang gadis itu lebih erat. "Tidak ada yang tahu sedetik kemudian seperti apa, 'kan? Aku tidak ingin mengambil resiko kau tiba-tiba pingsan," ujar Dimas tak terbantahkan. "Maaf," ujar seorang pria yang menyenggol tubuh Tania. Rasanya baru saja beberapa menit Dimas berucap dan lihatlah apa yang terjadi pada Tania. Untunglah gadis itu masih setia berada dalam rengkuhan calon suaminya hingga ia tidak terjengkang. "Kau tidak apa-apa, Sayang?" tanya Dimas terlihat khawatir. Kendati Tania mengangguk seolah mengatakan ia baik-baik saja, netra hitamnya menghunus pria yang tidak dengan hati-hatinya berjalan. "Apa kau buta?" tanyanya dengan dinginnya. "Dimas, aku baik-baik saja." Tania mencoba mengelus d**a Dimas agar tenang. Pria yang menyenggol tubuh Tania tadi menghentikan langkahnya. Pria itu mematikan ponselnya, lalu memasukkannya ke dalam saku celana. Sepersekian detik selanjutnya pria itu membalikkan tubuhnya. Pria itu menautkan alisnya. Menatap wajah seorang gadis yang tidak asing baginya. Di depan sana Dimas menatap tajam pria itu. "Hei, minta maaflah pada istriku," titahnya. "Tania." Bukannya meminta maaf, pria itu malah memanggil Tania lirih sarat akan sebuah kerinduan. Tania meremas baju Dimas. Kakinya seakan tak mampu menopang tubuhnya hingga terasa akan meleleh sebentar lagi. Dan kali ini ia begitu suka kala Dimas menyebutnya dengan istriku, bukan calon istriku. Entah pria itu lupa atau memang sengaja yang jelas ia sangat bahagia. Tania menelan salivanya dengan susah payah. Dimas memang benar, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi sedetik kemudian. Betapa sempitnya dunia ini, Tuhan, batinnya.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD