Chapter 7

1888 Words
    Gadis itu masih bergelung di bawah selimutnya. Tak peduli matahari yang sudah naik dan beberapa teriakan menggema dari sang ayah untuk menyuruhnya sarapan, gadis itu enggan untuk sekadar menapaki lantai. Ia begitu kesal pada keputusan ayahnya ditambah lagi jalan pikiran pria yang hendak dijodohkan dengannya. Bukannya membatalkan, mengapa pria itu malah memajukan pesta pernikahannya. Pasti pria itu sudah tahu kalau ia menipunya.     Dua minggu. Ini terdengar begitu gila. Bagaimana mungkin dalam waktu secepat itu pernikahan akan berlangsung. Segalanya butuh persiapan yang matang. Ah ... mengapa ia terlalu bodoh. Pernikahan itu sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari dan memajukan    waktu dua minggu mungkin bukanlah sesuatu hal yang mustahil bagi keluarga Martin.     "Dalam hitungan ketiga kalau kau tidak kunjung juga membuka pintu ... aku akan mendobraknya, lalu menggiringmu ke KUA untuk dinikahkan sekarang juga!!!" Lagi-lagi suara itu terdengar.     Tania menutup kedua telinganya. Terserah apa yang akan dilakukan ayahnya padanya. Dua minggu, sehari, bahkan sedetik rasanya sama saja. Pernikahan itu akan tetap terjadi.     "Satu ... dua ...."     Sungguh rasanya Tania malah dibuat penasaran seberapa besar tenaga ayahnya mendobrak pintu kamarnya.     "Kau benar-benar sudah tidak sabar menikah rupanya. Baiklah kau akan menikah tanpa gaun indahmu. Tiga," lanjut Ayden dengan geram.     Dalam gelungan selimut netra gadis itu berkedip-kedip menanti dobrakan pintunya. Namun hingga beberapa menit berlalu pintu itu masih nampak baik-baik saja. Gadis itu pun menyibakkan selimutnya, kemudian duduk dengan kedua kaki yang bersila. Hingga beberapa detik kemudian pintu itu pun terbuka seketika.     Gadis itu tersenyum sambil bertepuk tangan menatap pria paruh baya yang terengah, karena mengerahkan seluruh tenaganya. "Ayah hebat!" pekiknya.     Ayden menggeram. Ia sudah tidak tahan lagi dengan tingkah anak bungsunya ini. Di saat tubuhnya seakan remuk, anak gadisnya justru sedang menatapnya dengan wajah yang berbinar seraya mengejeknya.     Pria paruh baya itu melangkahkan kakinya, lalu menarik paksa putrinya agar mau mengikuti langkahnya. Tania pun tak melawan. Ia pasrah mengikuti langkah cepat ayahnya.     Sesampainya ayah dan anak itu di ruang makan. Tania sudah disuguhi pemandangan ibunya yang terlihat penuh kekhawatiran. Mungkin wanita paruh baya itu khawatir akan tindak kekerasan yang bisa suaminya lakukan.     "Duduk!" titah Ayden yang sudah duduk di kursi makannya. Tania tetap pada posisi berdirinya. Membuat sang ayah harus menghela napas kasar, dirinya benar-benar jengkel. "Kenapa lagi, Tania?" tanyanya.     "Aku mau Ibu duduk di sebelahku," jawab Tania.     Ayden mengusap kasar wajahnya. Mau duduk saja rasanya ribet sekali.     "Bukankah memang selama ini kau duduk di sebelah ibumu, Tania Sayang?" tanya Ayden penuh penekanan pada kata sayang.     "Iya, tapi maksudku aku dan ibu bertukar posisi," jawab Tania dengan nada seperti anak-anak yang sedang merajuk.     Ayden menggebrak meja dan bangkit dari duduknya. Putrinya ini benar-benar tak menghargai ibunya. Entah apa dosanya sampai-sampai ia mempunyai putri seperti Tania. Mungkin saat itu ia salah posisi atau mungkin juga lupa membaca doa saat membuatnya. Memikirkan hal itu pria paruh baya itu menyesali perbuatannya. Seharusnya hanya Abyan yang ia punya, tapi mengapa ia bisa seceroboh itu hingga menghasilkan Tania dan adik-adiknya yang telah gugur dalam kandungan.     Tania, sikap gadis itu berbanding terbalik dengan sang kakak, Abyan. Tania yang pecicilan, keras kepala, cerewet, dan juga sering menangis. Sedangkan Abyan, pria itu tak banyak bicara, terkesan dingin. Namun, juga lembut.     "Sudahlah, mungkin ia sedang ingin diapit oleh ayah ibunya," ujar Elena sambil memegang tangan suaminya—mencoba melerai situasi yang mulai memanas.     Tania melirik ayahnya yang mengangguk, lalu duduk kembali. Sedangkan Elena kini sudah duduk di bangkunya. Tinggallah ia yang duduk di bangku ibunya.     Gadis itu tersenyum masam. Ingin diapit oleh kedua orangtuanya katanya. Sungguh bukan itu alasan sebenarnya.     "Malam ini keluarga calon suamimu akan datang untuk makan malam. Ayah harap kali ini kau tidak berbuat ulah," ujar Ayden saat mereka semua telah mengabiskan makanannya.     "Bukankah tadi Ayah bilang akan membawaku ke KUA sekarang juga? Ck ... padahal tadinya aku sudah mau bersiap-siap," balas Tania sambil berdecak.     Ayden tak membalas ucapan putrinya. Meladeni putrinya sama dengan memperpanjang masalah. Ia hanya diam, lalu bersiap untuk pergi ke kantor.     "Jaga putrimu baik-baik, Lena. Jangan sampai ia kabur. Satu lagi, dandani ia secantik mungkin," titah Ayden.     Tania berdecak. "Tak perlu dandan pun aku ini sudah cantik dari lahir. Ayah tenang saja, aku tidak akan kabur. Dimas itu pria yang tampan dan juga kaya, mungkin aku bisa memanfaatkannya," ucapnya membuat sang ayah murka.     "Jangan gila kau, Tania. Jadi ini alasanmu bekerja di kafe itu. Karena uang yang Ayah beri tidak cukup. Mulai sekarang berhentilah memasuki dunia malam itu dan jadilah istri yang baik untuk suamimu," ujar Ayden.     "Untuk apa menjadi istri yang baik. Toh ia juga belum tentu berusaha menjadi suami yang baik," balas Tania sambil melenggang pergi ke kamarnya—meninggalkan orangtuanya yang hanya melongo mendengar penuturannya.     "Sabarlah, Ay. Kau terlalu keras padanya. Seharusnya kau bisa bersikap lembut padanya," ujar Elena sambil mengelus d**a suaminya.     "Tapi dia selalu membuatku naik darah," sergah Ayden.     "Kaulah yang membuatnya berubah. Percayalah, putri kita adalah putri yang baik," ujar Elena tersenyum manis pada suaminya. Ayden hanya bisa mengangguk. Ia tak perlu obat penenang. Cukup istrinya di sampingnya, maka keluh kesah dan masalahnya terasa menguap begitu saja.     ***     Tak terasa malam pun tiba. Tania sedari tadi duduk sambil melihat pantulan dirinya yang sedari tadi dirias ibunya.     "Selesai." Elena menatap hasil karyanya. Dirinya terkagum-kagum dengan penampilan putrinya yang cantik kini bertambah cantik. "Kau bagaikan bidadari, Sayang," pujinya.     Tania tersenyum masam. Ia tidak ingin cantik seperti bidadari. Ia hanya menginginkan sebuah cinta dan ketulusan. Namun itu adalah sesuatu yang mustahil baginya.     "Apa sudah siap? Keluarga Dirga sudah menanti di bawah." Ayden datang untuk melihat putrinya.     "Lihatlah, putri kita sangat cantik," ujar Elena sambil mengembangkan senyumnya.     Ayden menatap wajah putrinya dari atas ke bawah, putrinya memang begitu cantik.     "Baiklah jika kalian sudah siap, sebaiknya kita turun dan temui mereka." Perkataan Ayden membuat senyum Elena pudar begitu saja. Tidak bisakah suaminya ini sedikit saja menoleh ke arah putrinya.     "Ayo, Sayang," ajak Elena seraya menautkan jemarinya pada jemari putrinya.     Baru beberapa langkah, belum juga mereka bertiga ke luar kamar, Ayden mencekal tangan putrinya seraya berbisik, "Kumohon bersikaplah yang baik, Tania."     "Sebaiknya Ibu duluan saja, ada suatu hal yang ingin aku bicarakan dengan Ayah," ujar Tania lembut.     Elena menganggukkan kepalanya, lalu melayangkan tatapan tajam pada suaminya. "Jangan berdebat lagi, Ayden," ucapnya memperingati.     Tania menunggu Elena sambil punggung wanita paruh baya itu tak terlihat, kemudian ia menutup pintu kamarnya yang tadi siang sudah selesai diperbaiki.     Gadis itu menarik napas dalam sambil memejamkan kedua netranya. Ia mengembuskan napas panjang, lalu mulai memberanikan diri menatap ayahnya.     "Ayah simpan di mana benda itu?" Sudah sejak lama Tania ingin menanyakan hal itu.     "Benda apa yang kau maksud?" Bukannya menjawab Ayden malah balik bertanya.     Tania mengangkat dan mengarahkan dagunya ke nakas miliknya. Ayden pun mengikuti ke mana arahnya. "Ayah tahu yang aku maksud," desisnya.     Ayden memperlihatkan seringai jahatnya. "Sudah kusingkirkan benda itu sejak lama."     Kedua tangan Tania mengepal kuat. "Mengapa Ayah membuangnya?! Hanya benda itu    yang aku punya," geramnya.     "Untuk apa kau menyimpannya?" tanya Ayden dengan hati yang mulai tersulut. Sepertinya ia harus mengabaikan peringatan istrinya.     "Karena benda itu sangat berharga untukku!!!" teriak Tania. Matanya mulai berkaca-kaca. Dadanya terlihat naik turun akibat berteriak.     "Benda itu tidak ada artinya sama sekali dalam hidupmu, Tania," ujar Ayden sambil mendekatkan wajahnya pada putrinya hingga kedua napas mereka yang memburu saling bersahutan. "Sudahlah, aku tak ingin berdebat," lirihnya.     Tania mendorong d**a bidang ayahnya. Air mata yang sedari tadi menggenang di pelupuk matanya kini terjatuh. "Ayah jahat," ucapnya sambil memukul-mukul ayahnya.     Ayden mencengkram kedua tangan Tania—menghentikan pergerakan putrinya. Cukup lama pria paruh baya itu menatap dalam diam wajah sembap putrinya.     Tania menatap wajah ayahnya penuh kecewa. Ia sudah tak peduli, jika saat ini make up-nya telah luntur. Tiba-tiba tak pernah ia duga sesuatu yang sangat asing dalam hidupnya menghantarkan gelanyar aneh di hatinya. Sesuatu yang sangat ia damba dan rindukan. Ayden, pria paruh baya itu tengah membawanya ke dalam dekapannya dengan erat.     Ini di luar rencana Ayden. Tak pernah ada di pikirannya ia merengkuh tubuh putrinya. Seperti ada sebuah dorongan kala ia melihat mata coklat madu itu berkaca-kaca. Tak jauh berbeda dari yang Tania rasakan, dirinya merasakan sebuah gelanyar aneh yang berdesir di sekujur tubuhnya. Rasanya begitu hangat dan nyaman, membuatnya menginginkannya lagi dan lagi.     Ayden melepaskan rengkuhannya. "Ayah tunggu di bawah. Sepertinya kau perlu memperbaiki riasanmu," ucapnya.     "Apa kematianku dapat membuat Ayah bahagia?" Pertanyaan Tania membuat Ayden yang hendak membuka pintu kamar terhenti.     "Tidak untuk saat ini," jawab Ayden seraya berlalu.     Tania luruh di lantai. Ia sama sekali tak mengerti akan jalan pikiran ayahnya. Seharusnya ayahnya membiarkannya mati tenggelam atau ibunya membiarkannya tertabrak mobil.     ***     Sepuluh menit berlalu. Namun, Tania tak kunjung turun. Hal itu membuat Elena dan Ayden terasa gundah. "Apa kematianku dapat membuat Ayah bahagia?" Entah mengapa pertanyaan Tania beberapa menit lalu menghantamnya.     s**t! Apa anak itu ... ah tidak ... tidak mungkin, batin Ayden mulai berkecambuk. Bagaimana jika putrinya melakukan sesuatu yang tidak diinginkan.     "Sebaiknya aku menyusulnya." Elena beranjak dari tempat duduknya. Kekhawatiran menggerayangi pikirannya. Pasti ada sesuatu yang salah antara anak dan suaminya. Namun, wanita itu harus mengurungkan niatnya kala melihat gadis yang baru saja menuruni anak tangga dengan anggun.     "Maaf, aku membuat kalian lama menunggu," sesal Tania sambil menundukkan kepalanya.     Semua mata terpaku pada gadis bergaun navi itu. Terutama seorang pria muda tampan yang hanya menelan salivanya dengan susah payah. Kali ini ia benar-benar dibuat gila oleh pesona yang dimiliki calon istrinya.     Sarah—ibu Dimas—menghampiri calon menantunya. Ia mendongakkan kepala Tania yang tertungkul, tersenyum sambil mengaleng tangan calon menantunya.     "Tidak apa-apa, Sweetheart, kami tahu kau pasti gugup," ujar Sarah sambil mencolek dagu Tania.     Malam itu mereka habiskan dengan acara makan malam sekaligus membahas sejauh mana persiapan pernikahan putra-putri mereka. Tak hanya itu, kedua orangtua itu membiarkan anak mereka secara privasi mengobrol agar menepis kecanggungan yang masih kian melekat.     ***     "Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu, Dimas," ujar Tania. Saat ini keduanya sedang berada di taman belakang.     "Bicaralah," balas Dimas dengan ramah. Pria itu benar-benar bersikap manis di depan semua orang.     Tania menghela napas panjang. "Kau tahu selama ini aku tinggal di mana dan kau pasti tahu pergaulan di sana seperti apa."     "Lalu?" tanya Dimas yang mulai tertarik dengan pembicaraan yang Tania lakukan.     "Aku sudah tidak gadis lagi. Kau tahu maksudku, 'kan?" Tania berkata sambil memalingkan pandangannya.     "Lalu?" Demi Tuhan, bukan hal itu yang ingin Tania dengar dari mulut pria itu.     "Aku tahu ini membuatmu kecewa. Sebaiknya kau mundur dari perjodohan ini. Kau pantas mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dariku," ujar Tania.     "Bagaimana aku tahu jika kali ini kau tidak menipuku lagi?" Dimas terus mendekat ke arah Tania, membuat gadis itu salah tingkah dan perlahan melangkah mundur. "Kau bisa membuktikannya?" godanya sambil menyeringai.     Tania mengangguk. Tanpa sedikit pun keraguan di wajahnya ia menjawab, "Kau bisa menghubungi rumah sakit itu dan bertanya apakah namaku terdaftar sebagai pasien yang melakukan D&C atau ... kuret satu tahun yang lalu atau tidak."     Dimas melangkah mundur kala mendengar jawaban calon istrinya yang begitu menohoknya. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras, dan sebuah kilatan tajam tercipta di netra hitamnya.     Tania bergidik ngeri. Namun ia sudah siap atas apa yang akan pria itu lakukan.     Dimas mendorong tubuh Tania hingga menyentak sebuah tembok. Kedua tangannya mencengkran erat pergelangan tangan yang berada di kedua sisi kepala gadis itu.     "Kau tenang saja, aku akan menerimamu apa adanya. Biarlah semua itu hanya setitik tinta hitam yang tumpah di atas kertas putihmu dan biarkan aku menjadi tinta yang menghilangkannya dengan berbagai warna yang aku punya," ujar Dimas sambil mengelus pipi calon istrinya. Sementara itu gadis itu hanya diam tak mampu berkata apa-apa.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD