Perjalanan Dinas with CEO

2249 Words
“Saya tidak apa-apa pak, hanya kaki saya sedikit sakit karena memakai sepatu, nanti juga sembuh”. kataku menenangkan pak Reyhan yang terlihat khawatir melihatku. Jika melihat wajah khawatirnya sekarang, ternyata CEO angkuh ini memiliki hati yang baik juga. Setidaknya dia peduli pada karyawannya. Hemm. Sikap lembut sekarang, berbeda dari biasanya. ***   Reyhan P.OV   Aku sungguh khawatir melihat wajah Nadira yang pucat. Dari tadi selama di perjalanan aku berkali-kali menoleh ke arah Nadira, yang terlihat memijat kepala dan kakinya. Aku sungguh penasaran akan keadaan dia, tapi aku gengsi untuk bertanya karena aku masih kesal dengan dia yang membuatku menunggu lama tadi pagi. Hatiku sungguh tidak tenang saat melihat wajahnya semakin pucat, dan memberanikan diri untuk bertanya. “Yakin kamu tidak apa-apa? Wajahmu pucat? Apa tidak sebaiknya kita ke rumah sakit dulu?” Tanyaku lagi memastikan keadaan dia. “Tidak perlu ke rumah sakit pak, saya yakin tidak apa-apa. Nanti saya akan beli obat jika memang masih sakit. Lagipula bapak harus secepatnya sampai, takutnya klien sudah menunggu bapak sekarang”. Benar juga kata Nadira, aku memang sedang terburu-buru. Apalagi aku akan bertemu dengan dua klien yang berbeda hari ini. Tapi aku masih khawatir melihat keadaannya. Apa benar dia baik – baik saja. Batinku tidak tenang. --- 11.30 wib Bandung Aunthor P.O.V   Sebuah restaurant tingkat dua bergaya minimalis, dengan suguhan pemandangan alam yang asri. Tampak salah satu karyawan restaurant dengan pakaian hitam atas bawah menghampiri ke dua pasangan yang berbalut pakaian kantor rapi. Seorang pria dengan Jas mahal warna merah maroon pas body, dengan seorang perempuan cantik atasan baju putih, dan rok span pendek warna hitam. Ya dia yang tak lain adalah CEO besar HM Group Reyhan Hadi Mahendra, dengan sekretarisnya Nadira yang saat ini sedang berjalan memasuki restaurant. “Selamat pagi pak Reyhan. Selamat datang kembali. Klien bapak sedang menunggu diruang VVIP”. Ucapan hangat dan hormat dari karyawan membuat Nadira melongo tak percaya. “Widihh.. dia sampek hafal sama nama pak Reyhan, apa jalangkung ini sering kesini?” Batin Nadira sambil berjalan mengekori atasannya yang angkuh. Sesekali dia meringis kesakitan karena kakinya yang masih sakit. Sebuah ruangan serba putih, dengan dinding kaca besar yang diluarnya menyuguhkan pemandangan sawah yang hijau membentang. Wanita bernama Nadira itu terlihat takjub saat melihat ruang makan yang unik nan elegean itu. “Selamat pagi pak Reyhan”. Sapaan salam dari tiga orang pria saat tiba di meja makan besar dengan kursi kayu mahal mengelilinginya. “Selamat pagi. Maaf saya terlambat”. Ucap CEO itu dengan gaya maskulin. Meeting dimulai dengan beberapa perencanaan ekspor impor kopi yang akan segera dipasarkan dengan memakai metode baru. Dimana kopi yang biasa di jual dengan kemasan yang sudah diolah dipabrik HM Group akan siap meluncurkan varian rasa terbaru. Waktu berjalan 50 menit berlalu. Seorang wanita tampak serius menulis dibuku catatan kecil miliknya. Segala hal penting yang disampaikan atasannya dia tulis tanpa ada satupun kata yang tertinggal. Wanita itu sesekali menahan nafas saat merasakan nyeri dibagian kepalanya. “Aduh jam 12 lewat. Sudah waktunya aku makan siang, perutku mulai sakit. Gimana ini”. Batin wanita bernama Nadira itu sambil memegang perut dengan tangan kirinya. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya yang halus. Dia menyekanya berulangkali saat keringatnya mulai membasahi catatannya. Kruk.. kruk... Seisi ruangan seketika menatap ke sumber suara aneh itu, yang tak lain adalah suara perut Nadira. Sontak wanita itu menunduk malu karena bunyi perutnya yang terdengar oleh mereka di dalam ruangan. Satu pria menatap tajam ke arah Nadira yang masih setia menunduk akibat bunyi perutnya yang terdengar jelas. “Sepertinya sudah waktunya makan siang. Maaf sekali saya tidak menyadari waktu telah berlalu begitu cepat”. Ucapan Reyhan tiba-tiba mengalihkan pandangan dari Nadira. “Saya akan memanggil pelayan untuk membawakan makanan kesini”. Imbuhnya lagi, sambil memencet bel yang ada di atas meja makan. Tak lama satu karyawan memasuki ruangan tersebut. “Iya pak Reyhan, ada yang bisa kami bantu?” Karyawan itu berbicara hormat sambil menunduk. “Bawakan makanannya kesini, sekarang!” Perintah Reyhan dengan tegas. Anggukan patuh dari karyawan tersebut lalu berlalu keluar dengan cepat. Nadira tetap menunduk dan memegang perutnya yang sakit. Sesekali Reyhan menoleh ke arah Nadira sambil tetap berkomunikasi dengan klien dihadapannya. Beberapa saat kemudian, datanglah beberapa pelayan membawakan berbagai macam makanan yang lezat. Mulai dari berbagai jenis sayuran, daging ayam dan sapi yang diolah dengan cara berbeda, ada juga Seafood udang goreng, kepiting saus pedas, cumi-cumi bakar mampu mengggugah selera mata yang melihat. Wangi harum dari makanan, membuat Nadira mendongak dan tersenyum seketika. Senyum tersungging dari Reyhan saat melihat wanita pujaannya tersenyum melihat makanan datang dihadapannya. Beruntung Reyhan langsung peka saat perut Nadira bunyi tadi. “Mari silahkan makan. Semoga kalian suka”. Seru Reyhan kepada kliennya seraya mempersilahkan menyantap makanan yang sudah tertata rapi di atas meja. Nadira mulai mengambil makanan satu per satu untuk diletakkan dipiring kosongnya. Sebenarnya dia ingin sekali mencoba semua makanan lezat itu, tapi dia sadar saat ini harus menjaga citra baiknya di depan para klien atasannya, agar CEOnya itu tetap terjaga nama baiknya. Tidak lucu bukan jika dia makan dengan rakus di depan orang-orang penting meskipun saat ini dia sedang lapar. Nadira mulai menyantap makanan dengan tangan gemetar karena sakit diarea perutnya. Sedikit dia masukkan agar langsung bisa dicerna oleh perutnya. Saat magg-nya kambuh, onderdil perutnya tidak bisa tiba – tiba menerima banyak makanan. Hening.. hanya suara piring dan sendok saling beradu. Klien itu mulai memecah keheningan dengan bertanya beberapa pertanyaan mengenai pekerjaan kepada Reyhan. Brukkkk..... Sesuatu terjadi saat Reyhan hendak menjawab pertanyaan dari kliennya. “NADIRA..”Pekik Reyhan panik saat tiba – tiba melihat Nadira jatuh dari kursinya. Semua orang di dalam ruangan kaget dan berhambur ke arah Nadira. --- Ada rasa pening saat tiba – tiba Nadira membuka mata perlahan. Dia mulai menatap langit-langit atas dengan penglihatan yang masih belum jelas. Dia melihat sekeliling ruangan seperti sebuah kamar, nuansa putih dan pastel mulai terlihat jelas, dan saat menoleh ke samping, dia kaget saat melihat infus disampingnya, sontak dia melihat ke arah tangannya seketika, benar saja jarum infus tertancap di lengan kirinya. Aawww.... Dia meringis kesakitan saat ingin membuka jarum infus di tangannya. “DIAM! JANGAN DIBUKA!”. Nadira kaget saat mendengar suara teriakan dari luar kamar. Benar saja dia melihat orang yang paling dia benci sedang menuju ke arahnya. Siapa lagi kalau bukan si jalangkung. “Kamu ini kenapa sih tidak bisa diam saja, sudah tahu sakit pakek acara mau buka infus segala lagi”. Cerca Reyhan saat berada disamping Nadira. “Ma-maaf pak. Saya kenapa ya pak? Kok saya bisa diinfus? Dan ini dimana, di kamar siapa?” Nadira tampak terkejut saat mendapati dirinya berada disebuah kamar terlebih bersama pria yang paling dia benci disini. Dia mengingat – ngingat lagi tentang kejadian tadi siang, yang dia tahu waktu itu dia lagi meeting, perutnya sakit, dan mulai makan saat pak Reyhan menawari. Setelah itu kepalanya merasa pening, pandangannya kabur, dan dia tidak ingat lagi setelahnya. “Kamu pingsan tadi saat makan. Saya meminta dokter kesini untuk memberikan perawatan kepadamu. Kita masih di restaurant yangsama tapi bedanya kamu di kamar saya sekarang”. Mendengar penjelasan dari Reyhan, membuat Nadira kaget dan bingung. “Ma-maksud pak Reyhan gimana? Restaurant yang sama, tapi di kamar bapak? Saya tidak mengerti, bukankah ini restaurant, jadi bagaimana mungkin ada kamar bapak disini”. Tanya Nadira yang masih bingung dengan penjelasan CEO angkuhnya itu. Reyhan yang dari tadi berdiri tiba-tiba menundukkan wajahnya mendekat ke arah Nadira, perlahan dan sangat dekat. Wanita itu sontak kaget dan memundurkan badannya sedikit ke belakang, tapi terlambat Reyhan dengan cepat merengkuh dan menarik badan Nadira dengan satu tangannya, hingga tidak ada jarak diantara mereka. Nadira semakin gugup saat Reyhan ingin membisikkan sesuatu ke telinganya. Sedang lengan kekar Reyhan masih dipinggang kecil Nadira. “Jelas saja bisa ada kamar disini, karena restaurant ini milik HM Group yang aku dirikan 1tahun yanglalu, dan aku sebagai pemilik berhak membangun apa saja disini termasuk kamar private untukku. Dan perlu kamu tahu, kamu adalah wanita dan orang pertama yang masuk ke kamar ini. WELCOME NADIRA”. Nadira membulatkan mata saat mendengar ucapan Reyhan di telinganya. “APAA..” Ucap Nadira tak percaya sampai mendorong Reyhan ke belakang. Tidak ada raut wajah marah dari Reyhan saat ini. Seringai wajah Reyhan berhasil membuat Nadira menelan ludah dalam-dalam. --- Disisi lain nampak seorang lelaki yang tengah gusar menunggu panggilan telepon dari Nadira. Ya dia Fahmi suami Nadira. Ini sudah jam 3 sore namun istrinya tidak juga memberikan kabar tentang keadannya, padahal dia sudah janji untuk menghubungi Fahmi jika sudah sampai. Fahmi ingin sekali menghubungi Nadira tapi takut mengganggu istrinya. Dia nampak gusar sambil terus melihat handphone yang ada disamping meja kerjanya. Akhirnya pria berlengsung pipi itu mengambil inisiatif untuk menghubungi terlebih dahulu karena perasaan khawatirnya dari tadi, mengingat sang istri tidak memberi kabar. --- Kring.. kring.. Kring.. kring.. Suara handphone Nadira membuat sang empunya menoleh ke arah handphone miliknya yang saat ini berada di sofa panjang tak jauh dari ranjang tempat ia berbaring. Dia tidak bisa mengambil karena selang infus ditangannya. Dia menoleh ke arah Reyhan yang sedari tadi masih betah melihat wajah Nadira dengan tatapan seringainya. “Pak Reyhan” “Iya..” Jawabnya cepat “Pak, saya boleh minta tolong ambilkan handphone saya di sofa. Maaf jika saya lancang”. Wajah melas Nadira yang berharap atasan angkuhnya mau mengambil handphone miliknya. Tak lama Reyhan mengangguk, dan mengambil handphone Nadira di sofa. Saat Reyhan tahu nama pemilik nomor yang menghubunginya, dia langsung menolak panggilan itu seketika. Nadira kaget dengan kelakuan atasannya itu. “Pak Reyhan, kenapa telfonnya bapak reject?” tanya Nadira bingung. “Suamimu menelfon”. Kata Reyhan dengan wajah yang mulai berubah “Apa? Aduh.. saya lupa menghubungi mas Fahmi tadi, karena buru-buru menemui klien. Suami saya pasti khawatir pak. Maaf pak minta tolong kesinikan hp saya”. Nadira nampak gusar saat handphone itu terus berbunyi berkali-kali. “Baik. Tapi sebelum kamu angkat, kamu harus dengarkan perintah saya dulu”. Entah hal apa yang ingin disampaikan Reyhan kepada Nadira. Membuat wanita itu mengerutkan dahinya. “Jangan beritahukan tentang sakitmu kepada suamimu. Aku tidak ingin suamimu mengira aku atasan yang tidak becus menjaga karyawan. Dan..” Ucapan Reyhan menggantung tiba – tiba. “dan, beritahu suamimu bahwa kamu akan pulang besok siang”. Sambungnya lagi yang seketika mampu membuat Nadira mendelik tak percaya “Apa maksud bapak besok? Saya tidak mau pak. Bapak jangan macam-macam ya. Saya sudah bersuami”. Sergah Nadira menahan amarahnya. Nadira sungguh dibuat geram dengan tingkah laku CEOnya itu. Dia mengambil kesempatan dibalik kesempitan. “Nadira Maya Yatfar. PD sekali kamu. Saya tidak akan pernah tertarik padamu bahkan jika kamu melajang sekalipun. Kamu bukanlah tipe ideal saya. Jangan mimpi. Kamu lupa jika hari ini saya harus bertemu dengan 2 klien penting. Tapi berkat kamu karena pingsan, membuat saya  harus memundurkan jadwal klien keduaku untuk besok pagi”. Nadira mendapat tatapan tajam dari Reyhan hingga membuat Nadira merasa bersalah. “Jika memang begitu, sekarang saja pak. Saya sudah tidak apa-apa kok. Saya bisa berjalan lagi sekarang. Saya sudah sembuh pak”. Pinta Nadira dengan wajah masih bersalah. Dia tahu dirinya belum pulih total, tapi dia tidak ingin terlalu lama meninggalkan suaminya. Dia tidak pernah melakukan perjalan jauh sebelum ini tanpa suami. “Nadira, kamu buta. Lihat ke jendela. Ini sudah sore, Matahari mulai tenggelam. Klien kedua yang akan saya temui adalah pemilik kebun nangka, dimana saya harus mensurvei secara langsung nangka itu, karena nanti akan menjadi salah satu varian kopi di HM Group yang baru. Biji nangka yang akan saya ubah dan dikelola menjadi kopi yang sehat, harus benar-benar saya pilih dengan kualitas yang terbaik. Kebun tidak dibuka jika sudah malam, dan perjalan menuju kebun itu membutuhkan waktu sekitar 1jam. Dengan kondisimu sekarang, menurutmu apabisa kita sampai disana sebelum matahari terbenam, hah?” Suara lengkingan serta wajah marah Reyhan membuat Nadira menunduk seketika. Dia semakin merasa bersalah. Dia tahu tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti perintah atasannya. “Bagaimana ini, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang. Ini semua memang salahku. Andai saja aku tidak pingsan, tidak akan seperti ini akhirnya. Padahal besok aku sudah berjanji pada mas Fahmi bahwa kita akan menikmati weekend berdua, tapi kenyataanya. Apa yang harus aku katakan pada mas Fahmi, dia pasti marah padaku”. Batin Nadira tak karuan. Pikirannya kacau. Kring..kring... Handphone Nadira kembali berbunyi, sontak membuat sang empunya tersadar dan melihat Reyhan masih memegang handphone Nadira. “Gimana? Sudah paham kan maksud saya? Jika sudah saya akan berikan handphonemu, dan kamu boleh menjawab panggilan dari suamimu ini”. Nadira diam sejenak nampak berpikir, tentang apa yang harus dikatakannya kepada suaminya Fahmi. “Pak, jika saya bersedia menginap. Saya tidur dimana? ini kan kamar bapak? Dan, saya tidak tahu harus bilang apa pada suami saya pak. Saya bingung”. Ucap Nadira khawatir dengan wajah cemas. “Kamu kan bisa bilang pada suamimu jika klien kedua yang akan ditemui hari ini tidak bisa, diganti besok pagi karena ada urusan. Dan.. untuk menginap. Jelas saja kamu akan tidur di kamar ini, memangnya dimana lagi, disini hanya ada satu kamar yaitu kamar saya”. Perkataan Reyhan yang tenang dan datar membuat Nadira semakin mengerutkan dahinya. “dan, pak Reyhan tidur dimana?” tanya Nadira bingung bercampur cemas. Mendengar pertanyaan Nadira, Reyhan tiba – tiba menyeringai dan mendekatkan wajahnya ke telinga Nadira. “Bodoh! Ya disini juga lah. Ini kamar saya, jadi sudah jelas saya akan tidur disini”. “APAAA...” Nadira kaget tak percaya. “b-bagaimana mungkin.. “  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD