Ini Desaku

3150 Words
Semburat warna oranye bercampur putih menyiram tanah lapang berumput dengan kerikil tumpul dan tanah lempungnya. Titik-titik embun berbondong pergi sebelum habis diuapkan surya, menghilang dalam udara, sirna tak berjejak. Butiran-butiran air itu meluncur ke bawah, menyesap ke tanah dan menguarkan aroma petrikor yang khas tanah basah disiram hujan. Jago berkokok, bersahutan, bernyanyi, berkompetisi menjadi yang paling merdu. Sembur oranye mengusir gelapnya langit. Terang berangsur datang, bersama nyanyian kenari yang tak kunjung henti.             “Langit! Ayo masuk! Sarapan dulu!” teriak Saimah dari dalam rumah. Tak kunjung dapat balasan dari anaknya, wanita paruh baya itu berlari-lari kecil keluar dari pintu belakang dapurnya. Sanggul kecil rambutnya tertutupi kerudung panjang yang dililitkan seadanya ke leher. Gulungannya hampir lepas ketika tubuh mungilnya berlari sekuat tenaga. Berkali-kali ia benarkan kerudungnya yang jatuh menjuntai hampir jatuh sambil terus menerus meneriaki Langit. Kebaya katunnya yang polos berwarna hijau tua dengan kain jarik coklat basah, cukup sederhana. Kain jariknya dipakai setinggi lutut sementara lengan kebayanya digulung sampai siku.             Saimah membuka pintu dapurnya, keluar menuju pekarang rumah belakang dan seekor jago terbang menyambutnya.             “Langiiit!” teriaknya kaget bercampur geram. Dia kibas-kibaskan kedua tangannya cepat mengusir jago itu sambil memejamkan matanya reflek melindungi wajahnya. Bulu-bulu terbang bercampur debu dan sisa pakan yang kering terbawa angin. Pekarangan jadi ramai. Para jago dan babon ayam saling berkokok dan berteriak dengan bahasa mereka. Beberapa ayam panik dan ikut lari bahkan melompat seperti terbang. Beberapa saat kemudian, keributan itu mereda dan Saimah membuka matanya. Dia menemukan Langit, putra bungsunya, menggiring ayam-ayam itu masuk ke kandang lagi. Laki-laki itu menangkapi satu per satu babon dan jago yang gesit lalu memaksa mereka masuk ke kandang. Sebuah rumah ayam dibangun agak jauh dari pintu belakang rumah. Rumah sederhana dengan tiang kayu bekas berdinding separuh anyaman bambu dan separuh lagi ayaman kawat dengan atap genting bekas yang sudah menghitam. Lantainya dibiarkan alami, tanah. Kandang itu cukup besar untuk ukuran sepuluh ekor ayam.             “Langit, sudah jam berapa ini? Ayo sarapan dulu. Katamu hari ini mulai penggilingan di pabrik? Tidak berangkat lebih pagi?” seru Saimah dengan nada tinggi namun terselip rasa sayang di dalam suaranya.             “Iya, Bu, iya. Langit mandi dulu,” jawab laki-laki bertubuh jangkung dengan mata bersinar itu dengan sabar. Berkaos lusuh warna putih yang sudah menguning dengan celana kain lebar sebetis, Langit berjalan cepat menghampiri ibunya lalu masuk lewat pintu belakang. Dia pergi ke kamarnya, membuka lemari kayu tua, mengambil atasan seragam pabrik, handuk dan alat mandinya lalu keluar lagi ke pintu belakang dapur.             Sebuah bangunan lain agak jauh dari rumah utama, lebih dekat dengan kandang ayam, menjadi tujuannya. Tempatnya mungkin sepuluh meter dari rumah, tepat di samping kandang ayam. Bangunan semi permanen dengan pondasi seadanya dari susunan batu kali yang disemen, berdinding ayaman bambu setinggi satu setengah meter yang direkatkan ke empat tiang bambu di masing-masing sudut. Pintunya pun hanya sebuah kelambu dari kain tebal yang digantung di tali tampar lusuh antara dua tiang bambu.             Langit menggeser kain kelambunya lalu masuk dan menutup kembali kelambu itu. sebuah gentong besar penuh air menyambutnya di ruangan satu kali satu setengah meter itu. Untuk keluarga yang tak terlalu berada seperti dirinya, kamar mandi seperti ini sudah lebih dari cukup. Bahkan beberapa rumah dengan keluarga yang lebih miskin, mereka tak punya kamar mandi sendiri. Mereka terpaksa menggunakan kamar mandi umum atau mandi di sungai dengan airnya yang masih jernih. Usai ritual mandi pagi yang sangat kilat, Langit bergabung dengan kedua orang tuanya di meja makan persegi yang sudah penuh dengan tatanan nasi dan lauk. Nasi putih yang baru matang, sepiring tumis kangkung dan tempe goreng. Saimah masih menyeduh teh hangat ketika Langit duduk dan mengambil piringnya.             “Hari ini katanya bupati juga datang, Ngit?” tanya ayahnya, Chudori. Pria paruh baya yang sudah dipenuhi uban dengan guratan usia di wajahnya itu, menatap putra bungsunya dengan tatapan lembut. Tak setinggi Langit, tinggi Chudori hanya sebatas bahu putranya. Sebuah peci hitam usang dengan bekas pulau-pulau keringat yang mengering, ia letakkan di meja di samping kiri piring makannya. Ia sudah mengenakan pakaian dinasnya. Sebuah beskap hitam dengan bawahan celana dan kain jarik sepanjang lutut.             “Iya, Pak. Betul. Acaranya katanya agak siang, nunggu pak bupati selesai upacara,” jawab Langit, sopan. Dia menawari ayahnya tumis kangkung dan tempe goreng bergantian, lalu mengambil dua sendok kangkung untuknya sendiri. Saimah datang dari dapur membawa ceret kuningan kecil lalu meletakkannya di samping nasi. Langit bangkit dari duduknya, menerima ceret itu sebelum diletakkan di meja. Langit menuangkan teh hangat itu ke gelas ibu dan ayahnya bergantian sampai penuh. Uap mengepul dari atas gelas.             “Terus kamu bagian apa, Ngit, di selamatannya nanti?” tanya Saimah menimpali.             “Saya jadi peserta aja, Bu, hehehe,” jawab Langit dengan terkekeh renyah. Dia memulai suap nasi pertamanya.             “Kenapa tidak ambil bagian, Ngit? Kan bagus bisa kontribusi di acara besar,” protes Saimah dengan wajah cemberut.             “Terserah Langit, toh, Bu. Suka-suka dia mau bantu bagian apa. Kalau bisa jadi peserta ya buat apa repot-repot mencalonkan diri jadi panitia,” canda Chudori mengikuti tawa Langit.             “Iya, kan, kalau bisa jadi orang penting, lebih baik, toh, Pak. Biar bisa dilihat pak Bupati. Siapa tahu bisa diangkat jadi ajudannya atau bantu-bantu di kantor bupati kan bagus,” lanjut Saimah tak mau kalah. Dia sama sekali tak lihat bercanda meski juga tak nampak raut kemarahan di wajahnya. Kemudian Saimah menyeruput teh hangatnya pelan-pelan sambil meniupinya sesekali. Sedangkan sang ayah, mengambil lepek keramik lalu menuangkan teh nya sedikit. Dia meniupinya sesekali kemudian menyeruputnya sekaligus. Langit hanya bisa memberikan senyuman pada komentar ibunya sambil cepat-cepat menghabiskan sarapannya yang berharga. Lalu menutupnya dengan menghabis tehnya sekali teguk.             “Bu, Pak, Langit berangkat.” Dia berdiri, mengambil tangan ibu dan bapaknya, mencium punggung tangannya satu per satu. “Assalammualaikum,” salamnya dengan riang dan berseri-seri.             “Waalaikumsalam,” jawab Saimah dan Chudori, kompak. Langit menyelempangkan tas kulit palsunya lalu mengambil sepeda onthelnya dari pekarangan samping rumah. Dia melambai pergi ketika Saimah mengantarnya ke depan. ------------------------------ Langit mengayuh sepeda onthelnya setengah santai namun juga berusaha sampai dengan cepat. Sepeda onthel model lama yang terbilang baru untuk desanya. Pasalnya, sepeda model itu baru ada di pasar dua bulan lalu. Masih bercat mulus dan nampak baru, warna hitamnya mengkilap tanpa goresan, tanpa tempelan stiker apapun. Stangnya panjang dan tinggi dengan sadel yang lebar dan empuk. Besi goncengan di bagian belakang juga lebar dan terlihat kokoh. Diameter rodanya besar, dan gigi-giginya satu besar. Langit mengambil jalan utama desa agar cepat sampai ke Pabrik Gula Gempolkrep. Meski lokasinya masih terbilang satu desa yang sama dengan tempat tinggalnya, tapi perjalanan yang harus ia tempuh untuk sampai ke pabrik tak kurang dari lima belas kilometer. Jalan utama desa sudah dihaluskan, dikeraskan, meski belum semuanya beraspal. Hanya di kota saja yang bisa merasakan jalan beraspal mulus. Masih berupa tanah yang akan becek dan seperti bubur saat hujan dan air menggenang, dan menghasilkan debu tebal yang tertiup angin saat kemarau panjang menerjang. Langit sampai di pabrik. Tak seperti yang ia duga, masih pagi pun ternyata sudah banyak buruh dan kuli yang memadati lapangan depan pabrik. Dari yang Langit perhatikan, sebagian sudah lama tiba dan sisanya masih mengantri memarkir kendaraan mereka untuk masuk ke dalam area pabrik. Ada parkiran khusus yang didirikan untuk sepeda onthel buruh dan kuli. Tempatnya masih di dalam komplek pabrik namun jauh sekali, ada di belakang. Langit harus melewati gedung-gedung pabrik yang berjajar ke belakang untuk mencapai parkiran onthel. Mulai dari bangunan bongkar muat tebu, mesin penggilingan, gedung pembakaran, gudang penyimpanan ampas tebu, gudang penyimpanan hasil tebu dan sebuah lapangan parkir luas sekali dengan rel-rel panjang lintasan kereta uap pengangkut lori, baru akhirnya ia melihat parkiran sepeda. Hanya sebuah atap dari genting lama yang ditopang enam sepuluh tiang bambu. Seratus sepeda onthel masih muat diparkir di sana. Meski jumlah buruh pabrik banyak, tak semua buruh punya sepeda onthel. Kendaraan itu sudah cukup mahal dan prestis di desa.             “Mas Langit!” Langit tolah-toleh cepat mencari sumber suara yang memanggilnya. Dia baru saja meletakkan sepedanya berjajar dengan sepeda lainnya di sana. Seorang pemuda datang berjalan cepat lalu berlarian kecil menghampiri Langit dengan senyum merekah lebar sekali di wajahnya.             “Tumben siang datangnya, Mas?” tanya Ranu Kumbolo. Senyumnya belum luntur meski napasnya terengah-engah. Gigi-giginya putih gadingnya muncul di balik senyum lebarnya. Gigi-gigi itu jadi semakin bersinar di wajah gelap Ranu. Matanya lebar, penuh semangat dan optimis.             “Sudah daritadi, Ran?” tanya Langit heran. Dia mengajak Ranu bercakap sambil berjalan kembali ke lapangan depan tempat acara diadakan.             “Iya, Mas. Sejak subuh saya berangkat!” jawabnya penuh semangat bergelora.             “Lha? Pagi sekali? Kan acaranya agak siang.”             “Lho? Mas Langit belum dapat kabar? Pak Bupati batal hadir, jadi acaranya dimajukan. Untung sampean tidak telat, Mas!” seru Ranu antusias. Langit spontan terhenti. Dia menoleh pada Ranu dengan mata terbelalak kaget. Detik berikutnya, tanpa berucap apapun, Langit berlari meninggalkan Ranu. Dia berlari kencang sekali seperti ada seekor anjing sedang mengejarnya dari belakang. Ranu ikut berlari menyusulnya. Jika acara dipagikan, itu sebuah masalah untuk Langit. Pantas saja sudah banyak sekali buruh yang datang dan berkumpul di lapangan depan. Ranu berusaha menyusul kecepatan Langit, tapi tetap tak bisa padahal sudah ia kerahkan kekuatan tertingginya. Langit terlalu cepat. Dia berlari seperti seorang atlet yang melihat garis finis. Setelah berbelok ke kiri dan mencapai keramaian lapangan depan, Ranu kaget melihat Langit yang berhenti mendadak. Dia menabrak punggung laki-laki itu dan mereka hampir jatuh berdua. Langit menoleh ke Ranu, dengan wajah tegang, mata terbuka lebar dan bibir menganga. Mukanya sangat merah.             “Ada apa, Mas?” tanya Ranu bingung. Dia masih mengatur napasnya lagi. Telunjuk Langit menggiring netra Ranu kepada dua buah boneka besar yang dipajang di atas panggung. Boneka itu adalah tebu yang disatukan, diikat dan dihias layaknya boneka. Diberi nama pengantin tebu. Sebuah simbol untuk keberkahan panen dan dimulainya musim giling tebu. Langit masih ternganga melihat boneka itu sudah duduk di atas sana.             “Bagaimana bisa, Ran?” tanya Langit pelan. Dia masih tercengang. “Kemarin sore masih kusimpan di ruanganku. Kuncinya juga masih kubawa. Aku berlari karena teringat boneka itu belum kusiapkan padahal acara sudah akan dimulai. Siapa yang mengeluarkan bonekanya?”             “Oalaaah, Mas… mas… sampean lari karena boneka tebunya? Sudah saya siapkan tadi subuh, Mas. Mas Langit sendiri yang kasih kunci cadangannya ke saya kemarin. Lupa?” jawab Ranu renyah dan tanpa beban. Dia masih tetap ramah dan ceria meski napasnya masih pendek-pendek. Langit mengangguk dengan tatapan kosong. Setelah beberapa detik mencerna, akhirnya ia bisa menghembuskan napas lega. Lalu menghirup napas berkali-kali, panjang sekali. Dia menepuk-nepuk bahu Ranu sebagai ucapan terima kasih. Ranu masih sangat mudah udah ukuran buruh pabrik tebu. Dia dua tahun di bawah Langit, namun mampu menjadi sahabat sekaligus terasa seperti adik dan abang. Pakaian mereka akhirnya basah oleh keringat yang mengucur deras setelah berlari.             “Terima kasih, Ran!” pekik Langit sambil mengatur napas. Kemudian seorang pria yang dikenal Langit, naik ke atas panggung, mengambil pengeras suara dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Seluruh buruh dan kuli yang hadir berangsur diam dan tempat itu menjadi senyap. Bunyi ngiiiing dari pengeras suara mengangetkan mereka. Semua orang menutup telinganya dengan wajah gusar.             “Ah, maaf, maaf,” seru pria di atas panggung sambil memperbaiki posisi pengeras suaranya. “Semuanya harap tenang. Syukuran musim giling tebu pagi ini akan kita mulai tanpa kehadiran bapak Bupati,” ucapnya. Langit mengajak Ranu ikut duduk ke pinggiran lapangan bergabung dengan yang lainnya. Mereka duduk bersila di tanah yang sudah dialasi dengan terpal.             “Mas,” bisik Ranu pelan. “Kok sepertinya yang datang banyak sekali ya?”             “Iya, kita mengundang warga sekitar juga, Ran. Tiap tahun memang begini saat musim giling tiba. Biar berkah dan selamat buat semua buruh,” jawab Langit.             “Biar gulanya laku ya, Mas? Amiiin,” jawab Ranu tanpa menunggu Langit. Lapangan itu penuh sesak. Tanah lapangan yang seluas setengah lapangan bola sepak itu sudah dipenuhui ribuan orang yang duduk bersila di atas terpal biru yang digelar. Semuanya duduk menghadap ke panggung besar dengan dua boneka tebu raksasa yang dipajang di sana. Sebagian besar memang buruh dan kuli pabrik, sisanya adalah warga sekitar dan keluarga para buruh yang tempat tinggalnya di sekitar pabrik. Tak seorang pun ingin absen dari syukuran besar yang hanya digelar paling banyak dua kali setahun ini. Setelah sang pembawa acara membuka acaranya, membacakan doa bersama dan melafalkan alfatihah, kemudian grup musik naik panggung. Langit ikut bersorak bersama tepuk riuh ribuan penonton lainnya. Setidaknya ada sepuluh orang berseragam biru muda terang yang membawa alat musik mereka masing-masing lalu berbari di atas panggung. Ranu pun ikut tepuk tangan meriah menyambut mereka, grup musik paling terkenal di desa Gedeg, Mojokerto itu bukan sembarang bintang tamu.             “Hebat ya, Mas! Mereka mengundang grup Fatahila yang terkenal itu! Wah senang sekali aku, Mas Langit!” seru Ranu setengah teriak, berlomba dengan sorakan penonton lain.             “Hemm. Ini karena panen tebu kita musim ini sangat melimpah! Karena itu pabrik berani mengundang grup musik setenar mereka ke desa,” jawab Langit ikut berteriak.             “Waahh kalau setiap musim kita bisa panen raya sebesar ini, bisa kaya desa kita, Mas! Mungkin upah kita bisa dua kali lipat!” seru Ranu sangat antusias. Langit tertawa saja sambil mengangguk berkali-kali. Musik dimainkan. Dua peniup seruling memulai pertunjukan mereka kemudian disusul tabuhan gendang, gamelan, dan sang penyanyi mulai unjuk suara. Ribuan penonton itu hening seketika bersamaan dengan nyanyian lagu tembang jawa yang sangat syahdu. Setelah dua lagu dimainkan, grup musik itu turun panggung. Lalu pembawa acaranya naik lagi dan memanggil perwakilan kepala pabrik. Seorang pria berkulit putih dengan rambut coklat berwajah Belanda naik ke panggung.             “Mas, aku belum pernah lihat bapak itu. Siapa?” bisik Ranu lagi.             “Asisten administrator pabrik. Hemmm, bisa dibilang wakil kepala pabrik,” jawab Langit sambil berpikir.             “Wah, keren ya, Mas! Dia bisa bahasa kita juga!” Langit mengangguk. “Aku juga akan jadi seperti dia!” cetus Langit percaya diri. Ranu malah tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban Langit. “Mas bercanda?” ejeknya sopan. Langit menggeleng. “Aku serius,” tegasnya. Tawa Ranu meredup karena sungkan melihat Langit yang seserius itu. Sambutan sang wakil kepala pabrik sangat singkat. Mungkin ia tak suka bicara terlalu lama, atau mungkin dia tak terlalu banyak menguasai bahasa jawa ataupun melayu, atau juga mungkin karena dia tak suka tampil di depan orang-orang pribumi yang lusuh dan kumuh itu. apapun alasannya, asisten administrator Belanda itu, sudah turun dari panggung. Penonton mengantarnya dengan tepuk tangan riuh meski tak menjamin mereka paham apa yang dikatakan pria Belanda itu.             “Mas, kapan acara makan-makannya?” bisik Ranu lagi. Dia mulai tak sabar dengan serangkaian acara ini. Langit mengangkat bahunya sambil menggeleng dua kali. “Aku bukan panitia makan-makan,” jawabnya. Kemudian seluruh penonton diminta berdiri dan membuat sebuah barisan dengan jalan kosong di tengahnya. Ribuan orang itu kemudian membuat dua barisan mengular panjang sekali hingga mencapai bagian parkiran kereta uap di sisi samping pabrik. Kemudian sepuluh pegawai muda dengan tubuh kekar mengarak dua boneka tebu raksasa dari atas panggung menuju jalan panjang yang dibuat oleh penonton. Di atas panggung, grup musik kembali tampil dan membawakan musik tanpa lagu. Di belakang iring-iringan boneka tebu, sebuah kereta beroda dua ditarik dua orang dan didorong dua orang di belakang. Kereta itu berisi tumpeng raksasa setinggi tiga meter. Buah-buahan dan makanan disusun membentuk tumpeng yang dikarak mengekor di belakang boneka tebu. Semua penonton ikut bersorak, bershalawat bersama dan bertepuk tangan takjub melihat tumpeng sebesar itu. Setelah sampai di ujung barisan dan kembali lagi ke tengah-tengah lapangan, tumpeng itu diturunkan dan dibagikan secara adil merata kepada semua peserta syukuran. Langit dan Ranu kebagian buah pisang, masing-masing satu sisir. Ada yang kebagian seikat ubi jalar, kentang, jagung, dan juga ada yang dapat nasi dan lauk matang. Beraneka ragam. Asal semua dapat. Mereka masih mengerubungi tumpeng raksasa itu, lalu buyar sedikit demi sedikit. Para buruh dan kuli kembali bekerja ke pos mereka masing-masing, sementara warga desa di sekitar pabrik pulang ke rumah. Panitia membersihkan sampah-sampah yang tertinggal, menggulung terpal, menyapu lapangan, dan membongkar panggung. Langit dan Ranu ikut dalam sesi ini. Mereka bagian membongkar panggung bersama enam rekan mereka lainnya pada divisi yang sama, divisi penggilingan tebu, anak buah Langit semuanya. Karpet merah yang melapisi panggung, digulung memanjang. Backdrop belakang panggung, juga dibongkar. Kayu penyangganya dilepas dan kain bertulisannya dilipat. Lalu kayu-kayu panggung dibongkar satu per satu dan ditumpuk ke gudang, tempat awalnya.             “Sampun sedoyo, Pak?” seru Langit pada anak buahnya yang mayoritas lebih tua usianya. (Sudah semua)             “Nggeh, Sampun, Mas,” jawab mereka serempak. (Iya, sudah, mas) Langit menutup pintu gudang lalu mengajak mereka menikmati makanan yang didapat dari acara syukuran. Mereka merapat dalam barisan melingkar di bawah pohon sengon yang rindang dekat dengan pos bongkar muat tebu sebelum masuk mesin penggilingan. Dari lokasi itu pandangan mereka begitu luas menatap area parkir kereta uap pengangkut tebu. Tiga kereta sedang diparkir dengan muatan penuh tebu. Masing-masing kereta membawa sepuluh sampai lima belas gerbong tebu.             “Hari ini kita akan bekerja keras!” seru Langit antusias dengan suara penuh semangat. Dia melihat tebu-tebu yang menunggu untuk digiling itu. Belum lagi dengan tebu yang sudah dibongkar muat kemarin namun masih menumpuk di tempat penyimpanan karena proses penggilingan tebu tidak bisa dimulai sebelum syukuran.             “Katanya panen musim ini mencapai 50 ribu pikul. Sangat banyak!” seru seorang bapak paruh baya bertubuh kurus dengan kulit gelap yang duduk di hadapan Langit.             “Nggeh, Pak. Saya dengar juga begitu,” jawab Langit. Meski seorang mandor, dia tetap menghormati dan berkata sopan setiap kali berbincang dengan mereka.             “Semua pabrik gula melakukan acara syukuran hari ini, mereka memulai musim penggilingan di hari yang sama. Kita sedang berpesta!” timpal lainnya. Semua orang menimpali dengan tawa riang dan menyantap makanan masing-masing.             “Jam berapa, Mas, penggilingan dimulai?”             “Mungkin sebentar lagi, Pak. Setelah ini saya dipanggil untuk pengarahan pagi di kantor divisi,” jawab Langit, sopan.             “Bagaimana kalau tiba-tiba gula sebanyak itu tidak bisa laku habis terjual?” tanya seorang dari mereka. Wajahnya menerawang jauh ke tumpukan tebu di atas kereta uap. Tawa riang mereka tiba-tiba hening. Semua orang terdiam, tak bisa memberi jawaban. Tiba-tiba semuanya berhenti mengunyah dan hampir tersedak. Begitu pun Langit, pertanyaan itu membuatnya terbungkam. Benar, bagaimana jika produksi gula sebanyak ini tidak laku terjual? Apakah pabrik akan rugi dan bangkrut? Bagaimana nasib mereka kemudian? Apakah pabrik tidak akan bisa mengupah dan memecat ribuan buruh ini? Lalu bagaimana mereka setelah kehilangan pekerjaan besar-besaran? Bagaimana desa ini akan hidup ketika mata pencaharian utama mendadak mati tak berdaya? Apakah itu mungkin, semua gula ini tiba-tiba tak laku terjual meski selama bertahun-tahun mereka bisa hidup sejahtera karena industri gula ini. Jawabannya, tentu sangat mungkin. Seluruh penduduk desa bisa bekerja keras menghasilkan tebu dan memproduksi gula. Tiap musim bisa semakin bertambah. Tapi bagaimana dengan pemasaran dan penjualannya? Itu bukan ranah mereka. Mereka tak bisa berbuat apapun pada wilayah itu. Delapan pria itu hanya saling menatap satu sama lain dengan wajah tegang dan cemas mendadak. Di pikiran mereka sudah terbayang skenario buruk yang begitu panjang. Dan semuanya sangat mengerikan untuk sekadar dibayangkan. -------------------
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD