--Happy Reading--
Intan mencoba memejamkan matanya, meskipun di dalam hatinya masih di desak penuh dengan tanya, mengapa suaminya mengigau nama Jihan, sahabatnya.
Dia berusaha ingin tetap husnujon terhadap Burhan, suaminya. Dia pun ingin melupakan, apa yang baru saja suaminya panggil dalam tidurnya. Mungkin, selama dia belum menemukan bukti tentang perselingkuhan suami dengan sahabatnya, dia masih tetap tidur di sampingnya malam ini.
***
Burhan mengerjapkan matanya, saat terbangun di pagi hari mendengar suara tangisan kedua anak kembarnya.
Dengan cepat dia pun segera bangkit dari ranjangnya dan berjalan ke arah tempat tidur kedua anak kembarnya itu.
"Cup....! Jangan menangis ya, sayang!" Burhan mencoba menenangkan kedua anaknya tersebut, sambil netranya mencari keberadaan Intan, istrinya.
"Si Intan itu ke mana, sih? Apa dia tuli, tidak mendengar suara tangisan anaknya ini?" tanya Burhan menggerutu kesal.
"Tenang ya, sayang! Jangan menangis lagi!" Burhan menimang-nimang anak perempuannya yang tidak kunjung berhenti menangis. Sementara anak laki-lakinya, Dewa. Nampak berhenti menangis, hanya dengan dia tepuk-tepuk pahanya saja.
Burhan pun segera berjalan ke luar kamarnya, untuk mencari Intan.
Mbo Titin, asisten rumah tangga mereka pun menghampiri Burhan yang sedang menggendong putrinya, Dewi dalam keadaan menangis.
"Sini, Pak! Biar saya saja yang gendong," tawar Mbo Titin sambil merentangkan kedua tangannya untuk mengambil Dewi dari gendongan Burhan.
"Ya, Bi! Terima kasih."
Mbo Titin mengangguk pelan, kemudian menggoyang-goyangkan tubuh si kecil, Dewi. Dia mencoba menghentikan tangisan Dewi dan dia pun berhasil.
"Aden Dewa di mana, Pak?" tanya Mbo Titin.
"Di kamar, Bi. Dia sudah tidur, tadi."
"Oh, syukurlah!" ucap Mbo Titin tenang.
Burhan pun kembali tersadar untuk mencari istrinya, setelah melihat putrinya berhenti menangis saat digendong oleh Mbo Titin.
"Mbo Titin lihat istri saya, tidak?"
"Tidak, Pak. Memangnya tidak pamit sama Bapak? Tapi, masih pagi ini, Pak. Tidak mungkin 'kan, Bu Intan sudah berangkat kerja. Biasanya jam tujuh baru berangkat, setelah Suster Dina datang," ujar Mbo Titin yang sudah hapal dengan jadwal majikannya.
Burhan hanya menghela napas dalam dan menghembuskannya dengan perasaan gusar. Dia pun segera kembali ke dalam kamarnya untuk mengambil ponselnya. Namun, ponselnya tidak sengaja terinjak olehnya yang tergeletak begitu saja di lantai ruang keluarga.
"Mengapa ponselku tiba-tiba ada di sini?" tanya Burhan bergumam pelan.
Didera penasaran, dia pun segera membuka ponselnya untuk meghubungi ponsel Intan. Namun, betapa terkejutnya dia, saat ada beberapa panggilan tidak terjawab dari Jihan yang tertera di ponselnya dan Burhan pun melihat ada panggilan yang diterima dengan durasi kurang lebih tiga menitan, setelah satu jam berlalu pada pukul lima pagi.
Deg!
Glek!
Jantung Burhan tersentak kaget. Jelas satu jam yang lalu dia masih tertidur pulas. Namun, ada satu panggilan yang diterima di ponselnya. Burhan benar-benar tercekat, pikirannya langsung tertuju kepada Intan, istrinya.
"Astaga! Sudah aku bilang jangan mengirim pesan atau pun menelponku disaat aku di rumah. Jihan benar-benar tidak mendengarkan peringatanku," rutuk Burhan kesal.
Dia yakin, istrinya telah mengangkat panggilan telpon dari Jihan. Burhan memang membutuhkan Jihan untuk menyalurkan hasratnya saja, disaat dia tidak mendapatkan dari Intan, istrinya.
Ya, semenjak Intan melahirkan bayi kembarnya. Burhan merasa kebutuhan biologisnya itu tertahan. Karena, Intan seperti tidak ada waktu untuk melayaninya. Bahkan, Intan sering menolaknya disaat dia begitu menginginkan bercinta dengannya.
Bermacam alasan yang sering dilontarkan oleh Intan. Capeklah, bekerja dan mengurus bayi kembar. Masih perih dan sakitlah, area sensitifnya, lelah dan mengantuklah, sibuk menyusui sikembar dan masih banyak lagi alasan klise Intan yang membuat dirinya mencari pelampiasan di luar.
Burhan pun seketika panic, lalu segera menghubungi nomor ponsel Intan. Sayang seribu sayang, ponselnya masih tertinggal di kamarnya. Dengan wajah panik. Burhan pun segera mencari keberadaan Intan di semua sudut ruangan rumahnya dan berakhir di belakang rumahnya yang merupakan sebuah taman kecil, yang memang sengaja dibuat oleh Burhan dan Intan, saat baru membangun rumah mereka tiga tahun yang lalu, di awal pernikahan mereka.
Terlihat jelas dari ambang pintu belakang rumahnya, Intan yang sedang duduk di atas kursi panjang yang terletak di sudut taman. Dia duduk sambil memeluk kedua lututnya sendiri dan menyembunyikan wajahnya di sana.
Hati Burhan tersayat dan teriris, mendapati istrinya yang tengah bersedih atas perilaku bejadnya selama ini. Sungguh, dia tidak menginginkan semua ini terjadi. Namun, nasi sudah menjadi bubur, penyesalan pun seakan tiada arti lagi.
Perlahan-lahan, Burhan berjalan mendekati Intan, istrinya. Nampak jelas, Intan sedang meluapkan tangisannya dengan isak tangis pilu. Sungguh, Burhan merutuki kebodohannya. Mengapa dia tidak segera memblokir nomor Jihan semalam, sekaligus mengakhiri hubungan gelapnya dengan Jihan.
"S-sayang, kenapa kamu di sini?"
Burhan mencoba bersikap seakan tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan istrinya. Pengecut memang, dia mengakuinya.
Tidak ada sahutan dari Intan, dia seolah tenggelam dalam lautan kesedihan yang begitu mendalam. Tubuhnya semakin bergetar hebat, kala laki-laki yang masih berstatus suaminya itu menyentuh punggungnya. Meski pelan, Intan dapat merasakan itu.
"K-kamu menangis, sayang?" tanya Burhan gugup, seolah dia menjadi pria yang paling jahat di dunia ini.
Betapa tidak jahat dirinya, sudah tahu jika sang istri menangis, penyebabnya adalah karena ulahnya yang sudah berselingkuh di belakangnya dan menduakan cinta istrinya yang telah dia nikahi tiga tahun yang lalu. Akan tetapi dia masih berani bertanya kenapa istrinya menangis.
"M-maafkan, Mas Burhan. A-apa kamu menangis karena Mas Burhan, Tan?" tanya Burhan, seolah-olah memang dia penyebabnya.
Burhan tetap bersikap tenang di hadapan Intan, meskipun hatinya terus didesak rasa bersalah dan gamang.
Perlahan, Burhan mencoba duduk di samping Intan, lalu hendak mendekap tubuh Intan yang masih duduk meringkuk sambil menyembunyikan wajahnya, tanpa minat mengindahkan seruannya.
Namun, Intan refleks mendongakan kepalanya ke arah Burhan. Nampak, wajah Intan sudah dipenuhi dengan air mata yang begitu menyedihkan. Tatapan benci dari kedua bola mata Intan, bisa dirasakan oleh Burhan.
"Jangan sentuh, aku!" tepis Intan ketus dengan sorot mata yang menyiratkan kebencian.
Sontak saja, Burhan langsung bergeming dan menatap tidak percaya, istrinya bisa semarah itu.
Selama menikah dengan Intan, baru kali ini dia melihat sisi lain Intan. Disaat marah, Intan bagai elang yang siap memangsa buruannya.
Kilatan amarah dan emosi yang sudah tidak tertahankan lagi, membuat Intan harus memutuskan dirinya untuk melepaskan apa yang selama ini menjadi miliknya. Rela atau pun tidak, dia harus ikhlas menerima kenyataan jika suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Burhan tertunduk lemah, tidak sanggup untuk menatap kedua bola mata Intan yang menghunus tajam, dengan berkilat merah.
Dengan bibir bergetar, Intan pun ingin melepaskan laki-laki yang berstatus suaminya itu untuk selingkuhannya. Bagaimanapun, Burhan harus bertanggung jawab dengan janin yang ada di dalam kandungan Jihan saat ini.
Ya, satu jam yang lalu dia mendengar sendiri, jika sahabatnya itu kini tengah mengandung benih dari Burhan, suaminya. Hasil dari perselingkuhan yang dilakukan oleh Burhan dan Jihan.
Dia sangat mengenal Jihan. Jika Jihan itu sahabatnya sewaktu kuliah dulu sampai saat ini. Jihan sering datang ke rumahnya, saat dia sedang ada masalah dengan kekasihnya. Kadang, Intan memberikan nasehat dan solusi kepada Jihan, agar dia bisa melepaskan kekasihnya yang tidak bisa menghargainya sebagai wanita yang mencintainya. Meskipun Intan belum pernah sekalipun melihat laki-laki yang sering diceritakan oleh Jihan.
Terakhir Jihan ke rumahnya, beberapa minggu yang lalu, saat kedua anak kembarnya baru pulang dari rumah sakit. Kedua anak kembar Intan saat itu terkena demam yang cukup tinggi dan terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit untuk berobat.
"C-ceraikan aku, Mas!" ucap Intan lirih dan suaranya terdengar bergetar. "Nikahi Jihan! Dia tengah mengandung anakmu."
Jegerr....
Bagai tersambar petir di siang bolong, Burhan tersentak kaget, istrinya melayangkan kata cerai dan meminta dirinya menikahi Jihan yang tengah mengandung anaknya.
"C-cerai? J-jihan, h-hamil?"
--To be Continue--