Ancaman

2339 Words
Ziva terbaring di ranjang. saat ini kondisi tubuhnya memang masih lemah. Nafsu makanya berkurang dan banyak hal yang ia pikirkan. Ia ingat bagaimana dulu ia hidup bebas. Berkuliah di Universitas dan memiliki banyak teman. Ia juga bekerja sambil kuliah saat itu, namun ia pernah mengalami hal buruk hingga membuat kepalanya trauma dan memilih untuk tidak mengingat kejadian itu. Ziva merasa hidup di sangkar emas namun tak ada kebahagiaan yang ia dapatkan. Apa yang dikatakan Edwar pamannya adalah kebohongan. Ziva menyesali dengan keputusannya, jika waktu bisa diputar, Ziva memilih untuk pergi jauh bersama kedua orang tuanya. Ziva segera memejamkan matanya saat ia mendengar langkah kaki yang sepertinya mendekatinya. Sapuan lembut dikepalanya membuatnya mengeryitkam dahinya karena merasa tidak suka seseorang berani menyentuhnya. Lalu tangan itu mulai membelai kedua pipi putihnya dan berakhir dengan sentuan lembut di bibirnya. "Jangan coba melawanku!" ucap suara dingin yang membuat Ziva lebih tak mau membuka matanya. "Aku tidak suka pembangkang!" ucapnya lagi. Laki-laki itu Evans Cristopher iblis yang membuat Ziva terkurung dan merenggut kebebasannya. Ziva merasa benci kepada Evans karena Evans telah bersikap kasar padanya. "Kau pikir kau bisa menipuku hmmm... " ucapan Evans tak mampu membuat bibir Ziva membuka dan bersuara. Evans membaringkan tubuhnya disamping Ziva dan memeluk Ziva dengan erat. Sengatan dari sentuhan Evans membuat Ziva ketakukan hingga Evans terkekeh karena berhasil membuat perempuan yang ada didalam pelukannya itu benar-benar tak berdaya. "Kau harus kuat jika ingin menghadapiku!" bisik Evans dengan suara paraunya. "Buka matamu dan lihat aku!". Evans mengigit leher Ziva membuat Ziva terkejut dan membuka matanya. Rasa perih yang ia rasakan membuatnya berusaha mendorong tubuh Evans dengan kasar namun tubuh Evans tidak bergeming. "Sakit?" tanya Evans. "Lepaskan aku!" teriak Ziva. Evans mencengkram kedua pipi Ziva "Menurutlah dan kau tidak akan aku sakiti!" ucap Evans. "Aku akan melepaskanmu lalu aku akan membunuh anak cengeng tak berguna yang merengek ingin bertemu ibunya" ucap Evans membuat Ziva murka. "Dasar b******n kejam, Dimitri adalah anakmu dan kau ingin membunuhnya," teriak Ziva. "Mendapatkan seorang anak bagiku itu adalah hal yang muda," ucap Evans sinis. Ia mencium pipi Ziva, hidung Ziva dan berakhir di bibir Ziva. Ziva yang tak berdaya membiarkan Evan menciumnya namun ia tak membalasnya. "Kau mau melawanku hmmm...?" Evans yang marah membuat tubuh Ziva ketakutan. Mata tajam bak elang itu sangat menakutkan. Pantas saja Evans ditakuti para gengster dan para kolega bisnisnya. "Jangan memberontak, mulai sekarang kau harus melayaniku sebagaimana tugasmu sebagai seorang istri. Jika kau menolak, satu persatu orang yang mengenalmu akan kubunuh!" ucap Evans. "Kau tidak bisa memaksaku!" teriak Ziva. "Brian bawa Ema masuk!" ucap Evans pada bodyguardnya yang ada didepan pintu kamar Ziva. Clek pintu terbuka dan Ema diseret para pengawal Evans. Evans masih memeluk Ziva dan dengan senyum sinisnya ia menujuk Ema yang saat ini memiliki memar di wajahnya. Mata Ema yang membiru dan juga bibir Ema yang berdarah membuat Ziva ingin sekali membunuh laki-laki yang saat ini sedang memeluknya. "Kau apakan Ema? Lepaskan dia!" teriak Ziva. "Kau tinggal pilih aku bunuh pelayanmu atau kau menuruti semua keinginanku. Jika kau menuruti semua keinginanku Ema akan selamat dan tetap menjadi pelayanamu!" ucap Evans membuat air mata Ziva menetes. "Iya aku akan melakukan apapun yang kau inginkan!" ucap Ziva. "Bawa dia ke dokter!" ucap Evans menujuk Ema yang lemah tak berdaya. Ema kembali dibawa keluar oleh pengawal Evans. "Waktunya kau melayani suamimu Zava!" bisik Evans. Ziva menteskan air matanya, ia bisa aja bunuh diri tapi tindakannya akan membuat orang-orang disekitarnya akan terluka. Malam ini ia dan Evans kembali menghabiskan malam bersama. Ziva benci dengan keadaan yang harus ia alami. Ia tak bisa melawan karena sekarang hidupnya telah menjadi milik Evans kecuali Zava kembali ke posisinya. *** Pagi menjelang Ziva yang lelah tidur dengan lelap hingga tak menyadari jika semua keluarga Evans Cristopher telah menyelesaikan makan paginya. Bunyi pintu terbuka menampakan Ema yang wajahnya lebam. "Nyonya bangun!" ucap Ema. Ziva membuka matanya dan melihat Ema yang wajahnya masih lebab. Ziva duduk dan menatap Ema dengan sendu. "Maafkan aku!" ucap Ziva. Ema hanya menundukkan kepalanya dan tidak berani menatap Ziva. "Saya akan membantu Nyonya mandi!" ucap Ema. Ziva menganggukkan kepalanya dan ia segera duduk lalu melangkahkan kakinya menuju kamar mandi diikuti Ema. Ema membantu Ziva membersihkan tubuhnya. Ziva tak ingin menolak karena ia takut Ema akan dilukai Evans. "Aku minta maaf Ema, kau terlibat karena kesalahanku!" ucap Ziva. "Tidak Nyonya saya tidak apa-apa," ucap Ema. Ziva tidak tahu apa yang dilakukan Ema hingga membuat Evans murka dan meminta para pengawalnya memukul Ema. Semua gerak-gerik di kediamam Cristopher selalu diawasi Evans dan para pengawalnya. Evans memberikan kesempatan untuk Ema memperbaiki kesalahanya dengan menjadi orang kepercayaan Ziva. Jika Ema ketahuan kembali berkhianat Evans akan menembak kepala Ema dan seluruh keluarganya. Bagi Evans kematian adalah hukuman yang paling cocok untuk seorang penghianat. Namun ia tidak ingin Ziva kehilangan temannya karena Ziva terlihat nyaman bersama Ema. "Nyonya jam tiga nanti Tuan meminta Nyonya untuk ikut ke acara perkumpulan istri para kolega bisnisnya!" jelas Ema. "Jadi aku bisa keluar dari sini?" tanya Ziva karena ia sangat bosan berada di dalam kamar. "Iya Nyonya, Tuan juga akan membiarkan nyonya keluar dari kamar asal Nyonya menuruti semua keinginan tuan!" ucap Ema. "Oke" ucap Ziva tersenyum senang. Ema merasa jika Evans memperlakukan Ziva dengan perlakuan berbeda tidak seperti wanita-wanita yang ia dengar pernah dekat dengan Evans. Seperti Clara, Evans bersikap dingin dan acuh. Ema bahkan hanya hampir meracuni Ziva atas perintah Grace dan sebelum rencana itu akan ia lakukan, ia hampir saja dibunuh Evans. Ema menyesal karena uang membuatnya hampir kehilangan nyawanya. Dan juga Ziva adalah majikan yang baik yang sangat menghargainya. Setelah selesai mandi Ziva segera memakai pakaiannya. Gaun hijau muda yang elegan membuatnya terlihat sangat cantik. Ziva memakai sepatu dan ia meringis kesakitan karena sepatu Zava lebih kecil dari ukuran kakinya. Selama ini ia selalu memaksakan agar sepatu-sepatu itu pas di kakinya. "Pagi ini beberapa toko sepatu mengantarkan sepatu untuk Nyonya," jelas Ema menujuk beberapa kantung kersek yang belum dibuka. Ziva segera membukanya dan ia tersenyum karena ternyata ukuran sepatu itu sangat pas untuknya. Suatu kebetulan atau memang Evans sudah tahu dia adala Ziva walau Evans masih tetap memanggilnya Zava. Setelah bersiap Ziva segera keluar dari kamarnya dan menuju ruang makan. Ia melihat tatapan Grace dan Clara menajam saat melihat kehadiran Ziva. Apalagi Ziva terlihat sangat cantik. Ema menarik kursi untuk Ziva "Tuan meminta nyonya makan sebelum pergi!" ucap Ema. Ziva menganggukkan kepalanya. Dua orang bodyguard ikut berdiri disamping Ziva membuat Grace dan Clara merasa kesal. "Ternyata kau berhasil merayu Evans hingga kau mendapatkan penjagaan yang begitu ketat," ucap Grace. Ziva tidak menjawab dan memilih mengacuhkan Grace hingga membuat Grace tambah murka. "Dimana sopan santunmu?" teriak Grace. Ziva menghela napasnya "Saya sedang tidak ingin membuat keributan," ucap Ziva membuat madam Catherin nenek Evans terkekeh. "Ma, kenapa Mama tertawa?" tanya Grace tak suka melihat Catherin seperti menertawakannya. "Kalian yang membuat keributan mengganggu makan siangku!" ucap Catherin membuat Grace memilih diam sedangkan Clara kesal melihat ketidakberdayaan sang tante. Catherin merupakan nenek kesayangan Evans dan Aron. Tentu saja membuat Cathetrin marah akan membuat keduanya terkena masalah. "Jangan cari keributan, habiskan makanan kalian!" ucap Madam Catherin. Madam Catherin adalah ibu kandung Brave ayah Evans dan Aron. Ia adalah orang yang membesarkan Evans dan Aron sejak kecil. Evans sangat menghormati dan menyayangi neneknya. Catherin tidak menyukai Zava karena tingkah Zava yang tidak merawat cicitnya Dimitri. Namun entah mengapa saat Zava kembali ia melihat ada yang berbeda dari Zava yang ia kenal sebelumnya. Zava yang sekarang terlihat keibuan dan berwibawah. Mereka semua makan dalam diam. Ziva juga tidak memperdulikan tatapan Clara dan Grace yang menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. Setelah menghabiskan makannya, Ziva menatap Madam Catherin dan menujukkan senyummanya. "Aku selesai makan dan aku pamit Nenek karena ada acara yang Evans minta agar aku hadir disana," jelas Ziva membuat satu lagi point perubahan dari Zava yang Catherin kenal. "Iya silahkan!" ucap Madam Catherin. Ziva membungkukkan tubuhnya seraya memberikan penghormatan kepada Catherin dan ia segera melangkahkan kakinya menuju mobil yang telah disiapkan para pengawal. Ziva takjub dengan mobil mewah yang ia naiki. Begitu kaya raya suami Zava pantas saja Zava melakukan segala cara untuk mendapatkan Evans tapi bagi Ziva apa yang dilakukan Zava pada akhirnya membuat dialah yang terjebak. Tak ada untungnya bagi Ziva hidup bersama laki-laki yang tidak mencintainya. Apalagi Evans hanya bisa mengancam agar ia mengikuti keinginan Evans. Mobil berjalan dengan kecepatan sedang. Saat ini mereka memasuki kawasan hotel mewah yang ada dikota ini. Mobil berhenti didepan lobi. Ema tersenyum dan mempersilahkan Ziva untuk masuk kedalam hotel. "Kau akan ikut aku kedalam Ema!" ucap Ziva. "Iya Nyonya, Tuan tidak mengizinkan saya jauh dari Nyonya," ucap Ema. Tampilan Ema juga sudah rapi. Wajah lebamnya juga telah ditutup makeup. Saat di mobil Ema memakai pakaiannya dan kemudian kembali merapikan makeup dan tatanan rambut Ziva. Mereka masuk ke hotel dan menuju tempat dimana para kolega bisnis Evans berkumpul. Acara ini merupakan acara bulanan yang selalu diadakan para istri-istri dan rekanan bisnis dikota ini. Mereka biasanya melakukan kegiatan sosial dan juga arisan. Tatapan mata mereka tertuju pada Ziva. Seorang wanita cantik yang memiliki rambut panjang bewarna kuning mendekati Ziva dan tiba-tiba menampar Ziva. "Beraninya kau mengganggu suamiku," ucapnya membuat beberapa orang saling berbisik melihat kejadian itu. Ziva terkejut, ia memegang pipinya yang memerah sedangkan Ema berusaha melindungi Ziva dengan menyembunyikan tubuh Ziva dibelakangnya. "Maaf Nyonya tindakkan Nyonya sungguh keterlaluan," ucap Ema. "keterlaluan? Dia menggoda suamiku. Apa dia tidak takut tuan Evans mengetahui tingkahnya yang seperti jalang," ucap wanita itu. Ziva memejamkan matanya. Lagi-lagi karena Zava ia akhirnya dipermalukan didepan umum. Ingin sekali Ziva berteriak ia bukanlah orang yang menggangu suami wanita itu. Tapi apa wanita itu percaya karena wajahnya dan Zava sangatlah mirip. Ziva menatap wanita itu dengan tajam "Anda salah paham," ucap Ziva. "Apa? Salah paham? Bukannya inilah yang selalu kau lakukan untuk mendapatkan apa yang kau inginkan," ucap perempuan itu. Ziva menghembuskan napasnya "Itu bukan saya!" ucap Ziva meninggalkan perempuan itu, namun perempuan ia mendekati Ziva dan menarik rambut Ziva membuat Ema segera memanggil para pengawal yang berada diluar. Namun Ziva segera membalik keadaan dengan membanting tubuh wanita itu hingga membuat semua orang terkejut sekaligus kagum. "Saya datang kemari atas perintah suami saya dan kalian memperlakukan saya seperti ini. Saya tidak menjamin jika suami kalian akan baik-baik saja setelah saya membicarakan prilaku kalian yang menertawakan saya, menggunjing saya bahkan membiarkan wanita ini mencoba menyakiti saya!" ucap Ziva. Ziva merapikan rambutnya dan menghela napasnya. Sedangkan para pengawal dan Ema saat ini telah berada disamping Ziva. "Kalian tahu siapa suami saya kan?" tanya Ziva. Wanita itu tersenyum sinis "Semua orang tahu jika suami anda tidak mencintai anda Zava dan dia tidak akan memperdulikan anda seperti biasanya," ucap wanita itu. "Oh ya? kalau begitu kita tunggu saja apa yang akan dilakukan suamiku!" ucap Ziva melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu dengan elegan. Sebenarnya baru pertama kalinya Ziva dipermalukan seperti ini membuatnya benar-benar kesal dan ingin menangis. "Ema... Aku ingin pergi ke tempat hiburan!" ucap Ziva. "Tempat hiburan yang seperti apa Nyonya?" tanya Ema bingung. "Tempat dimana aku bisa melampiaskan kekesalanku!" ucap Ziva. "Ice skating". "Oke Nyonya" ucap Ema meminta supir mereka menuju salah satu pusat perbelanjaan yang menyediakan tempat bermain ice skating. Beberapa menit kemudian Ziva sampai di tempat untuk bermain ice skating. Ziva segera memakai sepatu yang telah ia sewa. Seperti mendapatkan angin segar, Ziva segera menggerakan kakinya dan meluncur dengan indah. Ema takjub dengan tarian indah Ziva sama halnya dengan para pengunjung yang lain. Ema segera merekam Ziva dan mengirimkannya kepada Evans. Ziva terlihat begitu cantik dan juga sepetri atlit profesional. Ia juga menunjukkan senyumnya kepada para pengunjung lain. Ziva seperti bidadari yang sangat cantik. Setelah puas bermain Ziva tersenyum sambil mendekati Ema. "Kenapa kau tidak beramin bersamaku Ema?" tanya Ziva. "Saya tidak bisa Nyonya," jujur Ema. Ziva menarik tangan Ema "Pakai sepatumu dan aku akan mengajarkanmu bermain. Ini sungguh asyik Ema," ucap Ziva tersenyum penuh kebahagiaan. "Sejak kapan anda bisa bermain seperti ice skating Nyonya?" tanya Ema. "Sejak remaja, dulu aku pernah mewakilkan daerahku mengikuti perlombaan," jelas Ziva. "Anda sungguh berbakat Nyonya dan anda seperti bidadari saat bermain ice skating," puji Ema. "Yayaya... Kau terlalu memujiku Ema, sebagai seorang sahabat aku akan mengajarkanmu!" ucap Ziva membuat Ema tersenyum kaku. Ia sangat malu karena hampir berpikir untuk mencelakakan Ziva. Ziva begitu baik padanya, membuatnya merasa sangat buruk saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD