Setelah morning briefing Gista bergegas ke ruangan pak Rey, karena di sana lah tempat ruangan meeting berada. Ia lalu perlahan membuka pintu ruangan beretalase kaca itu. Ia tidak ingin telat satu menitpun. Betapa terkejutnya ia menatap pak Rey yang berdiri di dekat pintu, sepertinya laki-laki itu akan keluar. Laki-laki itu membalas pandangannya. Mereka saling terdiam satu sama lain. Gista mengapit buku agenda di dadanya.
"Pagi pak," ucap Ucap Gista.
Rey tahu bahwa wanita itu adalah Gista dari devisi HR. Gista wanita karir yang mandiri, cantik, life style, seperti wanita pada umumnya. Wanita itu dapat membangun passion, fokus, berdedikasi tinggi dalam dirinya. Ia juga tahu, wanita seperti Gista punya komitmen tinggi, tidak mau merepotkan orang lain, prinsipnya begitu kuat, dan bertanggung jawab menjalani tugasnya dengan baik. Ia tidak pernah sekalipun melihat Gista lalai dalam menjalani pekerjaanya. Gista terlihat berwibawa dari karyawan seangkatanya, sehingga Gista di angkat menjadi manager HR dua tahun lalu. Itu lah sekilas pandangannya tentang wanita bernama Gista selama ini. Ya, wanita itu terlihat begitu kaku menurutnya.
"Kamu kenapa ke sini," Ucap Rey.
Gista menatap Rey, laki-laki itu masih terlihat tenang seperti biasa. Kemeja putih itu terpasang sempurna ditubuh bidang itu. Siapa yang tidak kenal dengan Rey Basudewa, direktur operational yang selalu pembawaanya tenang dan terlihat cool menurutnya. Gosipnya Rey memiliki hubungan dengan Mimi sekretarisnya sendiri. Terlihat jelas mereka selalu bersama, kemanapun berada.
"Kata pak Bima saya disuruh ikut meeting," ucap Gista.
"Meeting apa," Ucap Rey bingung.
"Bukannya meeting sama pak Roby," ucap Gista mencoba memastikan.
"Emangnya kamu ada disuruh meeting juga sama saya," Tanya Rey lagi, memperhatikan penampilan Gista, wanita itu mengenakan kemeja putih dan jas hitam yang sangat pas di tubuh rampingnya.
"Kata pak Bima ...,"
"Iya benar, saya sebentar lagi ada meeting dengan pak Roby. Meeting itu bersifat intren saja, hanya bagian keuangan, soalnya membahas peminjaman dana di bank. Kalau kamu, ya enggak ada sangkut pautnya dengan masalah ini, pak Leo sebagai GM saja enggak ikut meeting," ucap Rey menjelaskan.
Sumpah, ia ingin sekali membunuh Bima saat ini juga. Mau taruh di mana wajahnya, jika sudah seperti ini. Pantasan kemarin ia ragu gitu mendengar ajakan si kampret, ia sudah berasa menjadi orang penting dijajaran direksi. Ia dengan PD nya mengatakan bahwa ia ikut terlibat dengan meeting penting ini. Oh Tuhan, awas saja si Bima. Gista mengepalkan tangannya hingga memutih.
"Owh gitu ya pak, mungkin saya yang salah dengar. Permisi ya pak, saya balik ke kantor saya dulu," ucap Gista berusaha tenang.
"Iya," ucap Rey, ia memandang punggung Gista yang menjauhinya.
Sementara Gista menahan emosi, sumpah ia sudah kesal setengah mati terhadap laki-laki b******k itu.
"Awas, lo tidur diapartemen gue lagi. Gue bakal cincang lo jadi pergedel," gerutu Gista kesal, berjalan menuju lift dengan tampang kesal.
***
Bima berjalan menuju lobby, ia melirik jam melingkar di tangannya, menunjukkan pukul 18.30 menit. Seharian ini ia berada di bank, sebagai customer prioritas dilayani dengan baik. Ia tadi bertemu Merry di sana, terlihat jelas wanita itu masih berharap. Merry menanyakan kabar kepada, dan sedikit berbincang-bincang tentang permasalah hidup. Merry mengatakan dengan terang-terangan bahwa dia masih ingin menjalin hubungan dengan dirinya.
Pintu lift terbuka Bima menatap seorang wanita muda di sana. Ia lalu masuk begitu saja, tanpa memperdulikan wanita itu, mungkin wanita muda itu hanya tamu hotel. Ia merogoh ponsel dari saku celana, ia akan menghubungi Gista.
"Abang tampan kerja di sini?"
Bima lalu menoleh ke arah sumber suara, suara cempreng itu menggangu sekali menurutnya. Sungguh ia merasa seperti Andika kangen band, di panggil abang tampan oleh wanita muda itu. Bima memperhatikan penampilan wanita itu, wanita itu muda berambut keriting. Dia mengenakan celana pendek, dan kaos berwarna putih, bertulisan London.
"Iya," ucap Bima, berusaha tenang.
"Perkenalkan aku Ramita, panggil aja Mita," ucapnya lalu mengulurkan tangannya kearah Bima.
Alis Bima terangkat, ia menatap uluran tangan wanita muda itu. Oh Tuhan, wanita muda cukup PD, dan tanpa tahu malu, berkenalan dengannya. Bima menarik nafas, ia membalas uluran tangan itu.
"Bima,"
"Abang tampan kerja dibagian apa?," Tanyanya lagi.
Bima menarik nafas, "Untuk apa kamu tahu saya dibagian apa?" Ucap Bima.
Bima menatap kearah depan pintu lift yangs sedang terbuka. Ia lalu keluar dari pintu begitu saja, tanpa memperdulikan wanita muda yang tengah menatapnya dari kejauhan. Padahal wanita muda itu berharap masih ingin berbincang-bincang kepada laki-laki tampan yang baru ia temui.
Bima menekan tombol hijau pada layar, ia mengapit ponsel di telinga kiri dengan bahu. Ia membuka kunci ruangan. Ia menunggu hingga sang pemilik ponsel menjawab panggilannya. Sedetik kemudian ponsel terangkat.
"Apaan sih,"
Bima tersenyum mendengar suara kesal Gista di balik speakernya. "Lo mau makan apa?,"
"Gue enggak mau makan apa-apa," ucap Gista ketus, ia masih marah kepada Bima.
"Yakin enggak laper, gue mau makan iga bakar kremes,"
Gista menelan ludah, membayangkan iga bakar yang empuk dengan bumbu yang meresap di setiap gigitannya. Rasanya benar-benar meleleh di lidah. Oh Tuhan kenapa si kampret ini mengatakan iga bakar. Pertahanan Gista runtuh mendengar kata iga bakar,
"Boleh deh," ucap Gista.
Bima tertawa mendengar ucapan si cantik ini, "Gue tidur tempat lo lagi ya, seperti biasa,"
"Lo nyogok gue pakek iga bakar, agar bisa tidur di tempat gue,"
"Bukannya gitu, enggak enak banget kan gue datang ke apartemen gue yang sepi. Kalau di tempat lo kan enak, ada temen makan juga," ucap Bima mencoba menjelaskan.
"Tapi gue masih kesal sama lo kampret," dengus Gista.
"Kesal kenapa?," Ucap Bima, ia meraih tas ranselnya dan berjalan menuju pintu, tidak lupa ia mematikan lampu ruangan, bersiap untuk pulang.
"Lo boongin gue, soal meeting sama pak Roby tadi pagi,"
Bima tertawa, ia lalu mengunci pintu ruangannya. "Maaf, Gue cuma becanda, "
"Becanda lo enggak lucu," timpal Gista.
"Jangan marah dong, lagian kemarin gue enggak tega liat lo kesenengan gitu mau meeting sama pak Roby," ucap Bima menahan tawa, ia berjalan munuju tangga darurat.
"Ih gue kesel sama lo,"
"Jangan marah dong, gue sekalian mau beliin lo jus mangga, kesenengan lo,"
"Sama donat juga," ucap Gista.
"Iya, iya, kamu sudah mandi?"
"Udah kok, ini baru selesai,"
"Siapin gue air hangat ya, badan gue kayaknya meriang-meriang," ucap Bima, ia menghidupkan mesin mobilnya.
"Lo sakit?,"
"Hanya meriang-meriang aja, masih belum sakit. Khawatir bener kalau gue sakit. Di bawa olah raga juga nanti seger,"
"Yaudah, lo pulang hati-hati,"
"Iya, sayang," Bima mematikan sambungan telfonnya, dan lalu meninggalkan area basement hotel.
***
Beberapa jam kemudian, Bima sudah tiba di apartemen Gista membawa tentengan plastik putih berisi makan malam. Bima menekan bell di dekat pintu, sedetik kemudian pintu terbuka. Ia menatap Gista, wanita itu mengenakan celana pendek dan kaos putih berbahan lembut. Bima memperlihatkan tentengan plastik kepada Gista. Gista memandang Bima, terlihat jelas laki-laki itu begitu lelah, karena seharian bekerja. Bima mendekatkan wajahnya kearah wajah cantik Gista tanpa sapuan make up, ia lalu mengecup pipi kiri itu.
Gista merasakan bibir Bima mendarat dipipinya. Kecupan hangat seperti yang dilakukan laki-laki itu. Ia juga tidak menolak, Bima melakukan itu kepadanya. Bima lalu masuk ke dalam, dan berjalan menuju pantri, meletakkan plastik keresek di meja. Gista menutup pintu itu kembali, berjalan mendekati Bima.
"Air hangatnya udah gue siapin," ucap Gista.
Air hangat di shower sudah sebulan yang lalu rusak, sehingga ia merebuskan air hangat khusus untuk Bima. Bima tahu bahwa Gista selalu melayaninya dengan baik.
"Lo mandi aja dulu, setelah lo mandi, kita baru makan," ucap Gista
"Oke,"