"Kamu yakin, mau tidur di sini?" Sauna melirik sekilas ke arah Horizon, sesaat mereka tiba di depan pintu apartemen.
Horizon menatap datar ke arahnya. "Apa aku terlihat becanda?"
"Tidak," balasnya menggeleng.
"Ya udah. Untuk malam ini aja, kok. Setelah itu, kita tinggal di apartemenku."
Sauna mengangguk kepala dan hendak membuka pintu dengan card smart miliknya.
"Selamat malam, Sauna," sapaan salah seorang yang mendekati kedua orang itu menarik atensi mereka.
"Agh, salam malam, Nek. Apa kabar?"
Sauna malah mendekat dan memberikan salim untuk wanita yang sudah dimakan usia itu. Bersama dengan cucunya yang tampak dewasa, dia menyapa Sauna dengan ramah.
"Hallo, Kak," sapa Lio.
"Hai, Lio. Kalian baru kembali?"
Lio mengangguk kepala. "Iya, Kak. Dan Nenek mengingatmu. Dia ingin memberikan ini," lelaki muda itu mengarahkan bungkusan berisi oleh-oleh dari Jepang. "Dia sibuk sejak tadi menunggu kepulanganmu, Kak."
"Astaga, makasih banyak, Lio, Nenek. Kenapa, kalian repot-repot sekali untuk membawakan ini untukku?" Sauna merasa sangat special.
Selain menerima dan melihat isi ke dalam bungkusuan dalam genggamannya. Sauna memperhatikan kedua orang baik itu. Mereka adalah penghuni apartemen yang tinggal di dekat Sauna. Hanya berbeda dua pintu.
"Nggak merepotkan, Sauna. Apa dia pacarmu?" Nenek Eka, Sauna memanggilnya.
Sauna ikut menatap ke arah Horizon yang sejak tadi menjadi patung di depan pintu.
Mendapati telunjuk si Nenek mengarah padanya, dia malah jadi bingung ingin berbuat apa. Horizon memang jarang untuk bersosialisasi dengan orang sekitarnya. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan rekan kerjanya.
"Dia suamiku, Nek," jawab Sauna jujur.
Mendengar ucapan Sauna barusan bukan cuma Nenek Eka yang kaget. Pun dengan Horizon. Dia langsung menatap Sauna dengan tatapan memuji.
Rasanya dakui di depan orang yang Suana kenal itu sesuatu bagi pria dingin
kayak Horizon. Padahal, Horizon sempat memberikan izin untuk tidak mengakuinya di depan orang yang Sauna kenal. Tapi tidak dilakukan oleh Sauna.
"Suamimu? Kapan kamu menikah, Sauna?"
Sauna melepas tatapannya dari Horizon. "Tadi pagi, Nek. Kami hanya menikah di KUA saja."
Setelah mengatakan itu, Sauna menoleh ke arah Horizon. "Kemarilah, Hori."
Horizon yang mendengar itu pun menurut. Dia berjalan ke samping kanan Sauna.
"Kenalkan dirimu sama Nenek Eka. Nenek suka kasi makanan untukku, Hori."
"Agh, terima kasih sudah menjaga istriku, Nek. Salam kenal, namaku Horizon." Pria ini dengan kikuk hendak memberikan salim. Nenek Eka malah memandangnya dengan tatapan yang memuji ke arahnya.
"Kamu anak yang baik. Jaga Sauna dengan sepenuh hatimu, anak muda. Kamu bisa memberikan kebahagiaan buatnya yang tidak pernah berbahagia sebelumnya. Apa kamu bisa janji?" Nenek tak melepas pandangannya dari Horizon.
Pria itu malah bingung menoleh ke Sauna yang tersenyum ke arahnya.
"Aku janji, Nek."
"Terima kasih, Horizon. Ayo masuklah. Kita sudah lama di luar. Aku rasa, Sauna juga terlihat lelah. Lihat saja wajahnya pucat." Nenek Eka menunjuk ke arah wajah Sauna.
"Baiklah, Nek. Terima kasih untuk perhatian Nenek selama ini. Mungkin, besok kita uda nggak ketemu lagi, Nek," balas Sauna merasa sedih.
"Apa, Kakak akan pindah?" Lio langsung bertanya.
Sauna mengangguk. "Iya. Aku akan pindah mengikuti tempat tinggal suamiku, Nek, Lio. Kita mungkin jarang bertemu terkecuali aku ke sini."
Nenek Eka menepuk punggung tangan Sauna. "Tidak masalah asal kamu bahagia, Sauna. Kepentinganku melihatmu berbahagia sudah terpenuhi. Jaga diri kalian baik-baik."
Sauna memeluk tubuh wanita tua itu. Air matanya sudah menggenang. "Nenek juga sehat-sehat, ya. Sauna bersyukur punya tetangga kayak Nenek."
Dengan pelan, Nenek Eka menepuk badan Sauna. "Aku juga bersyukur bisa membantumu, Sauna. Jangan bersedih lagi. Kamu bisa bertemu denganku, kalau ada waktu untuk mengunjungiku. Sekarang masuklah ke dalam, suamimu sudah lama menunggu."
Sauna mengangguk dan mengurai pelukan. "Sampai ketemu lagi, Nek."
Nenek Eka mengangguk.
"Kakak izin, Lio. Jaga Nenek baik-baik ya, Lio."
"Ya, Kak. Buat Kak Sauna juga."
Keempatnya pun berpulang masing-masing arah berlawanan. Sampai di dalam apartemen, Sauna yang terisak sedih itu mendapati tatapan Horizon sesaat mereka mengganti sepatu dengan sandal rumah.
"Sudah berapa banyak air mata yang kamu keluarkan hari ini, Sauna?"
Kesal saja mendengar pertanyaan aneh Horizon."Entahlah, aku mana bisa menimbang air mataku. Aku rasa hari ini memang sangat panjang."
"Kamu suka begini?"
"Tidak. Ayoo ... kita ke kamar."
Horizon mengening menyoroti kepergian Sauna lebih dulu.
"Kenapa diam?"
"Kamu sungguh berani, Sauna."
"Apa maksudmu?"
"Kamu tidak takut lagi denganku?"
"Tidak. Perlahan, aku mulai mengenal sikapmu, Horizon. Ayo ...."
Di luar akal pikirannya memang. Sauna kadang terlihat penakut, kadang juga tegar, terkadang juga lemah. Entahlah, yang terpenting cuma satu bagi pria itu. Horizon nyaman di dekat Sauna.
"Mbak Sauna?" sapa Mbak Zian—pekerja di apartemen Gangika.
"Mbak ... Gangika uda kasi tau ke kamu nggak soal besok?"
"Uda, Mbak. Tapi saya rasanya kok sedih ya, Mbak, buat pisah dari Mbak Sauna," ucap Zian lirih.
Horizon mendengar pembicaraan keduanya, saat dia hendak mendekati Sauna.
"Mau gimana lagi ya, Mbak. Saya gak punya wewenang," bisik Sauna dengan sesekali menoleh ke arah Horizon.
"Izinku adalah izinmu, Sauna," saut Horizon dari belakang.
Sauna dan Zian sama-sama terkesiap mendengar penuturan Horizon.
"Benarkah?"
Horizon mengangguk. "Kalau kamu masih mau mempekerjakan Mbak Zian, aku ikuti kemauanmu. Aku bakalan jarang pulang, kalau sudah bekerja. Jadi, jika Mbak Zian ikut tinggal bersama kita, aku rasa bisa menjadi temanmu."
Sauna berbinar senang. "Makasih, Hori. Aku mau."
Senyum samar terbit di kedua sudut bibir Horizon. "Apa kita bisa bersih-bersih dulu?"
Sauna mengangguk pasti. "Aku akan membawamu ke atas. Pergilah lebih dulu."
Horizon hanya mengangguk kepala dan berlalu pergi.
"Suami, Mbak Suana baik banget. Makasih ya, Mbak."
"Jangan ngomong kayak gitu, Zian. Aku yang berterima kasih, karena kamu mau ikut denganku. Kalau gitu, kamu bisa bantu siapkan makanan untuk kami?"
Zian mengangguk. "Baik, Mbak."
"Makasih, Zian. Aku naik ke atas dulu."
Mendengar percakapan Sauna dan Zian barusan, membuat Horizon tertawa sendiri. Dia masih menunggu Sauna di balik dinding tangga. Mengingat perkataan Sauna di perjalanan tadi, bahwasannya dialah yang memasak untuknya. Dan sekarang? Malah meminta Zian yang memasak. Pupus sudah harapan Horizon mencicipi masakan istrinya.
"Kenapa kamu masih di situ?"
"Menunggumu."
"Ooo, ayolah."
Menuntun Horizon ke kamar atas, mereka pun sampai di kamar yang Sauna tempati. Tidak banyak pernak-pernik atau foto seperti kamar Horizon.
Sauna tau diri, kalau dia menumpang dan hanya tinggal sementara. Jadi, dia tidak mengubah apa pun di ruangan itu sejak menginjakkan kakinya di sana.
"Aku memintamu tidur di sini bukan karena aku ingin satu kamar denganmu," kata Sauna sesaat mereka sudah masuk ke dalam kamar. Horizon memilih duduk di tepi tempat tidur.
Kerutan di kening Horizon muncul dengan bibir yang sedikit maju. Dia sedang berpikir untuk mencerna ucapan Sauna barusan.
"Di sebelah itu kamarnya Mbak Zian. Nggak mungkin 'kan, aku memintamu tidur bersama Mbak Zian? Jadi, aku berinisiatif untuk membawamu tidur di sini. Itulah alasanku tadi. Aku berharap, kamu jangan berpikir yang aneh-aneh."
Horizon bangkit dari duduknya dan memaju langkah demi langkahan untuk mendekatkan dirinya dengan Sauna.
Wanita itu merasa terancam dengan tatapan nanar Horizon. Kakinya malah ikut mundur hingga tersudutkan membentur dinding kamar.
"Kamu mau apa?"
Merasa tubuhnya terkunci oleh tubuh tegap Horizon, Sauna tidak lagi bisa bergerak bebas. Tangan Horizon menyentuh dinding. Hembusan napasnya menyapu kulit pipi Sauna.
Sedikit mendekatkan wajahnya ke arah Sauna. Pria itu kini berkata, "kalau aku berpikir aneh-aneh juga gak masalah, 'kan? Kamu itu istriku, Sauna. Kita sudah sah melakukan apa pun berduaan."
Horizon kemudian tersenyum. Jarak mereka sangat dekat. Mata mereka berpandang-pandangan. Bedanya, mata Horizon terlalu santai untuk mengatakan ucapan gila tadi. Sedangkan Sauna? Matanya melotot.
Tinggal mendorong sedikit lagi aja, Sauna bisa merasakan sentuhan bibir dari Horizon. Merasa sangat takut, sekuat tenag Sauna, dia mendorong tubuh tegap Horizon.
"Jangan gila, Hori!" teriak Sauna, saat dia berhasil melarikan diri dari Horizon menuju kamar mandi.
Pria itu malah tertawa melihat tingkah gemas Sauna yang malu. Rasa-rasanya, Horizon bakalan memiliki hobbi baru untuk menggoda sang istri.
"Kamu bahkan takut untuk bersitatap denganku, Sauna."
Bersambung.
***
Mulai sih Horizon. Hahahahah