2. Cinta Dalam Diam

1328 Words
“Ay...” Panggil Rizal, yang lagi-lagi membuat Ayana terkejut bukan main. Bukan apa-apa, pasalnya mereka saat ini sudah tidak berada di atas pelaminan lagi atau di depan orang-orang sebagaimana di pesta mereka tadi. Mereka saat ini hanya tinggal berdua, di kamar pengantin yang sudah cantik sekali di dekor oleh menejemen hotel yang bertanggungjawab menyelenggarakan resepsi pernikahan Ayana dan Rizal. Dan yah, tentu saja yang membuat Ayana lebih terkejut dari sebelumnya karena selain mereka hanya berdua Ayana juga menanggap nada suara Rizal yang terdengar berbeda dengan ketika pria itu bicara dengan suara lantang dan tegasnya. Aya masih terkesan dengan suara pria itu tentu saja, yang sangat berwibawa. Tapi bagaimana jika suara berwibawa itu kini teras begitu lembut masuk ke telinga Aya, apa ada yang bisa membayangkannya? “I-iya, Mas?” Dan Aya mengutuk dirinya sendiri, karena suaranya benar-benar terdengar gugup saat ini. “Haha, kamu kenapa? Jangan tegang dulu... Aku belum berniat melakukan apa-apa kok.” Kata Rizal ringan, dengan renyah tawa yang mengiringinya. Ha-ha-ha... rasanya Aya ingin sekali ikut tertawa, tapi wajahnya terlanjur kaku. Ya, meski Rizal berkata begitu, Aya tetap saja gugup, kan? Sekarang memang belum, tapi nanti? Beberapa jam lagi? Beberapa puluh menit lagi? Atau beberapa menit lagi? Detik lagi? Tidak, tidak. Stop, Ayana! Jangan membayangkan yang macam-macam! “Hehe, nggak apa-apa kok. Canggung aja karena nggak pernah berduaan dengan cowok di kamar sebelumnya selain Ayah, jadi...” Rizal mengangguk-angguk mengerti dengan senyumnya. Tentu, tentu saja Rizal paham. “Tadi Mas Rizal mau bicara apa?” “Ah, itu. Kita shalat dulu, yuk.” Ajak pria itu membuat Ayana mengerjap untuk beberapa saat. Benar-benar kerjapan polos yang membuat Rizal lagi-lagi mengukir senyum karena tingkah yang dilihat dari istrinya. “Kenapa? Kamu pasti lagi mikir tadi kita udah shalat berjamaah sama yang lain di bawah, iyakan? Terus sekarang shalat apa lagi? Begitu?” Tepat sekali. Tebakan Rizal itu memang benar-benar tepat, hingga Ayana mau tak mau, refleks menunjukan respon polosnya yang lain, kali ini takjub karena Rizal bisa menerkanya dengan tepat. “Hehe, Mas tahu aja...” Rizal lantas menunjukan raut bangganya, karena telah berhasil menerka isi pikiran gadis yang masih berdiri di seberang tempat tidur itu. “Kita shalat sunnah dulu. Sebelum—” Sengaja, Rizal menggantung ucapannya memancing respon tanya dari wajah Aya yang kembali sangat mudah dibaca. “Sebelum?” “Sebelum yang kamu cemaskan dan khawatirkan tadi. Ah, yang buat kamu tegang juga.” Goda Rizal dengan kerlingan sebelah mata yang membuat wajah Ayana seketika bersemu merah. Tunggu, kenapa Aya cepat sekali mengerti? Tidak! Jangan salah paham, Aya bukannya benar-benar mengerti apa yang Rizal maksud kok, hanya saja... baik raut wajah maupun kedipan Rizal tadi memang benar-benar terlalu jahil dan menggoda. “Haha sudah, sudah. Kita shalat dulu pokoknya. Yuk.” Setelah mengatakannya Rizal berlalu dari pandangan Aya, meninggalkan gadis itu sendiri di sana dan masuk ke kamar mandi mengambil wudhu. Sementara Ayana? Gadis itu... Gadis itu tentu hanya bisa menunggu giliran, sambil menatap punggung Rizal yang menghilang di balik pintu. Aya menarik napas panjang, berusaha memberikan ruang yang layak untuk paru-parunya mengisi oksigen setelah sejak tadi Aya merasa terlalu banyak menahan napas dadakan. Iya, itu memang terjadi berkali-kali seharian ini. Dan pelakunya siapa lagi kalau bukan pria yang sudah membuat Ayana jatuh cinta. Ah, Aya bahkan masih separuh tidak percaya, bahwa pria yang diam-diam dicintainya itu, kini sudah menjadi suaminya secara sah baik atas nama hukum maupun agama. Hal yang hanya menjadi angan-angannya hingga beberapa bulan lalu. *** Beberapa bulan lalu... “Pokoknya pas sidang nanti kita harus—” Telinga Aya memang terpasang dan mendengarkan cerocosan Miura yang berjalan di sampingnya. Tapi begitu ada sosok yang menyita perhatian masuk ke jarak pandangnya, tiba-tiba saja semua yang Miura katakan terasa seperti angin lalu di telinga Aya, terasa tapi tidak bisa ditangkapnya. Benar-benar seperti mendengar sesuatu yang sambil lalu saja, sementara matanya terus menatap sosok yang terlihat tengah berbincang dengan salah satu mahasiswa yang tentu Aya tidak kenal siapa. “Na? Aya? Heh, Ayana!” Miura yang akhirnya sadar bahwa ucapannya tidak diperhatikan setelah dirinya menunggu tanggapan Ayana namun tidak ditanggapi, berusaha menyadarkan sahabatnya itu dari lamunannya yang entah melayang kemana, atau ke siapa lebih tepatnya. “Ayana!” Senggol Miura cukup kencang menyikut lengan sahabatnya itu. Dan setelah sejak tadi memang hanya dipanggil oleh Miura, akhirnya Ayana kembali ke dunia nyatanya. “Ih, lo dengerin gue nggak sih?” Gerutu Miura, menunjukan wajah sewotnya lalu melempar pandangan mencoba mencari apa sebenarnya yang menarik perhatian temannya itu sejak tadi. “Ngeliatin apa sih lo? Jangan-jangan lo memang nggak dengerin gue dari tadi ya?” Terlalu banyak objek di depan mereka, sehingga Miura tidak bisa menerka mana yang sebenarnya sedang Aya perhatikan. “Hah? D-denger kok. Lagi ngomongin pas sidang nanti, kan?” Kilah Aya berusaha untuk lari dari tuduhan Miura, yang tentu saja tidak akan secepat itu percaya. “Iya ngomongin soal sidang. Tapi gue tadi bilang apa hayo? Hayo coba ulangin apa yang tadi gue omongin soal sidang.” Sial. Kenapa sih Aya harus berteman dengan gadis macam Miura yang punya hobi untuk mengorek sesuatu dari orang lain? Kalau begini, Aya harus memutar otak untuk mengalihkan pembicaraan agar dirinya tidak kena omel Miura sepanjang perjalanan pulang, kan? “Itu? Maksud gue, mending kita ngomonginnya kalau udah ada Vio sama Erni. Biar lo atau gue nggak ngulang-ngulang lagi, kan? Jadi lebih efisien.” Aya menarik napasnya panjang. Melengos meninggakan Miura berusaha melarikan diri darinya. Bodohnya, Miura terlihat setuju-setuju saja meski sempat menggaruk lehernya yang tidak gatal. Sebenarnya Miura sudah bisa menerka Ayana tidak mendengarkan kata-katanya, tapi entah mengapa gadis itu memilih percaya dengan apa yang dikatakan Aya barusan. Agar lebih efisien, tidak ada pengulangan. “Jadi, gue mau pas wisuda nanti kita—” Miura tiba-tiba menghentikan ucapannya, melirik Aya yang terlihat asik menyesap milkshake di gelasnya ketika Miura sudah mulai kembali bicara. Mereka saat ini sudah ada di kantin, setelah selesai mengurus semua keperluan sidang dengan bagian administrasi dan kesiswaan. “Na, coba lo aja yang bilang ke mereka soal apa yang gue sampein ke lo tadi.” “Huk! Uhuk-uhuk-UHUK!” Tentu saja Aya yang tiba-tiba ditembak dengan permintaan macam itu langsung tersedak dan menjauhkan sedotan juga gelas milkshake-nya. Miura ini, kenapa suka sekali menyiksanya sih? “Kenapa? Hm? Kenapa sampe keselek gitu? Kaget karena gue minta buat ulang apa yang gue bilang sama lo tadi? Ayo cepet, ulangin. Apa yang gue bilang ke lo tadi coba.” Tuntut Miura dengan wajah yang paling menyebalkan. Aya rasanya ingin sekali meringis, namun menahan ekspresi wajahnya agar tidak semakin dipojokan Miura. Sementara Erni dan Vio yang ada di sana hanya bisa menatap keduanya bergantian dengan tatapan bingung. “Kenapa sih? Ada apa emang? Kenapa nggak lo aja sih yang langsung bilang, Ra?” Erni bersuara, sebab diamnya jelas tidak akan mendapatkan penjelasan apa-apa. “Ini nih, nih anak! Tadi gue lagi ngomong serius panjang lebar malah bengong nggak tau liatin apa. Pas gue tegur dan minta dia ulangin apa yang gue omongin dia bilang nanti aja di depan kalian biar lebih efisien dan nggak buang waktu. Sekarang lihat, kelabakan gitu sampe keselek. Bilang aja lo memang nggak dengerin gue kan tadi?” Miura tersenyum bangga, karena pada akhirnya dia bisa menunjukkan bahwa dirinya tidak bisa dibodohi. Erni melirik Aya yang terlihat menghindari tatapan mata Miura, dan semua mata sahabatnya kini memang mengarah pada Aya. “Kan? Bener, kan? Dia memang nggak denger, Ni!” Miura mengadu pada Erni, setelahnya menceritakan kronologi dan detailnya mengebu-gebu pada sahabatnya yang satu itu. Sementara Ayana yang kini meringis tanpa lagi merasa harus menahannya berhadapan dengan Vio, yang berusaha untuk tidak menarik perhatian Erni atau Miura ketika bertanya. “Ngelamunin apa lo? Pak dosen itu lagi?” Aya melotot, memberikan tatapan dan isyarat mata yang meminta Vio untuk menutup mulutnya. Karena yah, soal yang satu itu memang hanya Aya dan Vio yang tahu kebenarannya. Mengenai cinta dalam diam yang Ayana rasakan. Ah, atau sekarang bisa dibilang tidak dalam diam? Karena Vio sudah mengetahuinya sejak beberapa bulan terakhir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD