Trio Kutu Loncat.

2103 Words
MY BOY               Juna sedang berjalan ke arah lapangan upacara, ini hari pertama masuk sekolah dan SMA Garuda wajib upacara untuk membuka tahun ajaran baru.             “Jun, kita ke kantin yuk abis ini. Kita boker.” ajakan Seto benar benar menggugah iman, untuk mengakhiri hidup Seto di Dunia.             “Lo aja sana, boker di kantinya Mba Wati, gue mah kalo boker di pasir. Biar tinggal di kubur.  Praktis!”   ujar Dika dengan bangga.             Dika menyahuti Seto, tapi tidak dengan Juna. Ia sibuk berjalan dengan langkah gontai, di hari hari terakhir berlibur ia tak bertemu dengan bidadari penjaga sinyal itu.             “Jun? Ah elah, masih mikirin itu…”             Seto menatap ke arah Juna yang kurang gairah,” Mikirin bidadari penjaga tower itu?” tanya Seto untuk mengkonfirmasi perkataan Dika barusan.             “Hem em.” jawab Dika dengan singkat.             “Yaelah Jun! Ngapain masih di pikir gitu sih,” ledek Seto, mereka berjalan di depan barisan kelas setiap angkatan. Sekarang mereka kelas dua belas. Kaka kelas yahut. Itu julukan adik adik kelas ke ketiganya. Tapi untuk Juna itu khususon. Ka Jun yang howet minta di peluk.             “Noh banyak perempuan,” tunjuk Seto ke arah barisan perempuan yang mereka lewati, auto jerit jerit saat mereka baper di tunjuk oleh Seto di susul tatapan Dika dan Juna howet minta di peluk.             “Ogah lah, mulut mereka kaya petasan banting. Berisik.” komentar Juna dengan nada malas. Seto dan Dika malah sangat penasaran. Secantik apa rupanya, bidadari penunggu tower Juna itu.             “Yang ini, cantikan mana sama ‘ Dia’ ?” tunjuk Dika ke arah Sintia, kelas sepuluh yang katanya, paling cantik di angkatanya. Sintia sudah menatap Juna dengan penuh harap.             Juna melirik dengan enggan,” Cantikan dia.”             Ya skor bidadari penunggu tower, 1 : 0.             “Aih, yaudah kita jalan lagi.”             Juna dan kedua temannya berjalan lagi melewati barisan kelas sebelas, ada banyak perempuan cantik di kelas sebelas. Maklum, sudah banyak yang di poles.             “Hai Jun!”  sapa Kayla, anak IPS sebelas Dua yang suka padanya sejak MOS.             “Ini gimana Jun?” tunjuk Seto dan Dika pada Kayla.             “Susunya kecil.” jawab Juna dengan singkat dan dingin tanpa melihat kalau d**a Kayla sudah sebesar buah nangka. Nangka kisut. Mwehehe.               Ya, skor sementara Bidadari penunggu tower, 2 : 0.               Kayla melirik ke dadanya yang di katai kecil oleh Juna. Kurang gede apa lagi bang! Jerit Kayla dalam hati.             Mereka beralih ke barisan kelas dua belas yang sudah Juna hafal, dan yah.             “Jun, main yuk nanti sore. Ke bioskop, ada lagu baru, eh film baru. Judulnya Prozen.”             Itu ajakan Bella teman sekelas Kayla, cantik cantik engga bisa ngomong”F”Frozen yang gaul gaul, jadilah Prozen.             “Engga mau, cantik cantik udik.” kini bukan lagi Juna yang menolak, tapi Dika dan Seto. Nama udah beken, Bella. Ngomong Frozen jadi Prozen. Di blacklist lah Bella dari daftar calon gebetan Juna yang ke seribu.             Skor bidadari penunggu tower semakin tak terkejar, 3 : 0.                         Laki laki di tengah yang di kawal dua orang itu sukses membuat barisan perempuan yang melihatnya dari kejauhan histeris. Juna yang di tengah, adalah pusat dari segala pusatnya. Tampan, kaya, dan tipe tipe bad boy yang aduhai di mata siswi siswi SMA Garuda. Yahut lah pokoknya, Abang Juna yang howet ini.             Tangan itu memakai topi upacara di barisan paling depan, urutan upacara adalah IPS dan baru IPA, dan Juna dengan dua cecungutnya, ada di kelas IPS. Tapi gerakan itu membuat Juna tak berhenti di barisan kelasnya. Ia malah lanjut ke barisan terlarang, barisan kelas IPA.             “Jun! lo mau kemana …?”             Dika dan Seto tak di gubris, mereka berlari kecil untuk mendekat ke Juna, laki laki itu berjalan terus ke arah Juna yang tiba tiba berhenti di barisan kelas IPA dua.             “Jun …?” tanya Dika dengan heran, kenapa dia berhenti di depan barisan terlarang.             Tangan yang sibuk memakai topi itu terhenti gerakannya saat mata itu menatapnya. Iya, sekarang Juna sudah menatap mata itu.             “Ini, baru.” ucap Juna dengan setengah terpesona.             “Sempurna, luar dalam.” tambahnya sambil menatap wajah yang tak lagi tertutupi topi. Juna tak menyangka, akan bertemu dengan bidadari penunggu towernya di sini.             “Jadi? Dia?”             Dika dan Seto terpekik. Gadis yang sedang di tatap Juna itu apalagi. Dia benar benar cantik, bibirnya tanpa harus tersenyum juga sudah seperti membentuk lengkungan senyum. Parasnya apa lagi, tidak seperti Bella ataupun Kayla. Prozen dan Olaf? Lewat.             “Aura aura bidadari emang engga bohong!”  Dika ikut terpesona ke arah gadis itu.             Mendengar itu, Juna langsung menekankan dua jarinya ke mata Dika. Mencolok mata Dika.             “Tutup mata lo!”  perintah Juna tak senang. Ia ingin, hanya dia yang menatap gadis di depannya dengan terpesona seperti ini.             “E- lo!!”  teriak gadis itu terpekik kaget saat Juna menarik tangannya dan menyentuh rambutnya.             “Iya, ini aku sayang.” sahut Juna sambil menekankan tangannya ke d**a dengan alim.             “Aihs! Jangan kurang ajar ya!”  teriak gadis itu tak suka saat Juna meraih rambutnya.             Juna malah tak peduli, toh upacara belum di mulai. Siswa siswi baru di suruh untuk berbaris, tak ada satu guru yang sudah keluar.             Juna malah tambah nekat, ia mendekatkan wajahnya seperti saat di mall waktu itu. Gadis itu langsung terperanjat mundur ke belakang saat menyadari, sorot mata Juna sudah turun ke dadanya.             Gila nih cowo! Kemarin ngomongin s**u! Sekarang dia malah tongol liatin d**a gue!             Plak! Plak! Plak!             “Ah!!”  Juna kesakitan karena pukulan triple combo yang mendarat ke kepalanya.             “Jangan m***m ya!”  teriak gadis itu memperingati. Tanganya sudah ancang ancang, ingin memukul untuk ke empat dan ke lima kalinya.             “Haha! Juna kena tolak cewe …”Dika dan Seto tertawa puas melihat pemandangan langka itu. Baru kali ini, Juna di babit oleh perempuan. Baru kali ini pemirsa.             “Lo ngapain mukul gue!”  teriak Juna protes karena pukulan ke empat sepertinya hendak di layangkan.             “Lah! Lo ngapain liat liat d**a gue!”              Juna mendelik kaget, ia kemudian tersenyum.             Nah kan, beneran m***m nih otak cowo satu ini. Batin gadis itu dengan puas.             “Gue lagi engga liatin d**a lo, gue lagi baca nama lo.”  Juna menjawab dengan nada tenang dan senyuman itu tak luntur.             Gubrak! Ingin rasanya Dika, Seto dan gadis itu semaput bersamaan. Bukan gitu caranya kalo mau tau nama Bambank. Salaman! Kenalan. Bukan nyosor dadanya.             “Dan berhubung gue udah tau nama lo, tapi gue baik. Lo cukup panggil gue, sayang.”             Ujar Juna lirih sambil berbalik badan. Ia meninggalkan barisan kelas IPA itu dan kembali ke barisan kelasnya,             “Lo kenal sama Juna, Ren?” tanya teman di sebelah gadis itu dengan heran.             “Boro boro! Gue aja baru pindah ke sini!”  ketus gadis itu sambil menatap punggung Juna yang sudah berlalu.             “Eh? Jun? Siapa namanya barusan ?”             “Arjuna, panggilnya Juna.”             Oh beneran engga boong ternyata, namanya Juna.             Juna kembali ke barisan kelasnya, laki laki ada di barisan paling belakang. Alasanya simpel. Karena perempuan rata rata lebih pendek dari laki laki.             “Jadi dia cewe yang lo maksud bidadari ?”             Dika sudah tak tahan ingin bertanya, selain karena gadis barusan memang super cantik dalam artian yang sangat berbeda dari yang lain. Juna juga selalu ngelindur tentang bidadari penjaga sinyal towernya itu. Yang selalu ia chatt tapi engga di bales.             “Iya,” ucap Juna singkat dengan senyuman yang belum menyingkir dari bibirnya.             Renata Abbigail. Gue bakalan ganti nama kontaknya di Hp gue. Tekad Juna sambil berdiri menghadap ke tiang bendera. Upacara akan di mulai. Dan Juna sudah membiarkan Dika dan Seto bertanya padanya tanpa jawaban.             Juna sudah sibuk menerawang, Renata Abbigail. Dua belas IPA Dua. Deket lah sama dua belas IPS tiga.             “Cinta engga pake jarak,” tiba tiba Juna berceletuk saat tiang itu sedang meninggikan sang merah putih.             “Dia ternyata ke sini.” ujar Juna lagi sembari memandangi tubuh Renata dari belakang. Juna sangat tinggi sampai ia bisa melihat barisan paling depan di kelas lain. Dan ia beruntung, bisa menatap Renata dari belakang. ^^^             Juna ingat, hari berikutnya ia juga mengikuti Renata. Diam diam, ia memperhatikan Renata lagi yang sedang sibuk bermain bola basket. Sama seperti sebelumnya. Renata bermain sangat lama sampai tiket itu menjulur ke belakang.           Gadis itu akhirnya bosan dan berkeringat. Juna melihat gadis itu beranjak dan pergi, Juna mengikutinya dari belakang. Semalam, Juna sudah spam chatt berkali kali. Dan tak ada yang di balas. Nomornya tidak di blokir. Ia hanya di abaikan.           “Berani dia engga jawab chatt gue,” gerutu Juna sambil mengikuti Renata.           “Baru kali ini gue engga di lirik cewe,” rungut Juna lagi sembari menikung karena tiba tiba Renata menengok ke belakang.           “Huft!”  Juna menarik nafas lega,” Engga ketauan, untung aja ngikutin bidadari.”           Juna bisa melihat Renata yang sedang mengantre kopi. Perempuan itu dengan senyuman meraih minuman pesanannya  dan keluar dari mall.           Juna masih mengikutinya, langkah Renata seolah menarik untuk Juna. Kalaupun tujuannya WC tetap menarik. Tetap, pokoknya.             Renata tak lama keluar dari mall, Juna masih mengikutinya. Aneh memang, Juna jadi penguntit dengan sarung yang ia kenakan. Ia baru selesai sholat jum’at dan langsung ke mall. Ia ke mall kemarin siang dan pulang sudah sore. Jadi Juna pikir, Renata sudah ada di mall sejak siang. Dan tepat! Gadis itu memang ada di sana. Melakukan hal yang sama.           Mata Juna kaget saat Renata tiba tiba menghadap ke balakang.           “Mampus! Gue ketauan!”  Juna segera menutupi wajahnya saat Renata mendekatinya, tapi anehnya. Bukan dia yang Renata dekati. Tapi ibu ibu penjual kue basah yang kesulitan membawa dagangannya.           “Mau di bawaain sampe mana Bu …?”  Renata sudah mengambil alih dagangan ibu itu.           “Cuman nyebrang, engga ngerepotin kan …?” ibu itu bertanya dengan tampang khawatir.           “Engga …”jawab Renata dengan senyum manis dan tulus.           Blush! Senyum itu membuat Juna ikut tersenyum. Tanpa harus tersenyum pun, Renata sudah mampu membuat Juna senyam senyum sendiri.           “Cantik luar dalem,” lindur Juna saat melihat Renata sedang menyebrang dengan kewalahan di sisi yang bersebrangan dengannya. Tapi tak lama setelah Renata membantu ibu itu, sebuah mobil menghampiri Renata dan dia menghilang. Juna melirik ke arah mobil yang membawa Renata. Dan sejak hari itu, Renata tak muncul lagi di mall. Sampai akhirnya, hari ini Renata muncul di sekolah yang sama dengannya. Yang artinya untuk Juna, PEPET TEROOS JUN! JODOH DI TANGAN JUNA. ^^^             “HIDUPLAH INDONESIA KAYA!!”  lirik lagu itu membuat seluruh siswa di lapangan melongok Juna. Si sumber suara. Juna heran, kenapa ia jadi sorotan. Ia kan sedang hormat ke bendera. Tapi otaknya sedang memikirkan Renata.             “Iya gue ganteng, liatinya biasa aja!”  Juna menyemprot Titin, teman kelasnya yang matanya juling tapi juga suka melotot. Kadang Juna jadi sebel.             Pen nyolok mata Titin jadinya. Untung namanya Titin, engga pake T!! Itu seonggok kata mutiara dari Juna untuk Titin. Tapi Titin tidak gentar, seluruh siswa menghadap ke arah Juna sekarang.             “Lo salah lirik,” hardik Titin.             “Iya terus kenapa?” tanya Juna menantang dengan marah, alasannya? Mata Titin lah alasannya. Lo engga salah Tin, mata Lo. Iya, mata lo yang salah.             “Lo juga salah lagu.” jawab Titin dengan sangat santai tapi matanya melotot.             “Wagelaseh, tuh bendera masih di kerek kok.” tunjuk Juna. Tapi yang ia lihat bukan lagi bendera yang di kerek. Tapi Pak Kepala Sekolah yang sedang memandangnya dengan sebal.             “Sekarang lagi mengheningkan cipta Guoblokkkg! Buruan tundukin kepala lo!”  Dika akhirnya menyadarkan kesalahan bertubi tubi Juna. Menyedarkan dengan cara yang bersahabat. Manggil guoblog misalnya?             “Ya gusti!”  Juna segera menundukan kepalanya,” Moga aing selamet dari amukan setan terkutut itu.”             Juna berkomat kamit dengan khusyu. Lagu mengheningkan cipta kembali di nyanyikan tim paduan suara. Dan Juna tetap berdo’a untuk keselamatannya.             Arjuna Leksaman! Pak Adam Suseno sudah mencatat nama Juna di luar kepala. Anak kelas dua belas, tahun terakhir pelajaran yang selalu memusingkan kepala dengan tingkah anehnya yang buat pusing. Terakhir sebelum libur semester kemarin. Juna malah minggat dengan cara yang eksklusif.             Minggat dengan menyebarkan rumor hoax, ya! Kabar pulang lebih awal. Siswa auto girang dan gerbang penuh sesak dengan bejibun siswa yang ingin pulang.             “Loh kita emangnya engga jadi pulang? Katanya ada rapat komite?” protes salah seorang siswa.             “Siapa yang bilang ada rapat komite?” Pak Adam sudah siap menyodok hidung si biang keladi itu dengan batu akik di jarinya.             “Loh? Juna yang bilang ke sekeliling kelas Pak. Katanya di suruh Pak Adam langsung, biar semua siswa siap siap.”             “Arjuna!!!”              Dan saat itu? Juna sudah sukses meloncat dari tembok belakang. ^^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD