"Aku ingin putus. Aku capek karena kamu terus mengekang ku." Ucapnya dengan nada tinggi.
Aku mengernyitkan dahi. "Mengekang mu? Serius? Aku bahkan tidak perduli kamu mau jalan dengan siapa saja, bahkan ketika kau jalan bersama mantan mu secara diam-diam, apa aku marah hah? Aku tidak marah bukan. AKU DIAM! Aku tahu tapi aku lebih memilih diam dibandingkan aku harus beradu mulut dengan mu. Asal kamu tahu, aku bertanya ini itu bukan karena aku kepo dan mengekang mu, tetapi aku ingin menjaga mu. Jika terjadi apa-apa dengan mu, aku bisa kesana menolong mu. Itu saja." Ucap ku dengan penuh emosi juga.
Dia mulai menangis tersedu-sedu. "Aku bisa menjaga diri ku sendiri."
"Menjaga diri sendiri? Teman-teman mu membawa pengaruh buruk untuk mu. Apa-apaan mereka mengajak mu jalan lalu pulang jam 3 malam? Kamu waras? Mereka waras? Kamu dan mereka itu perempuan. Kalau ada apa-apa, kalian bakal kalah juga." Ucap ku.
"Aku bilang... AKU BISA MENJAGA DIRI KU SENDIRI! AKU TIDAK BUTUH KAMU! AKU CAPEK DI KEKANG OLEH MU! MEREKA LEBIH BAIK DARIPADA DIRI MU!" Ucapnya lalu mendorong ku dan pergi meninggalkan ku.
Aku mengusap wajah ku dengan kasar mengingat semua yang telah terjadi. Air mata ku bahkan sudah kering. Hanya ada amarah dan emosi yang setiap kali berkobar. Siapa yang jadi sasarannya? Kaca dan tembok ku yang sama sekali tidak bersalah. Ya, aku menumpahkan emosi ku dengan memukul kaca sampai pecah lalu memukul tembok hingga tangan ku sangat memar dan berdarah. Entah sudah berapa kaca yang hancur karena ku. Entah sudah berapa kali aku mengecat ulang tembok ku karena ada bercak darah ku. Aku menghela nafas lalu bangkit menuju kamar mandi untuk membersihkan diri ku yang penuh dengan darah yang mengering. Aku sangat bodoh memang. Aku seperti ini hanya karena seorang perempuan yang ku perjuangkan mati-matian, apa pun yang dia mau pasti ku turuti, tetapi lihatlah sekarang. Aku memperjuangkan seseorang dan mencintainya dengan setulus hati tetapi dia sama sekali tidak mau dengan ku atau bahkan terpaksa dengan ku. Bahkan beberapa bagian dari hidup ku sengaja ku tinggalkan untuk memperjuangkannya. Tetapi semuanya sia-sia.
****
Hari demi hari terasa sama saja. Hampa. Aku sudah bagaikan mayat hidup. Itu yang di katakan oleh para sahabatku. "Mayat Hidup". Mungkin itu julukan yang pas untuk ku sekarang. Aku bernafas tetapi aku tidak seperti hidup.
"Huhhhhh." Aku menghela nafasku. Menatap layar handphone. Masih terpampang jelas wajahnya. Jujur, aku rindu dia. Sangat merindukannya. Tetapi aku sadar bahwa cinta ini telah usai.