Baby Albanna

1014 Words
Evan berjalan ke arah mobilnya, akan tetapi hatinya begitu tergerak untuk masuk ke dalam rumah itu. "Ah, masa bodoh! Aku akan mendobrak pintunya. Jika ada yang menganggapku hendak mencuri aku tak peduli, rumah ini milikku," Evan bergumam dan berjalan kembali ke arah rumah itu. Dengan sekuat tenaga didorongnya pintu itu. Sekali tidak berhasil, dua kali masih gagal, Evan tidak mau menyerah. Dia terus berusaha membuka paksa pintu rumah itu. Akhirnya usahanya membuahkan hasil, pintu terbuka. Evan masuk perlahan ke dalam rumah. Tampak barang-barang sudah berdebu, sudah berapa lama rumah ini ditinggalkan oleh Anin, batin Evan begitu penasaran. Hatinya tergerak menuju kamar, matanya memindai ruangan itu. Bayangan Anin datang di depan matanya tanpa diminta. Senyuman yang tulus itu, tatapan mata yang sayu dan pasrah saat Evan menyentuhnya. Wajah yang memerah menahan gejolak, berganti menjadi wajah penuh air mata karena disakiti oleh suaminya. Evan mengusap wajahnya dengan kasar, berusaha menghilangkan bayangan itu dari matanya. Apa mencintai itu begitu menyakitkan hati seperti ini. Evan berbalik menuju pintu keluar tapi matanya tertarik pada sesuatu di atas meja rias. Perlahan ia berjalan ke arah meja tersebut, sebuah kertas berdebu tergeletak disana ditindih oleh kotak perhiasan yang juga berdebu. Pelan dibukanya kotak itu, berisi satu set perhiasan yang digunakannya sebagai mahar pernikahannya dengan Anin. Wanita itu meninggalkannya. Diraihnya kertas itu dan dibacanya dengan perlahan. Teruntuk Mas Evan, Terimakasih pernah ada dalam hidupku, memberiku kebahagiaan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku yang salah, berharap menjadi Cinderella. Padahal aku tahu, cerita seperti itu hanya ada dalam dongeng dan cerita romansa. Maaf jika tak sengaja menorehkan luka dalam hatimu mas, aku harap setelah ini kamu akan berbahagia. Kutinggalkan semua pemberianmu, tapi ada satu hal yang tidak bisa kutinggalkan. Karena ia juga bagian dari diriku. Wanita yang kau ceraikan Aninda Diva Evan semakin frustasi setelah membaca surat itu. Apa maksudnya tidak bisa meninggalkan satu hal karena itu bagian dari dirinya. Apa Anin benar-benar hamil? lalu kemana dia pergi. Dalam kebingungannya Evan keluar dari rumah itu dan membawa serta surat dan kotak perhiasan itu. Darimana ia akan mengurai benang kusut ini, mencari Anin dahulu atau mencari tahu kebenaran tentang video yang diperlihatkan mamanya menjelang pernikahannya. Melihat fakta yang diterima saat ini, Evan jadi meragukan kebenaran video tersebut. Sungguh sangat terlambat, seharusnya Evan memeriksanya sejak awal, tapi hatinya saat itu sudah tertutup dengan kemarahan hingga menghilangkan akal sehatnya. Tinggallah penyesalan yang bergelayut didalam pikiran. *** Jauh ke arah timur dari metropolitan kota yang ditinggali oleh Evan, tepatnya di daerah patean Jawa Tengah. Seorang wanita tengah asyik berjemur dengan bayinya yang berusia dua bulan. Bayi laki-laki yang mungil dan tampan, sangat mirip dengan ayahnya. "Hai junior, lagi berjemur ya?" sapa seorang laki-laki. Ibu dari bayi itu tersenyum ramah pada laki-laki yang menyapa mereka. "Mau berangkat ngajar?" tanyanya "Iya, kamu kapan mulai masuk lagi?" laki-laki itu balik bertanya. "Sebulan lagi." "Masa iddahmu sudah selesai, bagaimana tawaranku Anin?" laki-laki itu bertanya. "Albanna butuh seorang yang bisa di pangginya ayah, papa, abi atau apapun itu. Aku akan menjadi ayahnya," ucap laki-laki itu. "Aku tidak bisa mas, Mas Fajar laki-laki yang baik dan sudah sangat baik padaku. Aku tidak pantas untukmu," jawab Anin tanpa melepas pandangan dari Albanna, bayi yang dua bulan lalu baru saja dilahirkannya. Laki-laki yang di panggil Fajar itu menarik nafas dalam-dalam, sungguh sulit menaklukan hati dan meyakinkan wanita ini. "Ya sudah, saya berangkat dulu ya. Sampai ketemu lagi Albanna. Abi jalan dulu," ucapnya sambil mencolek pipi gembul bayi itu. Bayi yang dipanggil Albanna itu hanya menggeliat dan masih asyik menutup matanya. "Bisa-bisanya dia menyebut dirinya Abi pada Albanna," gumam Anin setelah Fajar menjauh dari hadapannya, menuju tempat dia mengajar. Rizky Malik Fajar, laki-laki yang menolongnya sebelas bulan lalu. Saat Anin merasa terpuruk, hamil tanpa suami. Berdiri di atas jembatan dengan tatapan penuh kesedihan, tubuh yang lemah efek kehamilan membuatnya pingsan. Fajar pikir, saat itu Anin hendak bunuh diri kemudian menolongnya. Saat Anin sadar dan hendak diantarkan ke rumah. Anin berkata jika dia tak memiliki rumah, kemudian malah dibawa serta oleh Fajar ke desa ini. Saat itu Fajar tengah dalam perjalanan menuju pondok pesantren Nurul Jadid tempat dia akan mengajar. Selepas pulang dari studynya di negeri Fir'aun sana, Fajar ditawari oleh temannya yang juga kuliah disana untuk mengajar di pesantren milik Abahnya. Dan Fajar tentu saja menerimanya dengan senang hati, dia lebih suka untuk tinggal di pedesaan daripada harus berkutat dengan hiruk pikuk ibu kota. Saat Anin diajak oleh Fajar, tanpa pikir panjang dia mengikuti begitu saja. Orang yang tengah depresi dan kehilangan segalanya, tentu tidak bisa menggunakan akalnya dengan baik. Bahkan banyak dari mereka yang tidak takut mengakhiri hidupnya, beruntung Anin bertemu dengan orang baik seperti Fajar. Dalam perjalananlah Anin menceritakan kisah hidupnya. Saat sampai di tempat tujuan, Fajar mengenalkan Anin sebagai istri temannya yang harus dia jaga karena sudah yatim piatu dan suaminya ada tugas keluar negeri dan sang istri yang tengah hamil tidak diperkenankan ikut serta. Sepertinya memang kurang masuk akal, tapi bukan Fajar namanya jika tidak bisa meyakinkan orang lain. Kepandaiannya dalam mengolah kata membuat semua orang akan terkesima dan mudah percaya. Tapi sepertinya itu tidak berlaku untuk meyakinkan Anin. Seiring berjalannya waktu, dia malah jatuh hati pada wanita itu dan berkeinginan untuk meminangnya. Entah apa lagi alasan yang akan dia katakan pada semua orang jika Anin bersedia menjadi istrinya, mungkin akan bilang jika suaminya meninggal. Cinta selalu memiliki banyak alasan untuk bisa bersama. "Muhammad Albanna, jadilah anak yang soleh nak. Selalu temani bunda, bunda tidak memiliki siapapun selain dirimu," ucap Anin sambil mencium pipi bayi mungil itu dan mengajaknya masuk kembali ke rumah. Hari sudah beranjak siang, matahari mulai memancarkan panasnya. Di tempat itu, Anin yang juga sarjana pendidikan bisa ikut mengajar di pesantren tersebut. Mendapat fasilitas tempat tinggal yang disediakan oleh pihak pesantren, jadi dia tak pusing lagi memikirkan tempat tinggal dan tidak terlalu merepotkan Fajar. Jika dia trus merepotkannya, entah dengan apa Anin akan membalas semua kebaikan laki-laki yang terus saja ingin menikahinya. Tapi kali ini Anin tidak akan membuka hatinya pada seseorang dengan status sosial diatasnya, dia tahu Fajar adalah anak orang berada. Dia tidak akan mengulang kesalahan yang sama, dia sudah merasa senang hidup berdua saja dengan Albanna. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD