"Kalau kamu jadi mantan suaminya apa yang akan kamu lakukan?" tanya Evan
"Kalau aku tidak akan pernah membuatnya menjadi mantan istriku. Sekali dia kunikahi maka akan selamanya kupertahankan," jawab Fajar mantap.
"Bukan begitu maksudnya, misalkan kamu berada dalam posisi laki-laki yang membuatnya menjadi seperti itu," ucap Evan menegaskan.
"Kalau aku yaa tidak akan pernah kulakukan," kukuh Fajar. "Kau tahu, pernikahan adalah suatu yang sakral, perjanjian agung dengan Allah. Mana boleh di buat mainan, habis nikah dicerai setelah digauli. Niat awal ingin menghancurkan, laki-laki macam apa yang bisa berbuat seperti itu pada wanita yang dicintainya. Apa kamu tidak merasa kasian dengan mereka, Albanna tidak pernah melihat ayahnya sejak lahir. Anin, bundanya pun tidak pernah didampingi suaminya saat hamil dan melahirkan. Bahkan aku tidak yakin laki-laki itu tahu benihnya sudah tumbuh sebesar ini."
"Apa kamu kasian pada wanita itu jadi ingin menikahinya?" tanya Evan penasaran.
"Tidak, wanita tangguh itu tidak perlu di kasihani. Aku mengaguminya bukan kasian padanya."
"Kamu bilang tadi wanita itu hamil dan melahirkan tanpa ditemani suami, lalu siapa yang mengazani anak ini?" Evan masih terus bertanya.
"Aku, meskipun aku menunggu di luar ruangan bersalin tapi aku yang mengazani bayi itu. Aku yang memenuhi keinginannya saat dia ngidam, makanya aku merasa Albanna seperti putraku sendiri, ya Al?" Fajar berkata sambil mencium pipi Albanna yang masih asyik minum di pangkuannya.
"Hemmm," gumam Albanna sambil mengangguk.
Hati Evan terasa ditusuk-tusuk mendengar penuturan sahabatnya, merasa iri melihat kedekatan putranya dengan Fajar.
"Kau tahu, kata pertama yang diucapkannya adalah abi, dia memanggilku abi. Bahkan bundanya pun iri padaku."
"Benarkah?" tanya Evan.
"Hei! Ngomong-ngomong kenapa kamu begitu ingin tahu kisah hidup bundanya Albanna, kamu suka sama dia?" tanya Fajar menyelidik.
"Aku hanya penasaran, aku tadi kan belum bertemu dengannya bagaimana bisa suka," elak Evan dengan cepat.
"Iya juga sih, hehehe." Fajar terkekeh.
"Ah iya, kita belum sarapan ya. Udah jam sembilan pagi, aku cari sarapan dulu ya. Kamu bisa jagain Albanna sebentar?" ucap Fajar.
"Berikan padaku, aku akan menjaganya."
Fajar menyerahkan Albanna pada Evan kemudian meninggalkan mereka berdua dan mencari sarapan keluar.
Setelah kepergian Fajar, Evan memandang lekat kearah putranya. Garis wajah anak itu sekilas mirip dengannya, hidung dan matanya adalah milik Evan, rambutnya pun lurus seperti dirinya. Seingatnya, Anin memiliki rambut yang bergelombang. Sedangkan bibirnya barulah milik Anin.
Jika orang melihat mereka bersama dan mengamati, maka orang akan menebak mereka ayah dan anak. Evan mencium pipi Albanna berkali-kali hingga bocah itu kegelian dan tertawa.
"Aku papamu Albanna," bisik Evan ditelinganya.
"Pa-pa ..." Albanna menirukan ucapan Evan.
Hati Evan bergemuruh, rasa bahagia membuncah di dadanya. Bocah kecil itu dengan mudah mengeja panggilan itu. Matanya tiba-tiba terasa panas dan buram, laki-laki itu terharu dan tidak bisa menyembunyikan air matanya.
"Iya, aku papamu. Panggil pa-pa," Evan mengulangi perkataannya.
"Papa ... papa ... papa," Albanna terus mengulangi kata itu.
Dengan gemas, diangkatnya tubuh mungil itu kemudian mereka berputar-putar bersama hingga membuat Albanna tertawa dengan nyaring.
"Seru sekali mainnya," tegur Fajar yang sudah pulang dari membeli makanan.
"A-iya, anak ini manis dan mengemaskan sekali," sahut Evan sambil menurunkan Albana dari gendongannya.
Fajar tidak begitu memperhatikan Evan dan Albanna, dia sibuk mengambil piring dan sendok kemudian mengajak Evan sarapan bersama setelah memberikan biskuit anak-anak untuk Albanna. Dia sengaja melakukannya agar anak itu anteng saat mereka berdua makan.
"Kapan akan memulai pembangunannya?" tanya Fajar sambil menyuap makanan ke dalam mulutnya.
"Besok langsung lihat lokasi bersama orang-orang yang akan bekerjasama membuat bangunan itu. Setelah itu langsung dikerjakan semuanya," jawab Evan sambil menikmati makanannya.
"Kira-kira kamu betah gak disini?" Fajar bertanya lagi.
"Betah, tempat ini damai dan tenang aku suka," jawab Evan. "Dan yang paling penting, anak dan istriku ada disini," Evan melanjutkan ucapannya dalam hati.
"Papa ... emam," celoteh Albanna sambil menyodorkan biskuit yang ada ditangannya ke arah Evan.
"Uhuk ... uhuk!" sontak Evan terkejut dan tersedak mendengar hal itu.
Anak kecil ini begitu pandai, sekali dia bicara kenapa sudah mengingatnya dan manggil Evan dengan panggilan papa.
"Itu buka papa, Albanna. Itu om Evan," tukas Fajar.
"Kamu lagi, begitu aja pakai tersedak segala," cibir Fajar.
"Aku hanya kaget, tiba-tiba di panggil papa sama anak manis seperti dia."
"Papa," ucap Albanna lagi.
"Om, sayang." Evan masih berusaha meluruskan panggilan itu.
"Biarkan saja, dia memanggilmu abi kan meskipun dia bukan anakmu. Jadi biarkan dia memanggilku papa," sahut Evan.
"Jangan-jangan kamu yang mengajarinya memanggilmu papa?" selidik Fajar.
"Bagaimana bisa aku mengajarinya?" elak Evan.
"Mana mungkin dia memanggilmu papa kalau tidak ada yang mengajarinya," sanggah Fajar.
"Bisa saja kan, dia saja bisa memanggilmu abi," sahut Evan tak mau kalah.
"Tapi aku yang mengajarinya. Selain itu panggilan papa tidak familiar disini bagaimana bisa dia tiba-tiba memanggilmu papa begitu saja," cecar Fajar.
"Mana kutahu!" sentak Evan dengan nada tinggi.
"Ya ampun bro, begitu saja emosi," kekeh Fajar. Dia sukses mengerjai sahabatnya. "Aku hanya bercanda," lanjutnya.
"Sial," umpat Evan. Tangannya hendak melempar sendok yang ada dalam genggamannya.
"Isshh! jangan mengumpat. Nanti bocah itu ikut-ikutan ih!" sunggut Fajar.
"Maaf kelepasan," sahut Evan lirih.
***
Sejak pertemuan Evan dan Albanna di rumah Fajar, Evan sering bertemu dengan bocah manis itu setiap kali Fajar membawanya. Ditengah kesibukannya mengawasi proyek pembangunan kampus dan masjid dia menyempatkan diri untuk bermain dengan putranya itu. Hingga saat ini dia masih menghindari bertemu dengan Anin dan orang-orang pun belum tahu fakta tentang dirinya dan Albanna.
Sudah satu minggu lebih dia tidak bertemu dengan bocah manis itu, Evan sibuk dengan proyek yang mulai membuat pondasi. Bagian ini dia benar-benar fokus mengawasinya, ditambah lagi pihak kontraktor yang bekerja siang malam seolah-olah dikejar deadline. Mereka berhenti hanya saat jam-jam salat.
Hari ini Evan lebih mulai sedikit longgar, bahkan dia tidak pergi ke tempat pembangunan. Dia kangen dengan putranya dan memutuskan untuk pergi menjemputnya sendirian ke day care tanpa Fajar. Selama ini jika Fajar menjemput Albana, Evan selalu ikut jadi dia pikir orang disana akan mengenal dan memberikan Albanna padanya.
Benar saja, setelah membujuk petugas disana akhirnya Evan diperbolehkan membawa Albanna bersama.
***
Menjelang ashar, seperti biasanya Anin mampir ke day care untuk menjemput putra semata wayangnya. Jika Fajar tidak mengirim pesan padanya dan bilang sudah menjemputnya, artinya putranya itu masih ada di day care.
"Assalamualaikum ...," sapa Anin sesampainya di day care.
"Wa'alaikumsalam ...," jawab seorang remaja putri.
"Mau jemput Albanna mbak," ucap Anin.
"Lah tadi dede Al sudah dijemput sama temannya mas Fajar," jawab remaja itu.
"Siapa ya?" tanya Anin.
"Itu loh ustazah, yang biasanya ikut ustadz Fajar menjemput dede Al. Arsitektur yang mendesain bangunan kampus dan masjid, orangnya baik dan tampan. Laki-laki itu mirip banget sama dede Al, cocok sekali kalau mereka tuh bapak dan anak. Bahkan dede Al memanggilnya papa. Pria itu baik dan ...."
"Mbak tahu siapa namanya." Anin dengan cepat memotong perkataan remaja itu. Tiba-tiba saja perasaannya tidak enak.
"Kalau tidak salah namanya Evan, orang-orang memanggilnya mas Evan gitu deh."
"Deg ...." jantung Anin berdetak dengan kencang. Dia seperti tidak percaya dengan pendengarannya.
Tanpa kata lagi Anin segera berbalik arah menuju pesantren lagi, tadi dia melihat Fajar masih ada kelas tambahan. Setengah berlari dia langsung menuju tempat Fajar mengajar, air matanya sudah mulai meleleh. Tiba-tiba saja dia takut jika Albanna bakalan dibawa oleh Evan, laki-laki itu pasti sudah tahu jika Albanna adalah putranya.
Anin yakin jika mantan suaminya itu sudah mengetahui tentang dirinya dan putranya, tapi kenapa dia tidak pernah menampakkan diri di hadapannya. Fajar mungkin juga tidak tahu tentang itu makanya dia diam saja, bagaimana kalau Evan diam-diam membawa Albanna. Membayangkan semua itu, air matanya tidak bisa di bendung lagi.
Sesampainya dikelas Fajar dia berdiri didepan pintu yang terbuka. Menatap Fajar yang masih sibuk mengajar. Tatapan mereka bertemu, air mata Anin sudah meleleh kemana-mana. Tak sabar menunggu, Anin berbalik arah entah hendak kemana mencari putranya.
Melihat Anin dengan air mata berurai, Fajar segera mengakhiri kelasnya yang memang sudah berakhir.
"Anin, tunggu!" teriak Fajar sambil terengah-engah karena berlarian.
"Kenapa?" tanyanya saat posisinya sudah didekat Anin.
"Albanna hilang mas, dia tidak ada di day care," jawab Anin sambil terisak.
"Hilang bagaimana?"
"Temanmu itu menjemput Albanna sejak tadi siang. Pasti dia membawanya pergi!"
"Tidak mungkin Anin," tukas Fajar mencoba menenangkan wanita yang ada hadapnya.
"Mungkin saja!" jerit Anin keras membuat Fajar terkaget. Wanita lembut itu tidak pernah berkata dengan keras sebelumnya.
"Siapa nama lengkap temanmu itu mas?" tanya Anin .
"Nevan William Adiguna," jawab Fajar. Dia masih binggung dengan Anin, kenapa menanyakan nama lengkap temannya.
Anin makin histeris mendengar nama itu, meskipun sejak awal dia sudah menduganya.
"Laki-laki itu ayah kandung Albanna mas, kemana biasanya kalian main? kemana mas!" Anin bertanya sambil meraih tangan Fajar dan menarik-nariknya.
Fajar sangat syok dengan semua yang terjadi, antara pernyataan Anin dan pegangan tangannya. Selama ini mereka tidak pernah saling bersentuhan, dan ini kali pertama Anin dengan berani memegang tangan Fajar.
***