Bagian Dua

1384 Words
"hidup itu diantara pilihan, baik buruknya, ada saatnya kita diberi kesempatan untuk mengambil keputusan... " ~~~~~ Petang itu, cuaca sudah menampakkan mega senjanya. Nurul tampak termenung di depan cermin hiasnya. Memakai gamis syar'i dengan kerudungnya, atas perintah bunda. Nurul belum terbiasa memakainya, itu sangat membuat Nurul merasa menjadi ribet. Seperti dikurung dalam kelambu, menurut perasaannya. Keluarga Anggara, calon suami Nurul akan datang ba'da magrib. Karena dalam keadaan batal solat, bu Anna memerintahkan Nurul untuk langsung memakai pakaiannya dan berdandan dengan sepantasnya. Sedangkan di ruang keluarga, meja makan sudah berpindah kesana. Sudah nampak berjejer segala macam makanan dan kue-kue untuk hidangan makan malam nanti bersama keluarga Anggara. "Bund," panggil pak Fajri pada istrinya. "Iya, yah? " "Kita jamaah dulu, sudah adzan. Nanti biar dibereskan sama mba yem. Suruh solat dulu aja mba yem ya? " "Ayah, gak ke masjid? " "Untuk hari ini, ayah solat jamaah dulu sama ibu aja. Takutnya keluarga besan kita datang lebih cepat. " "Ooo iya yah. Nurul tinggal aja yah. Dia lagi halangan. " "Iya. Ayah tunggu di kamar ya. " "Iya, bunda ambil wudhu dulu. " ***** Seperti rencana awal. Keluarga Anggara akhirnya datang. Karena pak Fajri dan pak Anas adalah sahabat karib dari muda dulu, sedangkan bu Anna dan bu Elis juga sahabatan dari jaman kuliah, mereka tampak akrab sekali. Selain orangtua Anggara, ada dua kakaknya perempuan ikut serta, Aisya dan Almira. Mereka kakak kedua dan keempat Anggara. Sedangkan kakak pertama dan ketiga laki laki tidak bisa ikut datang dikarenakan masih diluar kota. "Aku senang sekali Faj. Akhirnya kita bisa besanan. Silahturahmi kita semoga kekal yaaa. " kata pak Anas kemudian, mereka sudah duduk di ruang tamu. "Aamiiin, alhamdulillah Nas. Tapi seperti awal aku ceritakan, tolong sangat di maklumi, anak gadisku sangat masih jauh dari kata solehah dan penurut. Aku padahal sudah berusaha dari dia masih kecil. Entah pergaulan apa yang bikin dia berulah di sekolahnya dulu. Maaf ya, sudah memasukkan putra bungsumu di kehidupan putriku yang seperti itu. " jelas pak Fajri sendu. "Biar itu jadi tugas Anggara, bang Fajr. " timpal bu Elis kemudian. Dari raut wajah mereka, seperti tidak ada keberatan jika menerima menantu seperti Nurul. "Iya. Kalau ingin menggapai surga, biar Anggara yang berusaha sebagai imam kelak, agar bisa menjadikan Nurul sebagai perempuan muslimah yang sesuai aturan Islam. Perempuan kan makmum, jika masih tahap belajar wajar, yang gak wajar kalau imamnya yang masih mentah dalam ilmunya, umur Anggara memang sudah tidak muda lagi, sangat beruntung kemarin dia langsung mengatakan setuju untuk perjodohan ini. Semoga juga Nurul tidak berubah sama keputusannya. " sambung pak Anas menjabarkan. "Tenang saja, Nurul yang keras kepala itu, dia juga masih mau nurut sama ayahnya. Yang jelas aku sangat berharap, Nurul bisa berubah di tangan Anggara... Aku bukan mau lepas tangan dengan tanggung jawab sebagai seorang ayah... Cuma aku takut, kalau aku biarkan Nurul di masa lajangnya lebih lama lagi, dia bisa bertingkah lebih gila lagi. " kata pak Fajri. "Aku tau kamu dari kecil Faj. Kesolehanmu sudah aku pahami dari dulu. Ada skenario yang sudah tertulis, jika Anggara harus berjodoh dengan Nurul. Jadi jangan merendahkan diri terus. " "Hhhmmm... Ngomong-ngomong nak Anggara mana mas Anas? Kok gak kelihatan dari tadi?" sela bu Anna, setelah menyadari bahwa calon menantu nya tidak ada di rombongan itu. "O iya. Angga lagi ke luar kota sehari semalam, karna jadwal pertemuannya sudah direncanakan jauh hari, tapi dia sudah berpesan untuk masalah ini, dia ikut aja apa kata kita Na. Kita cukup beruntung anak-anak kita pada nurut semua. " jawab bu Elis kemudian. "Alhamdulillah. Lega sudah dengarnya. " sambung bu Anna dan di aamiinkan oleh semua orang yang ada di ruangan itu. "Bund. Mana Nurul. Tolong panggilkan, mertuanya datang kok belum keluar kamar daritadi. " kata pak Fajri. "Iya. Sebentar ya Elis, mas Anas. Aku panggil Rul nya dulu. " Kemudian, bu Anna dengan segera naik ke kamar sang putri. ***** POV Nurul Aku segera membalikkan badan, ketika aku mendengar pintu kamarku dibuka oleh seseorang. Terus terang saja, saat ini perasaanku kacau tidak beraturan, ada was-was, dan ingin kabur saja. Ditambah barusan pacarku Fathir karena belum aku putus, menelponku. Karena dia belum tau tentang lamaran ini, dia tampak seperti biasanya, menanyakan kabarku, dia masih mesra, masih sayang, dan jujur saja aku juga masih sayang kepada Fathir. Dua tahun berpacaran dengannya jelas membuatku tidak begitu mudah untuk memutuskan hubungan dengannya. Padahal aku yakin, kalau ayah tau pasti habis aku dicincangnya. Pacaran tidak ada di kamus hidup ayahku, haram, dan aku paham itu, agamaku juga melarangnya. "Rul? Belum siap nak? Abi ummi nya Anggara udah dibawah tuh. Ayo temui. " kata bunda lembut. "Harus ya bund? " ujarku kolokan, aku mati matian manahan tangis. Jujur aku mau menikah, tapi impianku kan menikah dengan lelaki pilihanku sendiri, setidaknya dengan Fathir. Tapi sempat kemarin aku singgung, mau gak menikah denganku. Dia jawab mau, tapi nunggu dia selesai kuliah dan bekerja dulu. Itukan lama, ayah pasti tidak suka. Kalau mau ya nikah, kalau gak jangan pacaran. Itu kata ayah. Maju mundur aku kena. "Ya harus dong sayang. Ayo jangan gitu ah. Jangan nunggu ayah kamu marah Rul. " "Iya ya bund. Sama sama, jangan tinggalin. " "Iya, ayo. Gak baik membuat tamu menunggu lebih lama. " Dan akupun wajib mengikuti langkah bunda. Apapun yang terjadi pikir nanti saja. Daripada melihat murka sang ayah. Fathir, maaf ya. Aku berkhianat atas cinta kita. Bathinku gerimis. Boleh dong sedih, aku juga manusia biasa, ??? . Saat sudah sampai di ruang tamu, untuk pertama kali aku melihat calon mertuaku, aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru, cuma ada ayah dan satu lelaki sudah tua seusia ayah. Apakah dia calonku? Tua sekali. ? Tetap aku paksakan senyum yang entah, hambar atau manis. Masa bodoh lah. "Nah, ini Nurul Nas." "Calon mantuku cantik sekali. " kata orang yang aku pikir calonku tadi. Apa? Dia sebut calon mantu. Alhamdulillah, dia abi nya cowok tu. "Ayo salam sama abi dan ummi Rul. " titah bunda seketika. Yang aku patuhi daritadi. Bersalaman dan mencium tangannya dengan takzim. Tanpa diduga Ummi dan kedua cewek yang lain memelukku dengan bahagia. Akhirnya aku paham, yang ikut kerumah, abi, ummi, kak Aisya, dan kak almira. Itupun baru aku tau namanya barusan. Setelah aku amati, ummi calon ibu mertuaku sangat cantik walau usianya tidak muda lagi, wajahnya sangat lembut, sebelas duabelas lah dengan bundaku. Saat melihat abi, walau terlihat keras raut wajahnya, tetapi tetap ada bekas ketampanan disana. Apalagi kak Aisya dan kak Almira, kalau aku cowok aku pastikan aku akan naksir pada kakak-kakaknya Anggara ini. Hhmmmm. Kalau keluarga mereka tidak ada yang jelek apakah mungkin anak bungsu mereka terlahir jelek sendiri, eh, tunggu dimana itu cowok, kenapa tidak hadir di acara dia sendiri. Dasar cowok tua yang labil! "Nak Rul lagi mencari Anggara ya? " Calon umiku seketika bertanya, mungkin aku kelihatan mencolok sekali waktu sedang memperhatikan mereka satu persatu. Aku hanya bisa senyum kecut, ketahuan seperti maling kepergok saat berusaha mencuri ayam. "Tenang nak Rul. Anggara sedang ada kerjaan di luar kota. Jadwalnya sudah dibikin jauh hari, dan gak bisa diwakilkan. Besok mungkin sudah pulang. " abi ikut bersuara, aku akui keluarga mereka sangat wellcome padaku. Bisa dikatakan aku sangat beruntung. "Dek Rul. Ini ada pesan dari Angga, karena dia gak bisa datang sendiri jadi dia minta kami untuk mewakili untuk menyerahkan ini. " kak Almira menghampiriku, ada sekotak seperti kado, ia serahkan padaku. Aku yang masih seperti orang linglung hanya bisa menerima kado itu. "Ummi kasihtau, itu gaun gamis, dibeli sama Angga waktu dia umroh bulan lalu, kami hanya heran, kenapa dia beli gaun itu, setiap kami menyuruhnya untuk membawa calon kepada kami, Angga gak pernah bisa membawanya ke rumah. Kami juga gak paham kenapa sampai usia yang sangat kadaluarsa ini dia belum mencari pendamping sendiri. Nah, waktu kami menawarkan perjodohan ini, gak tau kenapa dia langsung setuju. Mungkin dia langsung sreg waktu pertama kali lihat foto kamu nak. " kata calon umiku panjang lebar. Walau masih kurang mengerti, aku anggukan kepala untuk menghormati nya. Wait! Apa dia udah lihat fotoku? Wah, tidak adil ini, aku saja belum paham yang mana muka dia. Seperti makan tanpa garam kalau begini, mau menikah tidak tau wujud calon suamiku. "Makasih ummi. " "Makasihnya sama Anggara dek. " tampak kak Aisya berusaha menggoda ku. Hhmmm, mereka sepertinya cuma tau kalau aku sudah ikhlas dengan perjodohan ini. Padahal aku masih dilema. Wajah Fathir saja masih sangat menguasai alam fikiranku. Setelah acara mengobrol, kami pindah ke meja makan. Aku melihat mereka sangat akrab dan bahagia sekali. Kira-kira aku dan Anggara akankah bisa seperti mereka itu? Bahagia tanpa beban? *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD