2. BERONDONG

1690 Words
Ketika kembali dari toko kuenya, Giana tidak langsung membawa mobilnya masuk ke dalam garase dan memilih untuk memarkirkan di depan rumah. Lantas ia berjalan mendekati pintu gerbang rumah Eva untuk membawakan cake potong yang ia ambil dari toko kuenya. Meskipun tidak sesuai pesanan, setidaknya ia punya rasa tanggung jawab untuk mengganti rugi apa yang sudah ia lakukan pada cake pesanan Eva, walaupun ini buka sepenuhnya salahnya. “Sepi lagi, kan?” Keluh Giana ketika memencet bel pintu namun tidak kunjung mendapat respon. “Tapi ada dua mobil berarti ada orang dong. Kalau aku masuk yang ada malah diserang sama anabul yang tadi.” Namun setelah berpikir sejenak, Giana memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Kali ini ia akan lebih waspada dan Brody pasti tidak akan menyerangnya kembali. “Paling udah dikandangin, jadi kayaknya aman.” Giana kembali melangkah dengan hati-hati. Bahkan ia masih bisa melihat sisa cake yang tadi ia jatuhkan. “Tante Eva, saya Giana..” teriak Giana. “Pintunya terbuka, tapi orangnya nggak yang muncul, jangan..jangan?” Muncul praduga di pikiran Giana. Saat perasaan tidak enak menghampiri Giana mempercepat langkah menuju pintu rumah Eva. Yang ada di pikirannya adalah rumah tersebut kemalingan. “Masa sih siang bolong ada maling? Kalau iya, nyalinya luar biasa sekali maling itu,” gumamnya. Saat sampai di depan pintu, Giana mengintip ke dalam untuk melihat apakah ada orang atau tidak. Dan seketika matanya membola saat melihat adegan di sofa ruang tamu. Erlan sedang b******u dengan seorang wanita. Keduanya sangat b*******h hingga tidak sadar ada Giana yang begitu kesulitan untuk menelan ludah menyaksikan adegan liar tersebut. Di sela-sela ciuman panas yang dilakukan Erlan, pria itu melirik Giana yang kini tengah berdiri kaku. Pria itu terlihat menarik sudut bibirnya karena Giana terlihat begitu polos. Adegan yang cukup membuat Giana gerah akhirnya berhenti. Erlan menghapus bibirnya yang basah akibat bertukar saliva dengan seorang wanita. “Mau sampai kapan kamu berdiri di sana dan menonton kami berdua?” tanya Erlan sambil memasang kembali kancing kemejanya lalu berjalan ke arah Giana. “Sory, aku pikir rumahnya kosong karena sejak tadi aku manggil tapi tidak ada jawaban. Lihat pintu terbuka aku jadi khawatir ada maling tapi ternyata…” nyali Giana ciut begitu tubuh Erlan menjulang tinggi di hadapannya. “Ternyata kamu menonton adegan yang bikin tubuh kamu panas dingin?” Bisik Erlan dengan nada menggoda. Giana bergidig ngeri, napas pria itu begitu lembut menyapu kulit telinganya. “Apaan sih? Kalau mau m***m pintunya di tutup biar orang nggak salah paham.” “Sayang, aku pulang yah,” ucap wanita yang b******u dengan Erlan. “Oke, uangnya aku transfer ya,” sahut Erlan santai. “Thank beb,” wanita itu memberi Erlan kecupan di bibir. Giana memalingkan wajah melihat hal yang sudah menodai matanya yang suci, “Dasar tetangga menyebalkan. Apa nggak tahu adat, mesra-mesraan di hadapan aku yang jomblo ini?” maki Giana dalam hati. Ternyata dugaannya salah, pria ini bukan pria pendiam, tapi seorang pria yang suka bermain dengan wanita. Setelah wanita itu pergi kini hanya tersisa Giana dan Erlan. Giana nampak canggung sekaligus kesal sedangkan Erlan terlihat sangat santai. “Mau apa ke sini? Ketemu Brody?” Giana menyerahkan box yang ia bawa, “Nih, aku mau kasih ini buat Tante Eva sebagai ganti rugi cake yang rusak tadi pagi.” Erlan menerima box itu, “Kan Mamaku udah bilang jangan diganti.” “Iya bukan berarti aku lepas tanggung jawab, tetap aku gantilah.” “Tapi kan bukan salah kamu, tapi salah Brody yang ngerusak cake-nya. Bikin muka kamu penuh sama cream cake.” Erlan tertawa kecil mengingat apa yang menimpa Giana tadi pagi. “Udah jangan dibahas lagi. Aku mau nyerahin ini dan kamu udah terima. Sekarang aku pergi,” Giana berbalik badan, siap pergi dari rumah Erlan. Tidak baik berlama-lama dengan pria yang baru ia kenal. Dengan cepat Erlan menarik tangan Giana agar wanita itu tidak pergi. Giana berbalik menatap Erlan dengan terkejut dan bingung, “Mau apa kamu?” “Nggak usah ngegas deh. Aku cuma mau ngajak kamu minum teh, anggap sebagai perkenalan tetangga baru.” “Tadi kan udah perkenalan, apa yang mau kamu perkenalkan lagi?” “Kenapa sih baru kenal aja kamu udah jutek banget? Ada masalah sama aku?” “Nggak kok, aku biasa aja.” “Jangan bilang ini ada hubungannya sama apa yang kamu lihat barusan?” Tanya Erlan dengan tatapan menyelidik. “Apaan sih, nggak ada hubungannya,” Giana hanya tidak mau terlalu akrab dengan orang yang baru ia kenal. “Iya udah, ayo....” “Ayo apa?” Erlan membungkukkan sedikit tubuhnya ke arah Giana. Giana menarik tubuhnya sedikit ke belakang karena tidak siap dengan jarak yang begitu dekat dengan Erlan. “Katanya tadi mau ngajak minum teh,” gerutu Giana. Erlan mengangguk sambil tersenyum, “Oh iya, aku kira yang lain.” “Ck. Awas macam-macam ya.” “Ya udah tunggu di ruang tamu. Aku buatin kamu teh yang enak.” “Perasaan rasa teh sama aja,” gumam Giana sambil berjalan menuju sofa. Tiba-tiba matanya menatap jijik pada sofa yang ia ingat sebagai tempat Erlan b******u. Erlan menyadari sikap Giana, “Jangan dibayangin terus, bahaya Giana.” Giana memutar bola matanya, “Apaan sih, nyesel banget ke sini. Ternyata anaknya Tante Eva meesum parah. Lama-lama bahaya kalau gini nih, harus cepet pergi.” Erlan datang dengan membawa dua cangkir teh yang ternyata aromanya sangat enak. Ia meletakkan dekat Giana, “Kamu mikir aku ini m***m?” “Apa cowok ini punya indera ke enam bisa baca pikiranku?” Batin Giana. “Kamu mikir aku punya kekuatan baca pikiran?” tanya Erlan. “Kok kamu bikin aku takut sih?” Erlan tergelak sambil duduk di sofa single, bersebelahan dengan Giana duduk. “Nggak perlu punya indera keenam buat nebak apa yang kamu pikirkan. Tenang saja, aku ini jinak nggak sembarangan nyentuh perempuan. Apalagi aku baru kenal kamu yang sikapnya sedikit pemarah.” “Siapa juga yang mau disentuh sama kamu.” Giana mengambil cangkir berisi teh tanpa menunggu ditawari oleh pria bernama lengkap Erlan Permana Leksono. Erlan hanya tersenyum melihat tingkah Giana yang jauh dari sikap manis dan lembut seperti wanita yang selama ini ia kenal dan dekati. Giana sosok cantik yang baru beberapa jam Erlan kenal dengan cara yang ajaib. Menjadi tetangganya yang mungkin akan bisa Erlan temui setiap hari. Wanita yang seketika membuat Erlan penasaran setangguh apa Giana hingga bisa tidak sadar dengan pesona dirinya yang selama ini digilai oleh para wanita. “Enak?” Tanya Erlan begitu melihat Giana selesai menyesap teh buatannya. “Ini teh apa?” “Mate tea.” “Apaan tuh?” “Sesuai namanya, Mate Tea berasal dari ekstrak daun pohon Mate. Tumbuhnya di hutan hujan di Amerika Selatan seperti Argentina, Peru, Brazil, dan sekitarnya. Katanya selain memiliki cita rasa yang enak dan unik, Mate Tea jga berkhasiat untuk meningkatkan vitalitas tubuh dan relaksasi otot jadi bagus untuk rileksasi.” Giana terdiam dengan mulut terbuka mendengar penjelasan Erlan. Baru kali ini ia tahu soal jenis teh seperti ini. Ia cuma tahu chamomile atau jasmine tea dan yang paling terkenal adalah green tea. “Kenapa bengong?” “Kamu penyuka teh ya? Sampai tahu sedetail itu.” Erlan mengangguk, “Yup, buka hanya teh, apapun yang aku suka pasti aku cari tahu sampai sedetail-detailnya.” “Oh, begitu,” Giana kembali menyesap bibir cangkir sambil mengalihkan rasa canggungnya yang ditatap lekat oleh Erlan. “Ganteng juga nih cowok.” Batin Giana. “Kamu punya toko kue?” “Yup bentul sekali.” “Belajar di sekolah atau otodidak?” “Kursus dan belajar dari Mami. Dulu Mami jual kue tapi di rumah aja, ada pesanan yang dibuatin. Karena aku lulus kuliah nggak nemu pekerjaan yang pas jadi aku mutusin buat buka toko kue kecil-kecilan.” “Dan sekarang sudah besar dan terkenal? Mamaku bilang kalau kamu suka nerima pesanan wedding cake?” “Iya, itu juga nggak sengaja sih. Karyawanku upload di sosial media dan dari sana dikenal banyak orang. Beberapa WO menghubungi aku buat ngajak kerja sama tapi aku nggak mau.” “Kenapa?” “Aku nggak mau terikat dengan satu perusahaan. Aku juga mau bikinin cake untuk pengantin yang tidak menggunakan jasa WO. Soalnya rata-rata mereka ngajuin kontrak yang melarang aku menerima pesanan wedding cake untuk orang lain.” “Dewasa juga pemikiran kamu.” “Bukan pemikiranku saja, tapi aku memang sudah dewasa.” “Sepertinya umur kamu lebih tua ya daripada aku?” “Uhukk,,” Giana tersedak teh yan ia minum. “Astaga, ditanya begitu aja batuk.” Erlan mengambi tisu untuk Giana. “Thank,” jawabnya. “Umur kamu berapa?” Erlan seakan tidak peduli adat jika menanyakan umur seseorang hal yang kurang sopan apalagi yang ia tanya adalah seorang wanita. “Penting?” “Cuma mau tahu.” “Umurku 27 tahun,” jawab Giana santai. “Aku 25 tahun.” “Nggak nanya.” “Aku mau kasih tahu. Dan aku ternyata brondong.” “Terus kenapa?” “Nggak apa-apa, seru kali punya teman dekat umurnya lebih tua,” jawab Erlan santai. “Kamu udah punya pacar? Calon suami mungkin.” “Kenapa sih kamu nanya hal yang pribadi banget sama orang yang baru dikenal?” protes Giana. “Ya ampun kamu ini primitif banget sih. Hal kayak gini wajar kali ditanyain.” “Ck, lama-lama ngobrol sama kamu bikin aku naik darah.” Giana mulai gerah dengan topik pembahasan Erlan yang menurutnya tidak penting. Hari pertama kenal, Giana terlalu banyak bicara dengan pria yang merupakan tetangga barunya yang menyebalkan. “Aku balik ya, thank teh…” “Mate Tea.” “Nah itu dia, salam sama Tante Eva,” Giana beranjak dari duduknya dan siap meninggalkan ruang tamu tersebut. “Giana?” “Hhhmm?” “Pasti menyenangkan punya tetangga seperti kamu,” ucap Erlan dengan senyum yang membuat Giana merinding. Cepat-cepat Giana keluar dari rumah Erlan karena sikap pria itu membuatnya takut. “Gila, jangan bilang dia punya niat buruk sama aku. Kayak di film-film itu, tetangga baru ternyata psikopat terus ngincer aku buat jadi mangsa.” Pikir Giana ngeri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD