Tale 76

2009 Words
Sampai di sekolah, teman teman Jodi hanya memandanginya heran. Banyak yang bahagia karena Jodi yang sebelumnya menghilang setelah memberi sebuah kabar bahwa ia baik-baik saja melalui grup, kemudian tidak ada kabar sama sekali, kini tiba-tiba sudah masuk sekolah kembali. Tapi kebahagiaan mereka seolah seperti tertahan. Karena ... Pagi ini Jodi sangat berbeda dengan biasanya. Bukan Jodi yang ceria dan ramah. Hanya Jodi dengan raut wajah yang dingin. Penampilannya kacau. Jodi terlihat tidak bersemangat. Jodi seperti sedang memendam sebuah masalah besar yang sudah memukulnya terlampau keras. Lagi pula dia memang berbeda pagi ini. Dia pucat sekali, mungkin pengaruh sakitnya sampai masuk rumah sakit kemarin. Tapi jika ia memang masih sakit, lantas kenapa justru memaksakan diri masuk sekolah? Sepanjang yang Jodi lakukan, menjadi pusat perhatian semua orang. Saat ia memasuki area sekolah dengan motornya, sampai ia tiba di parkiran, sampai ia berjalan menelusuri lorong demi lorong menuju ke kelasnya. Namun tak ada yang berani menegurnya. Karena Jodi selalu menunduk, seolah-olah ia memang menghindari orang-orang untuk menyapanya. Baru lah di kelas, ia langsung disambut oleh kedua sahabatnya -- yang sama saja dengan yang lain, telah kehilangan kabar Jodi setelah cowok itu memberi kabar melalui grup dam statusnya. Awalnya Fariz dan Iput tak tahu menahu tentang kondisi Jodi saat ini. Makanya mereka hanya langsung menyambut Jodi seperti biasa. "Wah ... si Jodi tuh!" seru Iput yang melihat Jodi duluan saat cowok itu masuk kelas. Fariz langsung menoleh secara refleks. "Wah ... iya tuh. Si Jodi! Astaga ... woy Jod. Ke mana aja lo dua hari ngilang nggak ada kabar? Eh, kemarin sore kami samperin ke rumah sakit, ternyata kamu udah pulang katanya. Kita mau main ke rumah lo, kita tanya lo beneran di rumah apa nggak, lo malah nggak bales pesan sama sekali. Ditelepon nggak diangkat. Baru semedi apa ngapain sebenernya?" Fariz seperti biasa dengan cerewet langsung menginterogasi Jodi. Baru lah keduanya tercengang setelah melihat Jodi dari arah dekat. "wah kenapa lo, Man! Kacau banget!" sambut Fariz. "Iya. Itu tu,.. kenapa ada lingkaran item gitu di mata lo. Jelek tahu nggak?" tambah Iput. "No comment." Itu jawaban Jodi singkat. Ia masih terlihat kurang bersemangat, tapi ia bisa tersenyum sedikit pada kedua sahabatnya itu. "Jiah. Jual mahal dia, Put." Fariz sedikit menggodanya, tujuannya ingin mencairkan suasana. Syukur lah, Iput menangkap sinyal itu dari Fariz. Sehingga ia bisa menimpali ucapan Fariz. "Iya, Man! Jiah, mana diem aja lagi. Apa ini pertanda dunia mau kiamat betulan kali ya?" Haha, mereka berdua tertawa bersama. Tapi Jodi, tetap diam mematung, dan kembali tanpa ekspresi. Fariz dan Iput langsung menghentikan Joke-nya karena tahu bahwa sahabatnya memang benar-benar tidak bisa diganggu. Akhirnya mereka kembali mengerjakan tugas LKS geografi yang belum sempat dkerjakan karena terlalu sibuk kelayaban. Mereka membiarkan Jodi duduk di bangkunya. Mereka pikir, Jodi akan sibuk mencari contekan karena juga belum mengerjakan tugas seperti mereka. Tapi yang terjadi, Jodi hanya diam tak berkutik. Sampai Fariz dan Iput kebingungan, sebenarnya di hadapan mereka ini, benar-benar Jodi atau bukan? Selesai mengerjakan tugas, Fariz dan Iput pun berusaha memutar otak, untuk kembali mencoba mencairkan suasana. "Eh, Jod! Kemarin kapan lo pulang dari Rumah Sakit? Gue sama Iput jenguk ke sana, lo-nya udah nggak ada." Fariz mencoba mengangkat tema itu, berharap Jodi kali ini akan menimpali. Semoga saja. Lagi-lagi Iput menaggapi sinyal Fariz dengan baik. "Iya, iya. Mengecewakan! Padahal udah kita bela-belain beliin lo bunga mahal!" Fariz dan Iput menunggu, berharap Jodi akan menjawab. Jodi menatap mereka, dan syukur lah ... impian mereka tercapai. Karena ... Jodi akhirnya menanggapi mereka dengan sedikit benar. "Jiah, kurang ajar! Lo pikir gue udah mati apa pake bawa bunga!" Betapa bahagianya Iput dan Fariz mendapatkan tanggapan seperti itu dari Jodi. Berharap Jodi bisa segera mencair. Atau mungkin dia malah bersedia mengungkapkan isi hatinya, apa yang membuatnya terlihat begitu kacau pagi ini. Tapi tentu saja, Fariz dan Iput tidak akan memaksanya untuk bercerita jika Jodi memang tidak mau. "Ya, bunga itu kan kaya souvenir gitu. Lagian bukan cuman bunga doang kok. Kita juga bawa buah. Tapi karena lo-nya nggak ada. Ya terpaksa gue makan!" Iput senyum sok Imut. "Gue kemarin Siang pulangnya. Ya emang nggak mau ngabarin siapa-siapa. Hp aja nggak gue tengok sama sekali." Fariz dan Iput saling memandang. Semakin bingung dengan keanehan tingkah laku Jodi. Bel masuk berbunyi. Upacara rutin hari senin dimulai. Semuanya berbondong-bondong menuju lapangan untuk segera berbaris sebelum Pak Irwan dan guru tatib lain datang untuk memukul p****t mereka satu per satu agar mereka segera cepat berbaris. "Lo nggak ikut upacara?" tanya Fariz. "Ya nggak lah, Riz. Lo nggak lihat, si Jodi kan masih sakit." Iput buru-buru menjawab pertanyaan aneh Fariz. Sudah jelas Jodi masih pucat begitu. Malah ditanyai ikut upacara atau tidak. Jodi terdiam. Iput langsung bisa menebak jika ia memang masih sakit. Apa sebegitu kentara? Apa wajahnya memang sebegitu pucat? "Nggak. Kalian buruan baris. Keburu para monster dateng." Jodi akhirnya menjawab kembali. Ia sebut pada guru tata tertib sebagai monster. Karena galaknya mereka memang sangat mirip monster. Benar. Tak lama kemudian Pak Irwan mulai terlihat dari kejauhan. Fariz dan Iput langsung meninggalkan Jodi dengan hanya menatapnya dengan penuh Tanya.  Saat melewati XI-IPS-5, Pak Irwan menatap Jodi tajam. Jodi juga menatapnya dengan tatapan kosong nan misterius. Tak jelas apa artinya. Dan tidak tahu kenapa juga, kali ini Pak Irwan tidak memukul pantatnya untuk segera mengambil barisan. Melainkan menutup pintu kelas itu agar guru tatib lain mengira bahwa kelas ini sudah kosong. *** Sepanjang hari ini. Tidak ada sinar di wajah Jodi. Ayla yang dari tadi memandangnya hanya diberi senyuman seperti yang dilakukan Jodi Sabtu kemarin. Tidak seperti biasanya yang digodain sampai blushing seperti tomat. Ayla jadi bingung dengan Jodi. Ada apa sama dia ya? Hal itu terus berlanjut sampai siang hari. Keadaan Jodi justru bertambah kacau. Fariz dan Iput berusaha untuk bertanya apa yang terjadi. Tapi Jodi hanya menjawab, tidak ada apa-apa.  Membuat Fariz dan Iput, juga Ayla, dan semua orang yang peduli pada Jodi, semakin dibuat bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. *** Pulang Sekolah, "Jod, lo kita anter pulang aja ya?" tawar iput. "nggak usah. Makasih." "tapi lo pucet banget Jod. Lo masih sakit, kan?" "iya Jod. Lo yakin kuat naik motor sendiri?" "Gue udah telepon Mr. Baggie buat jemput kok. Kalian duluan aja. Keburu Pak Irwan dateng dan hukum kita bertiga." "nggak apa-apa lah kita dihukum yang penting lo selamat dulu." "lo berdua nggak apa-apa, tapi gue-nya apa-apa." Jodi memandangi sahabatnya satu per satu. Dia tau bahwa mereka sangat peduli padanya. "Udah nggak apa-apa. Kalian pergi aja duluan sana." "Nggak, Jod! Kita bakal temenin lo sampe Mr. Baggie dateng!" kata Fariz lagi. "Setuju!" Air muka Jodi langsung berubah. Di balik wajah pucatnya, ia menyimpan amarah yang begitu besar. "Apa kalian nggak ngerti apa yang gue bilang? Kalau gue bilang pergi, ya kalian pergi! Kenapa kalian masih ngotot di sini?" Suara Jodi begitu tinggi pada Iput dan Fariz. Sungguh, hati Jodi pun juga sakit karena sudah bersikap buruk pada kedua sahabatnya. Padahal mereka sudah begitu peduli padanya. Tapi Jodi juga tidak mau mereka berada di sini, sehingga mereka terancam dihukum oleh Pak Irwan. Jodi juga tidak mau, mereka terus melihat Jodi yang begitu lemah. Fariz dan Iput tentu saja terkejut akan reaksi tak terduga dari Jodi itu. Tapi lagi-lagi, mereka sama sekali tak bisa marah. Justru semakin ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun sadar, mereka tidak akan bisa mendapatkan jawaban yang mereka inginkan sekarang. "Ya udah. Kalau gitu kita pulang duluan ya, Jod! Jangan ragu buat telepon kita kalo ada apa-apa." Fariz menepuk-nepuk pundaknya. Jodi hanya menjawabnya dengan anggukan. Membiarkan Iput dan Fariz berlalu, dengan segenap rasa bersalah dalam hatinya. *** Pak Irwan keliling sekolah untuk memastikan apakah semua murid sudah pulang. Bukan apa-apa. Hanya untuk menegakkan hukum di sekolah yang baru saja diperbaharui. Khusus untuk hari senin, Setelah bel pulang, tak ada lagi murid yang tertinggal di sekolah setelah setengah jam. Kecuali yang ikut ekskul. Pak Irwan bernafas lega. Setelah berjalan separuh jalan, dia tak menemukan satupun anak nakal yang melanggar peraturan. Anak-anak sudah mulai bisa diatur untuk menjadi lebih tertib.  Sampai akhirnya Pak Irwan kembali geram karena menemukan satu sepeda motor nyentrik di antara motor-motor milik anak yang sedang ikut ekskul. Sudah bisa dipastikan siapa pemiliknya. Karena hanya ada satu anak di sekolah ini yang memakai harley Davidson untuk sekolah.  Iya. Siapa lagi kalau bukan Jodi. Anak itu kan ikut ekskul Sepak Bola. Dan sepak bolak jadwalnya bukan hari ini. Melainkan hari rabu. Pak Irwan geram, tapi semangat. Geram karena Jodi tidak tertib, dan semangat karena bisa mengerjai bulan-bulanannya itu lagi. Atau tepatnya lagi dan lagi. Apalagi Jodi punya satu hutang panggilan Pak Irwan yang belum terpenuhi karena insiden sabtu kemarin. Pak Irwan bergegas menuju kantin. Tak ada seorang pun di sana. Taman juga sudah kosong. Begitu pula dengan ruang musik. Lapangan juga kosong. Sempat terbesit di pikiran pak irwan untuk mencari di kelas, tapi tidak mungkin. Apa yang dilakukan murid di kelas? Apa asiknya nongkrong di kelas? Tapi tidak ada salahnya mencari di sana. Langkah pak Irwan semakin cepat. Kelas XI-IPS-5 tepat lurus di hadapannya dengan jarak sekitar 100 m. Jret. Pintu terbuka. Benar, ada orang di sana.  Orang itu sama sekali tak bereaksi dengan suara pintu yang didobrak oleh Pak Irwan tadi. Kepalanya dibaringkan di meja. Berbantal kedua lengannya.  "JODI!" teriak Pak Irwan. Tak ada tanggapan. "JODI!" teriak Pak Irwan lagi. Tak tahan karena yang dipanggil tak segera menyahut, Pak Irwan mendekati Jodi. "Ngapain kamu masih di sini?" *** Jodi mengangkat kepalanya pelan. Pak Irwan tersentak melihat wajah Jodi yang pucat pasi. Seperti mayat hidup. Atau bisa dibilang wajahnya itu seperti zombie. Dia juga terlihat lesu sekali, tidak berdaya. "Kamu ini kenapa, ha? Bapak lihat selama ini kamu semakin kurus dan pucat. Kamu nggak lagi makai kan, Jod?" kata Pak Irwan asal dengan penekanan khusus di akhir kalimat.  Jodi tersentak mendengarnya. Bagaimana Pak Irwan bisa dengan teganya mengatakan itu? Dia ingin sekali menentang perkataan pak Irwan tadi itu. Tapi sekarang ini bukan waktu yang tepat untuk berantem sama si guru konyol. Yang kali ini benar-benar konyol. "Terserah bapak mau ngomong apa," jawab Jodi lirih hampir tak terdengar, sama sekali tak mengimbangi suara 8 oktaf Pak Irwan. Dia segera menyambar tas dan jaketnya. Bergegas menuju parkiran. Jodi benar-benar kesal hingga rasanya tidak mau melihat Pak Irwan lagi. Lebih baik ia pergi. Ia tidak bisa menunggu Mr. Bagie lebih lama, atau ia juga akan lebih lama berurusan dengan Pak Irwan. Deru motor Jodi dengan cepat meninggalkan sekolah. Pak Irwan berusaha mengejar tapi tak bisa. Dia benar-benar geram kali ini. Jodi memang telah benar-benar berubah. Tidak seperti Jodi yang dikenalnya 2 tahun yang lalu.  Pak Irwan mengemasi barang-barangnya di kantor. Bersiap-siap untuk pulang. Tiba- tiba dia dikagetkan dengan munculnya sedan kinclong warna hitam di lapangan. Ada apa ini? Batinnya. Pak Irwan keluar dari kantor dengan telah memakai jaket, dan menenteng tasnya. Seorang laki-laki setengah baya memakai setelan berwarna biru donker. Sepertinya itu seragam. Orang itu memakai name tag bertuliskan Subagio. "Maaf Pak Subagio ya? Ada apa Pak?" tanya Pak Irwan. "Nuwun sewu, Pak! Enggih, saya bagio. Ini Pak Irwan Yo? Saya mencari Mas Iyaz." "Iyaz? Jodi maksudnya?" "Eh, iya, maksud saya Mas Jodi. Tadi telephon minta dijemput." "Oh, dia Baru saja pulang. Ngomong-ngomong, kenapa harus dijemput? Dia tadi membawa motor sendiri." "Tadi Mas Iyaz Telepon rumah. Minta dijemput. Akhir-akhir ini dia memang sedikit kurang sehat, Pak! " Pak Irwan terhenyak. Apa ini ada hubungannya dengan muka zombie Jodi tadi? Jadi wajahnya pucat karena masih sakit? Perasaan khawatir mulai muncul di hati Pak Irwan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Jodi. "Pak, bapak pulang saja! Biar Jodi saya yang urus." "Mboten napa-napa, Pak guru?" "Nggak papa. Saya duluan, Pak! Assalamualaikum!" Pak Irwan bergegas mencari Jodi, karena tidak mau lebih jauh kehilangan jejak. Belum sempat Mr. Baggie menjawab, Pak Irwan sudah pergi. Suara ethek ethek vespanya menyeruak di seantero sekolah. Pak Baggie segera pergi setelahnya. "Waalaikum salam." Vespa 80-an itu ngebut di jalanan. Pak Irwan terus melaju di jalan raya. Hingga sampai di pertigaan, di mana kearah kiri adalah jalan ke rumah Jodi. Banyak sekali blok di sini. Tapi pak irwan tak akan pernah bingung untuk menuju ke sana. Karena dia sudah hafal betul dengan arah jalan menuju kediaman keluarga Aditya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD