Tale 103

2511 Words
Ayla menangis terisak-isak di sana. Jodi menggenggam jemari Ayla semakin erat. "Sekali lagi maafin gue ya, La. Nanti kalau hubungan gue sama Mama Papa udah baik, gue bakal balik. Gue janji." Jodi sebenarnya tidak tega melihat Ayla menangis seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi? Ia memang harus melakukan ini. Ia sadar, mau sampai kapan hubungannya dengan kedua orang tuanya akan terus buruk? Jodi ingin memperbaiki semuanya. Sebenarnya sudah sejak 2 minggu yang lalu, Jodi memiliki rencana ini. Atas nasihat dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Butuh seminggu bagi Jodi untuk memikirkan keputusannya. Dan butuh entah sampai kapan ia akan siap mengatakan ini pada Ayla. Oleh karenanya, siap tak siap, ia harus siap. Ia melakukannya di ujung waktu. Ketika besok adalah hari keberangkatannya. Ayla tentu tidak bisa melarang Jodi untuk melakukan hal ini. Merupakan hal bagus jika Jodi sudah memiliki inisiatif untuk memperbaiki hubungannya dengan Jayadi dan Maharani. Dan sangat lah gentleman, karena Jodi berani melangkah duluan untuk memperbaiki hubungan itu. Bahkan sampai menyusul kedua orang tuanya di Utah. Tapi ... Ayla tetap saja tidak dapat menahan kesedihannya. Siapa yang tidak sedih ketika akan ditinggal sang pujaan hati yang setiap hari dan setiap saat selalu bersama. "Kenapa lo mendadak banget sih perginya, Jod? Kenapa nggak ngomong dari jauh-jauh hari? Setidaknya gue jadi punya waktu buat mempersiapkan diri gue. Mempersiapkan mental gue. Kalau kayak gini ceritanya, gue rasanya sulit banget biarin lo pergi." "Gue ngerti, La. Makanya gue minta maaf. Gue juga nyesel. Gue kesel sama diri gue sendiri yang nggak juga memiliki keberanian buat bilang sama lo. Dan baru bilang hari ini. Gue bener-bener minta maaf." "Terus lo mau berapa lama di sana? Harus sampai kapan gue nunggu?" "Gue juga belum tahu sampai kapan, La. Yang jelas sampai hubungan gue sama mereka membaik. Gue janji akan segera kembali setelah itu." "Lo beneran janji bakal kembali, kan?" "Tentu. Pasti gue balik. Gue minta maaf sekali lagi. Maaf banget. Tolong tungguin gue. Doain semoga hubungan gue sama Papa Mama cepat membaik, jadi gue juga cepet bisa balik." "Gue pegang janji lo, Jod. Harga diri laki-laki itu, ketika dia menepati janjinya atau nggak. Tentu gue akan mendoakan hubungan kalian segera membaik. Lo anak hebat. Lo gentleman, mau bergerak duluan untuk memperbaiki keadaan. Gue salut. Tapi gue harap ke depannya lo bakal jadi laki-laki yang lebih berani. Lo udah bikin banyak orang sedih karena tahu penyakit lo belakangan. Lo juga udah bikin gue sedih karena kasih tahu mau berangkat ke Utah, cuman beberapa jam sebelum keberangkatan lo. Gue harap lo nggak akan ngulangin kesalahan yang sama ke depannya." Jodi hanya mengangguk. Kemudian segera menarik Ayla ke dalam dekapannya, memeluk gadis itu dengan erat. *** Pagi itu keberangkatan Jodi diantarkan oleh gerombolan orang-orang yang menyayanginya. Mbah Jum, Pak Muklas, Mr. Bagie, Pak Irwan, Fariz, Iput, dan Ayla juga pastinya. Bahkan Dayanti juga menyempatkan diri untuk mengantar Jodi menjalankan misi mulia, menjadi anak baik yang melapangkan hatinya yang sebenarnya sudah terlalu muak dikecewakan. Sehingga ia memutuskan untuk memaafkan. Isak tangis mengiringi keberangkatan Jodi. Semuanya terharu. Semuanya sedih. Tapi juga senang, karena sebentar lagi Jodi akan memiliki keluarga yang harmonis sesuai dengan apa yang ia inginkan selama ini. *** Pagi hari di sebuah apartemen, di sebuah kota bernama Salt Lake City. Ibu kota salah satu negara bagian di Amerika Serikat, Utah. Seorang wanita sedang menyesap kopi hitam pahit dalam sebuah cangkir. Tatapannya kosong. Ia begitu merindukan putranya. Namun tak mendapatkan akses untuk menghubungi anaknya sama sekali. Ia sudah menetapkan sebuah rencana. Ia ingin pergi dari apartemen ini hari ini juga. Ia bahkan sudah bekerja sama dengan salah satu asisten di apartemen mewah ini, supaya membantu aksinya melarikan diri. Barang penting yang akan ia bawa sudah tertata rapi. Ia tak terlaku banyak membawa barang, karena itu akan sangat mencurigakan. Ia akan menghabiskan dulu kopinya, lalu ia akan segera membebaskan diri dari kekangan suaminya. Dan mulai menjadi seorang ibu yang baik untuk putranya di Indonesia. Seseorang baru saja mengetuk pintu kamarnya. "Please come in," ucapnya pada seseorang itu. Pintu pun kemudian terbuka. Seorang wanita kaukasoid berambut pirang, mengenakan seragam bernuansa hitam putih, segera masuk. "What's the matter?" tanya Maharani. Wanita bule itu tampak gusar. Karena ia lah yang membantu Maharani untuk kabur. Takut jika di dalam ruangan ini ada kamera tersembunyi atau penyadap, wanita bule bernama Chloe itu segera membisikkan sesuatu yang membuatnya gusar. Setelah mendengar penjelasan Chloe, kedua mata Maharani pun membulat saking terkejutnya. Tak menunggu apa pun lagi, Maharani langsung meletakkan kopinya. Ia beranjak, dan berlari secepat yang ia bisa, keluar kamar, menelusuri lorong demi lorong, dan akhirnya ia sampai di ruang tamu apartemen. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Lebih tepatnya ... seseorang yang ia lihat. Rasanya seperti mimpi, seolah-olah tidak nyata. Ia ... seseorang yang sangat Maharani rindukan. Seseorang yang bahkan membuat Maharani berencana kabur. Seseorang yang begitu berarti bagi Maharani. Yaitu putranya sendiri, Jodi. Putra yang tinggal satu-satunya. Jodi semula sedang duduk di sofa. Tapi begitu menyadari kedatangan ibunya, Jodi pun segera berdiri. Dan ia langsung memberikan senyuman terbaik pada ibunya itu. "Long time no see, Mama," ucap Jodi. Maharani pun tak kuasa untuk menahan dirinya lagi. Ia segera berlari, berhambur mendekati dan memeluk erat putranya itu. "Jodi ... Ya Allah ... Mama kangen sekali, Nak ...." Maharani benar-benar memeluk Jodi dengan berat saking rindunya. Jodi tersenyum senang. "Aku juga, Ma. Aku juga rindu banget sama Mama." Jodi balas memeluk erat ibunya juga. Mereka berpelukan untuk beberapa saat lamanya. Hingga mereka merasa rindunya terpuaskan. Dan berakhir lah pelukan penuh haru itu. "Jodi ... gimana kamu bisa ada di sini, Nak?" tanya Maharani terheran-heran. "Naik pesawat, Ma," jawab Jodi. Ia sengaja sedikit bercanda supaya suasananya menjadi cair. Dan itu berhasil, karena Maharani langsung tertawa karenanya. "Astaga ... kamu ini. Ya iya lah naik pesawat. Masa naik odong-odong!" Maharani menimpali candaan Jodi dengan setimpal. Jodi pun langsung tertawa karena candaan ibunya itu. "Maksud Mama ... kenapa kamu tiba-tiba ke sini, hm? Uhm ... bukannya Mama nggak suka kamu ada di sini. Mama justru seneng banget. Tapi kan nggak biasanya kamu seperti ini. Bahkan dulu kmu selalu menolak jika kami ajak pindah me liat negeri?" Jodi memaklumi rasa ingin tahu ibunya. Toh ia sudah mempersiapkan diri sedemikian rupa. Untuk segala kemungkinan. "Aku rindu aja sama Mama. Sama Papa. Sekaligus ... aku ingin memperbaiki hubungan kita. Supaya layaknya seperti keluarga lain pada umumnya." Jodi menjawab apa adanya, sesuai dengan tujuan kedatangannya. Sekali Lagi, Maharani menangis haru mendengar kata-kata Jodi. "Kamu anak yang baik sayang. Maafkan Mama karena jarang ada di samping kamu, ya." Jodi hanya mengangguk. "Papa mana, Ma?" "Papa sudah berangkat ke kantor, Nak. Nggak apa-apa. Nanti kalau Papa sudah pulang, kalian bisa bertemu juga, kan. Uhm ... Mama sebenarnya punya sebuah cerita yang menarik. Apa kamu ingin dengar?" "Wah ... cerita menarik apa itu, Ma?" "Ayo, akan Mama ceritakan sembari menemani kamu makan. Kamu pasti sangat lapar kan habis perjalanan jauh?" Jodi langsung mengangguk. "Baik lah, kalau begitu. Let's go!" Maharani langsung menggandeng Jodi menuju ke dapur. "Kamu duduk di sini aja ya." Maharani menggeser salah satu kursi yang mengitari meja makan. "Lho ... aku bantuin Mama aja siapin makanan." "Jangan lah. Kamu pasti capek. Biar Mama aja. Serahkan semuanya pada Mama." "Oke, baik lah." Jodi pun akhirnya setuju untuk menjadi penonton saja. Seingat Jodi, seumur hidup ia belum pernah dimasakkan oleh Maharani. Dan ini akan jadi pengalaman pertamanya. Atau dulu saat masih kecil pernah, tapi Jodi lupa saking sudah lamanya. Maharani mengambil 1 kg daging beef short plate dari dalam kulkas. Ia juga mengambil beberapa buah cabai rawit, bawang putih, dan juga bawang Bombay di dalam kulkas juga. "Mama mau masak apa?" tanya Jodi yang penasaran dengan masakan apa yang akan ibunya hidangkan. "You'll see. Yang jelas ini akan sangat enak. Selama di sini, Mama yakin kamu akan menggendut. Kamu terlalu kurus sekarang, Sayang. Kenapa kamu kehilangan begitu banyak berat badan, hm?" Jodi hanya tersenyum. Apakah ia harus memberi tahu Maharani sekarang? Tapi ...sepertinya terlalu awal jika ia beri tahu sekarang. Jodi pun mengurungkan niatnya. Sebentar. Ia harus lebih bersabar. Dan pandai membaca suasana. Jodi lanjut melihat ibunya memasak. Maharani menumis bawang putih dan bawang bombai dengan sedikit minyak. Wangi harum pun segera tercium. Ia kemudian memasukkan satu kilo daging beef short plate. Dan juga irisan cabai rawit. "Kamu suka pedas biasa aja, apa pedas banget, Sayang?" tanya Maharani. "Uhm ... pedas biasa aja, Ma," jawab Jodi. Seketika ia langsung teringat Ayla yang hobi makan pedas. Ia belum memberi tahu Ayla dan yang lain bahwa ia sudah sampai tujuan dengan selamat. Jodi pun langsung merogoh ponselnya. Dan mengetik kan pesan pada Ayla. Kemudian ia forward pada yang lain. Jodi pun lanjut memperhatikan ibunya. Aroma masakan itu semakin menggoda saja. Wangi sekali. Maharani menambahkan air setelah mengaduk beberapa saat. Ia tambahkan saos tiram, kecap manis, garam secukupnya, sedikit kaldu bubuk, dan sedikit gula. Maharani kemudian mencoba masakannya itu. "Hm ... masakan seperti ini memang yang terbaik, sih. Tidak terlalu banyak bumbu. Tidak terlalu lama masaknya. Tapi jadinya super enak." Jodi lagi-lagi tersenyum. "Seenak apa, sih? Aku jadi nggak sabar mau makan." "Tenang, Sayang. Ini udah siap, kok." Maharani mematikan kompornya. Ia memindahkan masakan itu dadi wajan ke dalam sebuah wadah. Ia juga mengambilkan sepiring nasi untuk putranya sekalian. Ia hidangkan semuanya di meja makan. Melihat hanya ada satu porsi nasi, Jodi langsung mengernyit. "Lho, Mama nggak makan?" Maharani menggeleng. "Mama tadi sudah makan, Sayang." "Yah ... padahal aku pengin banget makan bareng sama Mama." Jodi mengeluarkan jurus merajuk. "Pasti rasanya akan lebih enak jika makan bersama dengan Mama." Melihat putranya seperti itu, Maharani pun langsung luluh. "Oke deh oke. Mama makan lagi. Dikit aja tapi, ya. Kalau banyak-banyak nanti Mama jadi gendut. Padahal kamu yang butuh penggemukan." Jodi pun tertawa. Senang karena berhasil membujuk ibunya supaya mau makan. Mereka kini duduk berhadapan dengan nasi masing-masing. Lauk ada tepat di tengah, sehingga keduanya akan lebih mudah mengambil. Mereka membaca doa dulu sebelum makan. Dan Jodi mulai mencoba masakan ibunya itu. Rasanya benar-benar sudah tak sabar. Jodi mengambil daging dengan sumpit. Dan langsung mencobanya saat itu jiga. Jodi pun langsung tersihir dengan kenikmatan masakan itu. Padahal hanya bumbu biasa saja. Tapi rasanya bisa benar-benar sangat enak. Memang benar ya kata orang. Masakan yang dibuat oleh ibu, selalu memiliki cita rasa yang spesial. Jodi tak ragu untuk mengambil banyak-banyak ke dalam mangkuknya. Dan ia mulai makan dengan sangat lahap. Maharani tersenyum senang melihat anaknya makan dengan baik. Ia pun mulai makan juga, menemani putranya supaya lebih semangat makan. Selesai makan, Jodi langsung meletakkan mangkuknya di meja. Maharani pun juga sudah selesai makan. Karena porsi nasinya lebih sedikit. "Alhamdulillah, kenyang. Makasih atas makanannya, Mama." "Sama-sama, Sayang." "Uhm ... jadi gimana ceritanya, Ma? Mama bilang tadi mau kasih tahu aku sebuah cerita yang menarik?" Maharani tersenyum penuh arti. "Iya, Sayang. Mama nggak nyangka, meskipun jauh, tapi posisi kita sebagai ibu dan anak, ternyata memilik chemistry yang sangat kuat." "Maksudnya?" "Jadi ... sebenarnya hari ini Mama juga berencana untuk pergi dari apartemen ini. Kenapa? Karena Mama sudah sangat rindu sama kamu. Terlebih Mama sangat khawatir. Karena terakhir kali kita berjumpa, saat Mama dan Papa pamit, kamu sedang sakit. Mama sangat ingin tahu bagaimana perkembangan kondisi kamu. Tapi Papa melarang Mama. Karena mau kamu mandiri. Mama sudah nggak tahan. Nggak ada ibu yang tahan menanggung rindu pada anaknya. Akhirnya keputusan Mama sudah bulat. Mama bahkan sudah membereskan barang-barang. Tinggal pergi saja. Dan kamu tiba-tiba datang. Betapa senangnya hati Mama. Terlebih Mama lihat kamu sudah sehat. Meskipun kurusan. Kamu harus makan dengan baik, supaya berat badan kamu naik jadi ideal." Jodi tertegun mendengar cerita Maharani. Bisa-bisanya mereka memang sehati. Ternyata Maharani juga nyaris kabur. Untung Jodi tidak terlambat datang. Jika terlambat, pasti mereka tidak akan bertemu. Karena Maharani pasti sudah berangkat. Jodi kembali teringat dengan penyakitnya. Salah satu tujuannya ke sini, selain untuk memperbaiki hubungan dengan kedua orang tuanya -- terutama ayahnya, juga untuk memberi tahu mereka tentang leukemia yang ia idap. Jodi hanya tak mau kedua orang tuanya terlalu sedih dan menyesal ketika sesuatu yang buruk terjadi padanya. Takdir manusia tak ada yang tahu, kan. Makanya Jodi memutuskan untuk segera member tahu mereka saja dengan pergi menyusul mereka ke Amerika. Mendengar cerita sedih dari Maharani, rasanya tidak adil jika Jodi jadi memberi tahukan tentang penyakitnya setelah makan sekarang. Sepertinya tidak sekarang. Nanti saja, ketika ayahnya sudah pulang. Jadi Jodi bisa memberi tahu mereka sekaligus. Tidak perlu memberi tahu sendiri-sendiri. Iya, baik lah. Begitu saja. "Jadi sekarang Mama nggak jadi pergi, nih?" goda Jodi. Maharani pun tersenyum malu, lalu menggeleng. "Nggak lah, Sayang. Mau pergi ke mana. Sementara tujuan Mama ternyata sudah menyusul ke sini duluan." Mereka kemudian tertawa bersama setelahnya. "Uhm ... selagi Chloe menyiapkan kamar untuk kamu, gimana kalau kita jalan-jalan dulu aja? Deket-deket sini aja." Jodi langsung mengangguk. "Boleh, dengan senang hati, Ma." Mereka pun kemudian segera berangkat dengan bergandengan tangan. Mereka bahagia sekali. Teramat sangat bahagia. Ada sebuah pusat perbelanjaan yang tadi jauh dari apartemen itu. Mereka segera masuk ke sana, membeli es krim, dan membeli cemilan lain yang beragam. Mereka menghabiskan waktu bersama, tak lupa mengabadikan momen. Bisa dikatakan, ini adalah quality time pertama mereka sebagai sepasang ibu dan anak, setelah belasan tahun lamanya. Lelah berputar-putar, mereka segera duduk pada bangku yang tersedia. "Wah ... kamu tahu caranya bersenang-senang, Sayang!" puji Maharani. "Mama jadi curiga. Jangan-jangan kamu udah punya pacar, nih. Nggak mungkin kamu belum punya pacar. Cara kamu gandeng Mama ... kelihatan banget kalau kamu udah terbiasa gandeng cewek!" Jodi pun langsung tertawa. Pikirannya langsung dipenuhi oleh Ayla. Meskipun tidak ada status di antara mereka. Tapi kan hubungan mereka memang menjurus pada hal seperti itu. "Nanti kalau Mama pulang ke Indonesia, bakal aku kenalin deh." Jodi berkata dengan malu-malu. "Wah ... iya, kan? Beneran. Kamu ternyata memang sudah punya pacar. Alhamdulillah, anak Mama sudah besar. Uhm ... Mama penasaran nih. Kayak gimana sih sosok wanita yang sudah mencuri hati anakku ini? Sebelum ketemu aslinya nanti, apa Mama boleh lihat fotonya dulu?" Jodi mengangguk. "Tentu saha boleh." Jodi langsung membuka galeri ponselnya. Lalu memberikan ponsel itu pada ibunya. Maharani sangat antusias, ingin segera melihat wajah pacar anaknya. "Wow ... kalian sudah banyak menghabiskan waktu bersama. Ah ... Mama jadi iri rasanya. Teringat masa muda Mama dengan Papa dulu. Tapi, dulu Papa kamu terlalu sibuk. Kami jarang kencan seperti ini. Eh, sekarang malah lebih sibuk lagi. Ngomong-ngomong, cantik banget pacar kamu, ya. Kelihatan anaknya sopan. Mana pakaiannya tertutup. Kamu beruntung bisa meluluhkan hatinya." Jodi mengangguk setuju. "Dia memang cewek yang baik, dan sabar menghadapi aku." Jodi memuji Ayla dengan tulus. Padahal Jodi sudah banyak menorehkan luka, karena sudah berkali-kali menyampaikan sebuah berita mengejutkan di saat terakhir. "Cie ... anak Mama beneran udah gede. Astaga ... kamu jangan kecewain dia, ya, Sayang. Hati wanita itu rapuh. Sekali disakiti, dia akan ingat terus rasa sakitnya seumur hidup." Jodi mengangguk mengerti. Seketika ia teringat dengan penyakitnya. Bagaimana jika sesuatu yang buruk nanti terjadi? Pati Ayla akan sangat tersakiti. Maharani menerima telepon dari Chloe. Ternyata kamar untuk Jodi sudah siap. "Sayang, kamar kamu sudah siap. Ayo kita langsung kembali saja. Kamu pasti capek banget, kan? Ayo istirahat dulu." Jodi hanya tersenyum dan mengangguk. Kemudian mereka kembali berjalan beriringan, dengan bergandeng tangan, menuju ke apartemen kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD