Tale 85

1938 Words
Mbah Jum yang hendak naik ke lantai dua, segera berhenti melangkah ketika melihat Jayadi dan Maharani sedang menuruni anak tangga dengan atmosfer yang kurang baik. Bahkan Jayadi terkesan sedang menyeret istrinya itu. Mbah Jum tidak berani bertanya. Ia hanya segera menundukkan pandangan. Namun telinganya masih awas mendengar. "Pa ... kasihan Jodi, Pa. Ayo kita kembali ke kamarnya. Sudah lah, kali ini kita ngalah saja. Jodi masih sakit." Suara Maharani terdengar bergetar, antara menahan tangis, dan melawan rasa takut pada suaminya sendiri. "Aku ngga sudi balik ke sana. Aku udah beritikad baik dengan menuruti keinginan kamu untuk kita pulang dulu, melihat keadaan Jodi. Mengorbankan waktu penting yang bisa aku lakukan untuk mengembangkan perusahaan. Tapi kamu lihat sendiri, kan, bagaimana anak itu memperlakukan kita tadi?" Suara Jayadi terus meninggi, menyiratkan emosi yang mendalam. "Iya, aku paham kamu kesal. Tapi kali ini saja, tolong mengerti situasinya. Jodi sedang sakit. Apa kamu nggak lihat? Dia kesakitan sampai keringat dingin. Ayo kita kembali, kita bawa dia ke rumah sakit. Kita pastikan apa yang sebenarnya terjadi padanya. Aku mohon, Pa. Perasaan aku nggak enak. Jangan sampai kita menyesal untuk kedua kalinya." Pernyataan Maharani itu cukup untuk membuat Jayadi terdiam. Namun hanya sesaat. Cukup ngeri sebenarnya jika merenungkan ucapan Maharani. Tapi Jayadi mengingkari semua itu. "Kamu bicara apa? Memangnya Jodi kenapa? Palingan dia hanya sakit biasa. Suda lah, sebentar lagi dia juga sembuh. Kamu jangan terlalu mudah dikelabui oleh anak itu. Sejak dulu dia manja. Kita harus tegas sama dia, supaya dia tumbuh menjadi pribadi yang kuat." "Tapi, Pa ...." "Sekarang terserah kamu aja. Kalau kamu mau tinggal, ya silakan. Tapi jangan harap hubungan kita akan sama lagi. Lagi pemikiran kita udah nggak sejalan. Buat apa aku hidup dengan seorang istri yang nggak patuh?" Ucapan Jayadi itu begitu mengintimidasi. Sebuah ancaman yang cukup untuk membuat Maharani bergidik takut. Seketika Maharani terdiam. Tidak lagi berani menjawab ucapan sang suami. Sekeras apa pun ia berusaha dan memohon, Jayadi tidak akan pernah menuruti keinginannya. Maharani akhirnya pasrah digelandang turun. Sambil menangis terisak-isak. Sambil memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada Jodi hingga kondisinya bisa jadi seburuk itu. Mbah Jum masih berdiri di tempatnya dengan membawa nampan berisi bubur dan juga air putih. Jayadi akhirnya berhenti melangkah ketika sampai di hadapan Mbah Jum. Mbah Jum masih senantiasa menunduk. Tidak mau lancang menunjukkan wajah sedih dan kecewanya pada Jayadi dan Maharani. Yang masih saja bersikap tak adil pada Jodi. Bahkan di saat anak itu sedang sakit seperti sekarang ini. "Bu Jum, saya minta tolong, ya. Nanti tolong bawa Jodi ke rumah sakit. Kalau dia menolak, paksa saja. Kalau perlu panggil ambulans untuk membantu membawa dia ke rumah sakit. Untuk kondisi Jodi selanjutnya, tolong sampaikan pada kami via telepon saja, ya. Kami sudah berusaha baik sama dia. Tapi sikapnya selalu seperti ini pada kami. Saya benar-benar kecewa. Saya dan Maharani setelah ini mau langsung pergi lagi. Soalnya kami harus segera mengejar pesawat ke bandara, atau kami akan ketinggalan. Ini adalah pelajaran bagi Jodi. Biar dia rasakan, sakit tanpa kehadiran orang tua di sampingnya. Dia pasti menyesal karena sudah bersikap buruk pada kami tadi." Mbah Jum benar-benar sedih mendengar ucapan Jayadi itu. Bertanya-tanya kenapa laki-laki itu sekali pun tak pernah mau sedikit saja menyingkirkan egonya? Berharap hati Jayadi suatu saat nanti bisa melembut. Sementara Maharani masih saja menangis. "Sudah, jangan nangis terus!" Jayadi malah menegur istrinya itu. "Udah, kamu siap-siap saja dulu sana. Mandi, dandan yang bagus. Jangan sampai muka kamu kelihatan sembab karena habis menangis." Jayadi pun akhirnya melepaskan genggamannya dari pergelangan tangan Maharani. Tak mau menunggu lama, Maharani hanya segera melenggang pergi. Lega karena akhirnya lepas dari cengkeraman tangan suaminya. Ia masih tak rela tentu saja meninggalkan putranya. Ia akan lanjutkan menangis nanti dengan lebih leluasa. Jayadi kemudian menyusul melangkah dengan sang istri. *** Mbah Jum pun akhirnya berani melanjutkan langkahnya. Masih sambil menyimpan kekecewaan yang begitu besar dalam hatinya. Bertanya-tanya, bagaimana bisa ada manusia keras kepala seperti Jayadi? Apa dia bahkan tidak memiliki ikatan apa pun dengan anaknya? Apa ia tidak merasa simpati sedikit pun dengan kondisi anaknya. Kenapa ia masih harus begitu keras, pada anaknya yang masih seorang siswa SMA, yang masih labil emosinya? Mbah Jum hanya bisa berharap. Semoga dirinya yang sudah renta ini, bisa panjang umur. Sehingga ia akan bisa merawat Jodi dalam kurun waktu yang lama. Setidaknya sampai anak itu dewasa dan tidak labil lagu secara emosional seperti sekarang. Mbah Jum hanya bisa berharap, semoga Jodi ditakdirkan jadi orang hebat. Sehingga tidak akan ada lagi orang-orang yang meremehkannya. Terutama ayahnya sendiri. Mbah Jum menghapus air matanya. Tentu saja ia tidak akan membiarkan Jodi melihat air matanya. Jodi pasti tidak akan suka melihat ia menangis seperti ini. Mbah Jum akhirnya tiba di lantai dua. Dan ia bersiap masuk ke kamar Jodi. Ia buka pintu kamar itu perlahan tanpa kesulitan, meski satu tangan yang lain membawa nampan berisi makanan. Dilihatnya Jodi yang sedang meringkuk di pinggiran ranjangnya. Mbah Jum segera masuk untuk memastikan keadaan Jodi. Ia letakkan makanan itu di meja nakas, kemudian ia sibuk memperhatikan Jodi. "Mas Iyaz ... Mas ...." Ia panggil nama Jodi perlahan. Jodi yang tadi menutup matanya, kini merespons panggilan Mbah Jum. Kedua matanya terbuka sedikit. Jodi terlihat sedih. Terlihat kesakitan. Membuat Mbah Jum semakin mengkhawatirkan dirinya. "Mas Iyaz baik-baik saja to? Mas Iyaz mana yang sakit?' Jodi buru-buru mengatur pernapasannya. Menahan rasa sakitnya. Ia paksakan sebuah senyuman di wajahnya. "Nggak apa-apa kok, Mbah. Mbah Jum bawa sarapan, ya? Kayaknya aku telat makan, Mbah. Yuk, langsung sarapan aja. Terus minum obat." Jodi sengaja mengucapkan hal itu. Hal yang biasanya cukup enggan ia lakukan tanpa dipaksa terlebih dahulu. Jodi memang sengaja mengalihkan perhatian Mbah Jum, supaya wanita itu tidak lagi terlalu fokus memperhatikan dan menanyakan kondisinya. Jodi tak mau membuat Mbah Jum semakin khawatir tentu saja. Kalau Jodi bilang mau makan dan minum obat, Mbah Jum pasti akan langsung bahagia, teralihkan perhatiannya dengan sempurna. "Iya, Mas. Ayo, makan dulu. Makan yang banyak dan semangat ya, Mas Iyaz." Sukses lah usaha Jodi. Karena perhatian Mbah Jum dengan sempurna teralihkan. Kini hanya tinggal Jodi yang harus senantiasa menjaga diri, supaya tidak muntah ketika disuapi oleh Mbah Jum. Ini tentu saja sangat berat untuknya sendiri. Tapi ia yakin bisa melakukannya seperti ketika disuapi oleh Alila waktu itu. Mbah Jum tersenyum senang, karena Jodi makan dengan baik. Berharap jika seperti ini terus, kondisi Jodi perlahan bisa membaik. Jodi sendiri di tengah perjuangannya supaya bisa makan, ia masih terus memikirkan kata-kata Pak Irwan kemarin. Rasanya kata-kata gurunya itu seperti terpatri dalam otaknya. Jodi semakin menyadari bahwa itu benar, ketika ia akhirnya bertemu dengan kedua orang tuanya tadi. Benar kata Pak Irwan. Jika ia ingin menghukum kedua orang tuanya dengan penyesalan, lantas kenapa ia ikut menghukum orang-orang terdekatnya yang lain, yang sudah dengan tulus benar-benar menyayanginya meski mereka tak terikat hubungan darah sama sekali? Mbah Jum, Pak Muklas, Mr. Bagie, Fariz, Iput, Ayla .... Betaga terkejutnya mereka nanti, saat akhirnya tahu tentang kondisi Jodi yang sebenarnya. Betapa terpukulnya mereka, saat tahu belakangan. Dan mereka akan merasa gagal menjaga Jodi. Benar kata Pak Irwan, harusnya Jodi memberi tahu mereka semua, tentang kondisinya. Setidaknya, saat kemungkinan terburuk terjadi, mereka tidak akan mendapatkan efek syok yang terlalu besar. Hanya kedua orang tuanya, yang memang sengaja ingin diberi pelajaran oleh Jodi. Jodi berusaha membulatkan tekadnya. Ia harus mempersiapkan diri untuk mulai membicarakan hal itu. Tentu Jodi tahu dengan pasti bahwa ini tak akan mudah. Tapi akan tetap ia lakukan dengan keyakinan hati. "Mbah ... aku mau ngomong sesuatu sama Mbah Jum." Jodi benar-benar sudah membulatkan tekadnya. Tentu saja ia harus memulai dari wanita mulia yang sudah dengan sangat tulus merawatnya sejak masih bayi ini. Mbah Jum pun tersenyum. "Mau ngomong apa Mas Iyaz? Katakan saja. Mbah Jum akan dengar apa pun yang akan Mas Iyaz katakan." Jodi pun ikut tersenyum. Hatinya selalu terasa hangat tiap kali berbicara dengan Mbah Jum dan orang-orang yang dengan tulus menyayanginya. "Aku ...." Baru juga satu kata, tapi ucapan Jodi harus terhenti, akibat ada seseorang yang baru saja membuka pintu. Jodi dan Mbah Jum secara otomatis menengok ke sumber suara. Ternyata Maharani lah yang baru saja membuka pintu kamarnya. Wanita itu terlihat sudah lebih segar penampilannya. Jodi bisa menebak, ibunya itu sudah akan dibawa pergi lagi oleh ayahnya. Maharani masih terlihat sedih. Semakin sedih karena ia tak berdaya melalukan apa-apa, selain menuruti perintah suaminya. Perlahan Maharani masuk, dan kembali menghampiri Jodi seperti tadi. Mbah Jum yang merasa tahu diri, akhirnya berhenti sejenak untuk menyuapi Jodi. Ia mundur, untuk memberikan sepasang ibu dan anak itu ruang, untuk saling berpamitan. Maharani menyentuh pipi tirus anaknya kembali. Dan ia juga menangis sekali lagi. "Jodi, Sayang ...," ucap Maharani di sela tangisnya. Dibelainya rambut Jodi dengan lembut. Jodi hanya menatap ibunya itu. Ia hanya diam. Toh jika ia menjawab apa pun, tak akan mempengaruhi niat mereka untuk pergi lagi. "Mama mau pamit, Nak. Maaf Mama harus pergi lagi ya, Sayang. Mama janji, kali ini nggak akan lama. Setelah itu Mama akan menemani kamu. Mama janji. Meski nanti Papa melarang Mama, Mama akan tetap berada di samping kamu. Mama janji, ini adalah terakhir kalinya Mama meninggalkan kamu." Jodi seperti tak percaya dengan apa yang Maharani ucapkan. Ia ragu apakah Maharani jujur. Tapi tak bisa dipungkiri, ia merasa terharu. Dalam hati dia ingin sekali memeluk Bundanya. Biar bagaimana pun, dia sangat menyayangi bundanya lebih dari apa pun. Tapi karena selama ini sang ibu dekat dengan sang Ayah, Jodi tidak mempunyai kesempatan untuk memeluk dan menyayangnya. Dan setelah sekian lama berlalu, Jodi tidak memiliki keberanian untuk melakukan itu, meskipun sekarang sang Bunda telah berada tepat di depanya. Karena sang Bunda sudah terasa begitu asing baginya. Seperti Deja vu, momen ini mirip dengan kejadian tadi, saat dia baru bangun tidur. Bundanya tiba-tiba ada di samping Jodi dan pada akhirnya sang Ayah datang untuk menjemput sang Bunda dan membawanya pergi jauh dari Jodi. Ternyata benar, sekejap kemudian, sang Ayah datang. Lagi dan lagi. Raut wajah Jayadi sudah tak menyimpan amarah seperti tadi. Namun ia sama sekali tetap tak berempati pada kondisi Jodi sama sekali. "Jod, Papa sama Mama pamit. Kemungkinan, kita tidak akan selama sebelumnya. Hanya sekitar dua minggu dan kita akan pulang cukup lama setelah itu. Papa doakan kamu segera sehat. Pala harap dengan kepulangan kami nanti, kita bisa jadi lebih dekat. Dan tidak akan ada lagi pertengkaran seperti tadi." Jodi hanya mengangguk. Bahkan ayahnya tak menunjukkan rasa menyesal atas makiannya tadi. Sama sekali tak menyesal sudah mengata-ngatai Jodi sedemikian rupa. Di lubuk hatinya yang paling dalam, Jodi sangat ingin bicara baik-baik pada sang Ayah. Tapi saat melihat wajah ayahnya saja sudah membuatnya ingin marah-marah seperti biasa. Emosinya langsung terpancing. Dari pada ia berkata-kata tak jelas lagi, Jodi lebih memilih diam. Setelah berpamitan, Tn dan Ny aditya segera pergi. Tapi kali ini sesuai harapan Jodi, sang bunda kembali. Dia memeluk Jodi dengan erat dan mencium seluruh sudut di wajah Jodi dengan penuh rasa sayang. Dan Jodi sangat merasakan ketulusan dalam pelukan dan ciuman bundanya itu. Jodi tidak berusaha menghindar sedikit pun. Dia justru memejamkan matanya untuk lebih bisa merasakan apa yang Bundanya sedang luapkan kepadanya dengan aksi yang sedang dia lakukan. Sang bunda menangis, entah apa yang membuatnya begitu.  "Mama nggak tau apa yang sedang terjadi sama kamu. Tapi Mama janji kali ini hanya sebentar, kamu tunggu Mama ya, sayang! Jangan tinggalin Mama." Maharani memohon dengan sangat. Jodi terhenyak sekarang. Air matanya sudah di ujung, tapi Jodi berusaha menahannya. Mungkin benar kata orang tentang ikatan batin seorang ibu yang sangat kuat terhadap anaknya. Jodi berpikir, mungkin ibunya juga ikut merasakan rasa sakit yang di derita Jodi selama ini. Sementara sang Ayah hanya memandangi mereka di ambang pintu. Jodi kemudian hanya pasrah membiarkan kedua orang tuanya pergi lagi. Ia merasa sesak, air matanya terjatuh begitu saja menuruni pelipisnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD