Tale 29

1179 Words
Garlanda merasa ikut sedih dengan apa yang menimpa gadis bernama Yulia itu. Tapi karena dalam kehidupannya ia sudah sering merasakan kesedihan, yang bahkan lebih besar dibandingkan kesedihan yang Yulia alami, maka kesedihan itu bukan lah sesuatu yang terlalu berarti untuk Garlanda. Seperti pepatah, jiwa yang sudah terbiasa terhantam kerasnya badai, tidak akan goyah hanya karena hujan gerimis kecil. Garlanda urung juga bisa kembali dalam tubuhnya dalam keadaan normal. Ia masih harus bertahan dalam ketidak sadaran. Entah sampai kapan. Dan kini ia kembali terjebak dalam kehidupan lain. Dalam tubuh seorang remaja laki - laki bernama Kel. *** Dua bocah itu sedang menonton kartun di ruang keluarga rumah mereka. Memang kartun macam itu terlalu kekanakan untuk bocah seusia mereka. Sang kakak sudah 15 tahun, sementara adiknya 14 tahun. Tapi mereka terlihat antusias. Terlebih lagi sang kakak yang sesekali berjingkrak senang. Adiknya pun ikut tersenyum. Ia ikut senang bila kakaknya juga senang. "Kel ... kalau baby sudah lahir, Kel bisa bermain sepak bola lagi dengan kakak di luar, kan?" tanya Ma, sang kakak, antusias. "Tentu saja. Kakak bisa bermain apa pun sepuasnya dengan Kel lagi seperti dulu," jawab adiknya. Ma tersenyum puas mendengarnya. Ia mengulurkan tangannya dan mengelus perut buncit Kel. "Baby, nanti kau juga boleh bergabung dengan kami," ucapnya diakhiri dengan cekikikan senang. Ma memang mengalami gangguan mental sejak kecil. Meski usianya sudah remaja, tapi pikirannya tak lebih dari anak balita. Ia sangat bergantung pada Kel. Mereka hidup sebatang kara di dunia ini. Itu sebabnya, Kel merasa bertanggung jawab atas kakaknya. Dielusnya perut yang sudah membesar sempurna. Aneh memang. Tidak seharusnya ia mengandung. Tapi itu terjadi padanya. Awalnya Kel menyangka ia terkena suatu penyakit. Tapi seiring perkembangan perutnya, ia turut merasakan adanya sesuatu yang hidup di dalam sana. Kel bukan anak bodoh. Dengan uang penghasilannya, ia pergi ke warung internet dan melakukan beberapa pencarian. Dan ketika itulah, ia tahu bahwa kehamilan lah yang ia alami. Ma lanjut menonton kartun favoritnya. Sementara Kel lagi - lagi mengelus bagian bawah perutnya. Sesekali ia mengernyit sakit. Menurut yang dibacanya di internet, rasa kencang yang dialaminya ini adalah kontraksi. Menandakan bahwa bayinya akan segera lahir. Kel tahu. Karena kontraksi itu sudah dirasakannya sejak tadi siang. Dan sekarang sudah semakin intens. Tapi Kel tahu ini belum waktunya. Ia bisa bersantai dulu dengan Ma. Kel mengambil salah satu bantalan sofa dan meletakkan di belakang punggung. Kel bersandar nyaman di sana. Ia juga meluruskan kedua kakinya. "Kel ... aku lapar," rengek Ma. "Makanan yang tadi siang masih ada. Kakak makan itu dulu, ya?" "Tidak mau. Aku ingin mie." "Kak, maaf. Perut Kel sedang sangat sakit sekarang. Jadi kakak makan itu dulu saja, ya?" "Tidak mau." Kel hanya bisa menarik napasnya. Ia pun perlahan beranjak. Dirasakannya perutnya semakin mengencang ketika ia berdiri. Kedua kaki Kel bergetar saat ia berjalan. Kel berhenti sebentar agar tubuhnya beradaptasi dengan sakit itu. Ma memandangi aktivitas Kel dengan bingung. Tapi sejekap kemudian, ia kembali asyik dengan kartunnya. *** Berkali - kali Kel harus duduk kemudian berdiri lagi saat di dapur. Rasa mulas di perutnya semakin terasa. Pinggul, pinggang, dan perutnya juga ikut sakit dan kencang. Kel bisa merasakan gerakan bayinya di dalam. Kel segera mematikan kompor gas. Tak ingin mie untuk kakaknya itu berakhir terlalu matang. Karena Ma tidak Suka. *** Ma makan dengan riang di depan televisi. Sedangkan Kel ... ia sedang berjuang di dalam sana. Di atas sebuah karpet yang bersebelahan dengan ruang TV, dengan posisi menungging. Kel sudah tak memakai celananya lagi. Hanya baju longgar tipis yang membalut tubuhnya sekarang. "Kel ... Thomas - nya sudah mulai!" Ma memberitahu Kel lagi tentang kartun itu. Namun kini Kel tak ada niat untuk meresponnya. Kel kembali mengejan saat signal untuk mendorong itu diterimanya. Kedua tangan dan lututnya yang kini menopangnya, bergetar setiap kali ia mengejan. "Baby ... erggggh ...." Kel terus berusaha. Kel tak pernah menyangka bahwa rasanya akan sesakit ini. Sebenarnya ia sudah berganti beberapa posisi melahirkan tadi. Ia sempat berendam di dalam bak mandi. Ia juga sempat duduk dan mengangkang. Tapi bayinya belum mau lahir. Dan ini cara terakhir. Cara yang biasanya digunakan untuk kelahiran sungsang. Ma berjalan mendekat. Ia mulai merasa aneh. Biasanya Kel sudah menyuruhnya tidur jam segini. Tapi kenapa sekarang tidak? "Kel?" panggilnya pelan. Dilihatnya sang adik yang tengah kesakitan. Keringat Kel sudah mengalir tak karuan, membasahi seluruh tubuhnya. Ma berlari keluar rumah. "Bibi ... Bibi ...," teriak Ma, seraya menggedor pintu utama tetangganya. "Bibi!" Seorang wanita cantik keluar dengan wajah kusut khas orang bangun. "Ma kenapa?" tanyanya khawatir. "Kel ...." Ma tak bisa melanjutkan kata - katanya. Karena ia sendiri bingung. Tak tahu apa yang terjadi pada Kel. "Jangan - jangan ...." Wanita bernama Fen itu segera bisa menangkap maksud Ma. Ia tahu betul tentang keadaan Kel selama ini. Ia juga yang memberi tahu Ma jika sewaktu - waktu Kel merasa kesakitan. Fen segera berlari keluar, disusul oleh Ma. "Kel ... astaga ...," pekik Fen begitu masuk ke dalam rumah itu. Dihampirinya Kel di sana. "Bibi ... bagaimana ini ...." Kel menangis. "Tenanglah, Nak. Bibi akan membantumu." Fen mengelus dan menyibakkan rambut Kel. Ia juga melakukannya pada Ma. "M, lebih baik kau sekarang tidur. Saat bangun besok, keponakan Ma sudah lahir. Ma senang, kan?" Ma mengangguk antusias. Ma segera menurut dan masuk ke kamarnya. Fen segera memeriksa Kel. "Kel ... bukaanmu masih belum lengkap, Nak. Tahan dulu, ya." "Sakit sekali, Bi." "Bibi tahu, Sayang. Bibi dulu juga begitu saat melahirkan Nam." Fen membimbing Kel untuk berbalik ke posisi normal. Fen mengambil beberapa bantal dan meletakkannya sebagai sandaran untuk Kel. Fen juga mengelus perut Kel untuk menenangkannya. Sementara Kel sudah terlihat pasrah. Tubuh kecilnya terlihat sangat ringkih. Perutnya yang besar semakin mendramatisir suasana. Fen miris menatapnya. Fen menyeka lendir bercampur darah yang membasahi lubang lahir Kel. Hari sudah hampir pagi. Akhirnya air ketuban Kel pecah. Seketika itu pula Kel tak dapat lagi menahan sakitnya. Ia berteriak kencang saat sakit menyerangnya. Biar bagaimanapun Kel tetaplah anak kecil biasa. Sekuat apa pun, ia tetaplah anak kecil, yang belum saatnya mengalami hal seperti ini. Apalagi hal ini bukanlah kodratnya. "Ayo dorong lagi, Sayang ... ayo ... kalau baby sudah lahir, sakitnya akan hilang. Ayo ...." "Nnnnnnnrghh ... hah ... nnnghh ...." Tenaga Kel seakan sudah habis. "Ayo, Sayang. Kel pasti bisa. Ayo ...." "Arghh .... nnnnnghhh ...." Fen tersenyum senang saat ia mulai melihat kepala bayi yang menyembul di sana. "Ayo, Kel ... kepalanya sudah terlihat." "Ennggghhh ...." Sekitar lima menit kemudian, akhirnya kepala bayi Kel keluar. Kel merasa amat lega setelahnya. Fen membimbing Kel untuk memegang kepala bayinya. Kel terlihat senang pula dibuatnya. "Bibi ... anakku sudah akan lahir," ucapnya di sela napas yang tersengal. "Iya ... berusaha lah sedikit lagi, Sayang." Saat kontraksi datang lagi, Kel segera mengejan sekuat tenaganya. Sangat sakit. Tapi Kel juga ingin segera bertemu bayinya. Perjuangan yang panjang, akhirnya bayi itu keluar. Masih dengan tali pusat yang menjulur, Fen meletakkan bayi berlumuran darah itu di d**a Kel. Kel segera memeluk dan mencium anaknya itu dengan antusias. Seakan ia lupa bahwa beberapa saat tadi, ia sudah rela dan menyerahkan hidupnya. "Kau laki - laki ternyata ...," ucap Kel seraya tersenyum. Disambut oleh tangisan keras bayinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD