CHAPTER 10 – THE FEELING
M I L L I E
Semalam, Ryan mengirimku pesan tentang perubahan jadwal penerbangan pulang yang dipercepat atas permintaan Nick. Dia meminta maaf karena tidak bisa menepati janjinya untuk menemaniku sebab dia harus melakukan persiapan untuk kepulangan kami kembali ke Indonesia.
Dan hari ini, aku bangun pagi-pagi sekali untuk mandi dan berendam air hangat lalu dengan penuh semangat mengemas barang-barangku. Aku hanya perlu mengemas pakaianku dan memasukkannya ke dalam koper karena oleh-oleh yang kubeli sudah kusiapkan sejak semalam setelah aku membaca pesan darinya—bahwa kami akan terbang kembali ke Indonesia pukul dua belas siang nanti. Walaupun sedikit kecewa dengan keputusan sepihak yang diambil Nick, tapi aku berpikir mungkin ini memang yang terbaik. Karena aku memang tidak bisa tidur di atas ranjang itu lagi tanpa membayangkan apa yang terjadi di atasnya sebelum ini. Alhasil tadi malam aku tidur di sofa.
Mengingat kejadian tersebut membuat sebagian dadaku terhimpit dan merasa ingin menangis lagi. Mungkin menerima tawaran menikah dengannya adalah sebuah kesalahan besar yang pernah aku buat. Awalnya aku hanya berpikir, cukup untuk tidak terlalu intim dengannya—maka aku bisa membuang jauh-jauh rasaku pada Nick. Namun, kenyataannya tidak begitu, sangat sulit menyingkirkan perasaanku saat berhadapan dengan seorang Nick Darren yang sudah menjadi suamiku.
Tiba-tiba saja pintu kamarku terbuka dan Nick muncul tepat pada saat aku selesai mengemasi barang-barang ke dalam koper.
“Selamat pagi, Nick,” sapaku, seolah tidak terjadi apa-apa kemarin di kamar ini.
Mungkin, Nick merasa ada yang aneh dari sikapku, sebab saat ini dia tengah menatapku dengan cara yang tidak biasa. “Kau kelihatan sangat bahagia, Millie,” komentarnya. “Ada apa?”
“Benarkah?” tanyaku, heran. “Entahlah. Mungkin, karena kemarin aku menghabiskan waktu untuk menikmati hotel dan Dubai. Kurasa aku cukup bersenang-senang dua hari terakhir ini. Dubai adalah tempat yang menakjubkan, Nick dan aku sangat senang bisa berada di sini.”
“Walaupun tidak bersamaku?” tanyanya aneh.
Aku mengedikkan bahu. “Ryan orang yang menyenangkan dan dia selalu bersedia untuk menemaniku ke mana pun aku mau pergi,” ujarku.
Mata Nick menyipit, menatapku curiga. “Apa yang terjadi antara kau dan Ryan, huh?” tanyanya menyelidik.
Dahiku berkerut menanggapi pertanyaannya. “Apa maksudmu?” tanyaku, tidak mengerti. “Tidak terjadi apa-apa antara aku dan Ryan.”
Tatapan Nick semakin tajam. “Kalian berdua cepat sekali akrab,” komentarnya, ketus. “Apakah kau menyukainya?”
Aku tertegun sesaat mendengar pertanyaannya. “Tentu saja aku menyukainya. Dia orang yang menyenangkan.”
“Kau benar,” tukas Nick, dingin. “Dia memang orang yang menyenangkan. Dia tampan dan menarik. Hanya perempuan bodoh yang tidak tertarik kepadanya.”
Aku tertawa. “Aku juga mengatakan hal yang sama kepadanya.”
“Dan,” gumam Nick, “kurasa, kau juga menyukainya.”
“Memang,” akuku. “Aku tidak akan berbohong dengan mengatakan aku tidak menyukai Ryan.”
Kini, bukan hanya tatapannya saja yang begitu tajam menghunjamku. Aku melihat wajah Nick memerah dan tampak tegang.
“Kau bebas menyukai siapa saja,” tukasnya, sinis. “Toh pernikahan ini memang hanya sandiwara, jadi kau bukan istriku yang sesungguhnya. Kau bebas menyukai siapa saja, termasuk Ryan,” ketusnya.
Darahku berdesir mendengar kata-kata Nick. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya, tetapi aku merasa sikapnya tidak wajar. Aku seperti melihat kilatan kemarahan di matanya yang kini sedang menatapku.
“Apa maksudmu bicara seperti itu, Nick?”Aku menatapnya penuh antisipasi.
Nick mendekatiku dan jarak di antara kami berdua semakin dekat. Mengingat sikapnya pagi lalu, maka hal itu membuatku tanpa sadar bergerak mundur, berusaha menjauh dan menghindarinya.
“Apa yang bisa diberikan Ryan kepadamu yang tidak bisa kuberikan, huh?” tanyanya, tajam. “Kenapa kau terlihat begitu bahagia hanya karena dia menemanimu berjalan-jalan selama dua hari ini?”
Aku menelan ludah mendengar nada tajam dalam suaranya. “Apa maksudmu, Nick?”
“Apa saja yang kaulakukan bersamanya selama dua hari kemarin?”
“Kami hanya pergi jalan-jalan,” jawabku, gugup.
“Benarkah hanya itu?” Nick tersenyum sinis.
“Nick,” gumamku. “Apa maksudmu?”
Nick mengunci diriku yang kini telah terimpit ke dinding. Punggungku bisa merasakan dinginnya dinding di belakangku saat Nick merapatkan tubuhnya kepadaku. Aku tidak berani membalas tatapannya yang tajam menusuk.
“Benarkah dia tidak menyentuhmu?”
Sontak, wajahku terangkat dan membalas tatapannya dengan dingin. Pertanyaan yang dia lontarkan dengan suara pelan dan penuh penekanan itu berhasil menusuk ulu hatiku, membuatku seketika merasakan nyeri di dalam dad@.
Sebenarnya, apa yang dia pikirkan tentang diriku?
“Atau, dia memang menyentuhmu?” Dia menatapku dari atas sampai ujung kakiku dengan tatapan merendahkan.
“Nick!” sergahku marah. Mataku menatapnya tajam.
“Di mana dia menyentuhmu?” desisnya, mengabaikan kemarahanku. “Bagaimana dia menyentuhmu, ha?”
Saat itu juga aku menghantamkan kepalan tanganku ke dadanya. Napasku memburu didera kemarahan yang tak mampu lagi kutahan. Aku melihat Nick membungkuk sembari menyentuh dadanya yang mungkin terasa sakit akibat pukulan yang kulayangkan sekuat tenaga. Sesakit apa pun yang dirasakannya, tidak sebanding dengan rasa sakit yang kurasakan setelah mendengarkan semua omong kosongnya barusan.
“Apa urusanmu kalau memang aku membiarkannya menyentuhku, huh?!” bentakku, murka.
Nick tampak terkejut melihat reaksiku. Aku tidak tahu apakah dia bisa melihat genangan air di mataku atau tidak. Yang jelas, saat ini sudut mataku sudah siap menurunkan gerimis akibat mendengar semua ucapannya.
“Ketika kemarin aku melihatmu b******a dengan Julia di kamar ini, apakah kau mendengar aku mengatakan sesuatu kepadamu?” Aku tidak bisa lagi menahan amarahku dan berjalan mendekati Nick yang sedang tertegun menatapku. “Selama ini, aku tidak pernah tahu bahwa kau ternyata tidak memiliki rasa malu sedikitpun dalam dirimu, Nick Aku dengan jelas melihatmu b******a dengan Julia di kamar ini kemarin, tetapi sekarang kau malah menuduhku.”
“Millie.”
“Diam!” pekikku. “Biarkan aku bicara!”
Nick membatu di tempatnya.
“Sekarang, biar kuperjelas,” desisku. “Kau baru saja melanggar satu klausa yang terdapat di dalam kontrak kita itu, Nick. Sekalipun aku benar memiliki hubungan dengan Ryan, atau aku memang membiarkan pria itu menyentuhku, semua itu adalah urusanku dan kau tidak berhak untuk mencampuri urusanku sama sekali—sama halnya dengan yang kulakukan padamu ketika aku melihatmu dan Julia di kamar ini. Seperti yang kaukatakan, hubungan kita ini tidak lebih dari sekadar sandiwara saja.”
Bibir Nick terkatup rapat.
“Urusanmu hanyalah tentang dirimu dan Julia. Aku tidak akan mencampuri urusan kalian berdua,” tandasku. “Dan aku… aku akan mengurus urusanku sendiri dan aku berharap kau menghormati isi kontrak yang kaubuat dengan tidak mencampuri urusanku.”
Kemudian, tanpa berkata apa-apa, aku pergi dari hadapannya. Aku akan meninggalkan kamar ini. Ke mana saja, aku tidak peduli. Aku hanya ingin menjauh darinya selama beberapa saat.
Aku menyambar koper dan tasku yang semula tergeletak di sofa lalu bergerak cepat menuju pintu. Aku baru saja hendak menyentuh gagang pintu saat aku berpikir masih ada hal yang harus didengar Nick dariku sehingga aku memutuskan untuk berbalik dan dengan terpaksa kembali memandang wajahnya.
“Oh, ya, Nick,” desisku, tajam. “Kalau kau tidak percaya kepadaku, silakan kau bertanya kepada Ryan tentang kapan, di mana, dan bagaimana aku membiarkannya menyentuhku,” kataku, kemudian keluar dari kamar dan meninggalkan Nick tanpa memberinya kesempatan untuk berbicara.
***
Aku sudah berada di bandara dan siap untuk naik ke pesawat. Ryan berdiri tegak di pintu pesawat, menyambutku dengan senyumnya yang ramah.
“Milikmu,” kataku kepada Ryan sambil menyodorkan kacamata hitam miliknya yang kupinjam kemarin.
“Kau dari mana saja?” tanya Ryan yang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. “Kenapa tidak datang bersama Nick?”
“Aku jalan-jalan sebentar tadi.” Aku memalingkan wajah. “Omong-omong, terima kasih untuk kacamatanya.”
Ryan mengedikkan bahu. “Sama-sama.”
Aku segera menuju kursiku sementara Ryan menuju kokpit. Aku melihat Nick sudah duduk di kursinya, menatap lurus ke arahku yang enggan memandangnya. Aku tidak berminat untuk duduk berdekatan dengannya, jadi aku memilih kursi di belakangnya dan langsung mengencangkan seat belt.
“Maaf.”
Aku mendengar suaranya saat mengucapkan kata maaf, tetapi aku tidak menanggapinya. Aku memilih untuk menyandarkan kepalaku dan duduk dengan nyaman, kemudian memejamkan mata. Aku sedang tidak ingin bicara dengannya karena aku belum benar-benar bisa meredakan kemarahanku atas tuduhannya tadi pagi. Yang kuinginkan saat ini adalah berdoa, berharap Tuhan memberikan kelancaran selama perjalanan kami kembali ke Indonesia.
“Millie?” Nick kembali bersuara. “Kau mendengarku?”
Aku mendengarmu. Hanya saja aku sedang tidak ingin bicara denganmu.
Aku menelan ludah saat mendengar melalui pengeras suara pemberitahuan tentang pesawat yang akan segera lepas landas. Dari yang pernah kudengar, kecelakaan pesawat paling sering terjadi pada saat-saat pesawat take off dan mendarat. Mereka memperingatkan untuk tidak meninggalkan kursi dan mengencangkan sabuk pengaman. Aku sudah melakukan perintah mereka sejak semenit lalu. Sekarang, yang kulakukan adalah menangkupkan tanganku ke dad@ dan berdoa di dalam hati agar diberi keselamatan.
Aku sedang khusyuk berdoa saat mendengar seseorang berseru menyebut nama Nick. Saat aku membuka mata, aku melihat Nick tidak lagi duduk di kursinya melainkan sedang berjalan ke arahku.
“Apa yang kaulakukan?” hardikku. “Kau tidak dengar yang mereka katakan?”
“Aku dengar. Itu sebabnya aku berniat pindah untuk duduk di sampingmu,” sahutnya, tak acuh. Nick melemparkan diri ke kursi di sampingku. “Aku tahu kau keras kepala dan pasti menolak untuk pindah duduk di sebelahku sekalipun aku memaksamu.”
“Apakah saat ini perhatian dan kepedulianmu juga hanya sandiwara?” sergahku, sinis. “Kau tidak perlu berpura-pura sampai sejauh ini, Nick. Lagi pula kita hanya berdua, tidak ada Kakek Ritchie juga di sini, jadi sebaiknya tidak perlu bersandiwara.”
“Kau bebas mengartikan sikapku semaumu.”
Aku melemparkan tatapan tajam ke arahnya. Namun, Nick tetap menunjukkan sikap seakan tak peduli. Kuputuskan untuk mengabaikannya karena ada hal yang lebih penting untuk dilakukan selain memedulikan Nick. Yaitu melawan ketakutanku. Tubuhku menegang di kursiku seketika saat merasakan pesawat mulai bergerak naik. Debaran jantungku menderu tak keruan dan kepalan tanganku semakin kuat menggenggam udara.
“Berikan tanganmu,” perintah Nick.
Aku tidak menjawab dan tidak berniat untuk menuruti perintahnya, jadi aku tetap bergeming di kursiku. Aku tidak akan dengan mudah melupakan kata-katanya tadi pagi hanya karena dia sudah menunjukkan sikap sok perhatian dengan duduk di sebelahku. Aku tidak akan membuatnya semakin memiliki alasan untuk meremehkanku dengan mengulurkan tanganku untuk dia genggam hanya karena aku takut. Tuduhan yang dilemparkan Nick tidak hanya menyakiti perasaanku, melainkan melukai harga diriku.
“Kubilang, berikan tanganmu,” ulangnya, penuh penekanan.
“Kau lupa, di dalam kontrak tertulis dengan jelas bahwa kau dilarang untuk mencampuri urusanku.”
Nick tidak menyahut. Alih-alih membalas pernyataanku, dia meraih tanganku dan menggenggamnya tanpa permisi. Aku menatapnya protes dan—bukan hal yang mengherankan—dia sama sekali tidak terlihat peduli.
“Aku tidak lupa,” katanya kemudian sambil menatapku lekat. “Hanya saja, kau tidak tahu tentang satu hal, Millie. Aku tidak segan untuk melanggar semua yang tertulis di dalam kontrak itu kalau memang diperlukan.”
***