3. Guna-guna

1107 Words
Jangan ke luar mobil! Sudah kubilang kamu jangan ke luar mobil! Tetap berada di mobil atau kamu akan berada dalam bahaya! Ini di masjid, jangan nekat kamu!  *** “Aaah…” Lelaki itu memegang kepalanya. Dia ingin sekali mengeluarkan siapa pun yang ada di dalam kepalanya untuk pergi dari situ. Kepala itu, kepalanya, miliknya, tapi kenapa ada yang bersuara selain dirinya?  Lagipula, tidak mungkin ada bahaya jika dia berada di masjid kan? Bahaya apa sih yang dibicarakan otaknya ini?  Dia nekat saja, kakinya sudah menjejak tanah. Sekarang dia bahkan sudah memakai sandal jepit kesayangannya. Tapi kembali tubuhnya entah kenapa terasa kaku, bagai terpaku ke bumi, tak mampu melangkah lebih jauh. Keringat kembali berbulir jagung membasahi wajah dan tubuhnya. Kemejanya sekarang bahkan sangat acak-acakan, tidak menunjukkan bahwa dia adalah seorang direktur sebuah perusahaan terkenal. Berat sangat kakinya melangkah, walau hanya menapak satu demi satu. Entah kenapa seperti ada sesuatu yang mencegahnya untuk masuk ke rumah Allah itu.  Baru lima langkah saja, tapi lelaki tampan itu sudah tampak sangat kepayahan. Jarak kamar kecil tidak begitu jauh secara kasat mata, tapi entah kenapa seperti berkilo-kilo baginya. Terasa sungguh berat dan jauh. Dan bulir keringat semakin besar saat dilihatnya sang supir berjalan bersisian dengan seseorang, entahlah, ustad atau kiai yang pasti dia seorang pemuka agama. Terlihat dari cara berpakaian yang berbeda dari jamaah lainnya. Terutama aura yang yang terpancar dari orang itu.  Si lelaki tampan tanpa sadar menggeram, saat supir dan ustad itu tepat berada di depannya. Dia menjadi liar. Bahkan sekarang menunjukkan perlawanan pada si pemuka agama itu. Sang supir berbisik pada lelaki yang mempunyai aura meneduhkan itu.  “Ini yang kemarin dulu saya ceritakan Pak Ustad. Tolong bantu Mas Varo. Saya kasihan padanya, pada anak istrinya yang asli. Lihatlah dia pasti akan bertingkah seperti itu jika berada di lingkungan masjid atau mendengar suara adzan atau mendengar ayat kursi Al Qur’an. Pak Ustad pasti ingat kan dengan Mas Varo, dulu kan jamaah masjid ini.”  “Baiklah Pak Tegar, Insya Allah saya akan bantu. Alhamdulilah tadi sore bapak sudah mengirim pesan jadi saya sudah persiapkan air zam zam yang sudah saya bacakan ayat suci Al Qur’an untuk ruqyah syar’iyah. Tapi Pak Tegar kan tahu ini tidak bisa sekali jadi pak, butuh beberapa kali dilakukan agar jin yang bersemayam di tubuh Nak Varo benar-benar terusir. Sepertinya tidak mudah, tapi kita tetap harus berusaha.”  “Assalamualaikum Nak Varo…” Salam lembut dari Pak Ustad Ridho dijawab dengan geraman oleh Varo, lelaki tampan itu.  “Ggrrm…. Pergi!” Bahkan Varo mendesis, menggeram marah. Semakin marah saat Ustad Ridho kemudian menggenggam tangannya. Varo berusaha mengibaskan tangan dingin tapi terasa panas untuknya.  “Nak Varo lupa ya sama saya?”  “Siapa kamu?”  “Nak Varo kok berkeringat seperti itu? Lebih baik ikut saya sebentar yuk, kita duduk di pelataran masjid di situ.” Ustad Ridho menarik tangan Varo secara paksa agar mau mengikutinya. Tentu saja Varo menolak, malah meronta. Tapi Pak Tegar mendorongnya hingga mau tak mau Varo tidak bisa bergerak bebas.  Ustad Ridho memerintahkan Varo untuk duduk. Ditolak tentu saja, tapi kemudian pundak Varo ditekan dengan paksa hingga dia menurut untuk duduk. Matanya memerah, menoleh kanan kiri dengan kasar, berusaha berontak. Tanpa Varo sadari sudah ada dua lelaki muda yang berada di belakangnya, seperti menjaga agar dia tidak kabur. Varo gelisah, perutnya semakin bergolak.  Pergi! Segera pergi dari sini kalau kamu masih mau selamat! Lari!!!  Tentu saja Varo ingin lari, tapi satu sisi hatinya memaksanya untuk tetap berada di situ. Agar tahu apa yang akan mereka lakukan padanya.  “Mas, tolong turuti apa kata Ustad Ridho ya. Saya belum bisa banyak cerita sekarang, tapi nanti kalau Mas Varo sudah tenang, Insya Allah saya akan cerita.” Kata Pak Tegar berusaha menenangkan Varo. Varo tahu, Pak Tegar tidak akan mencelakainya hingga ia turuti saja.  “Nah ini minumlah air ini. Dimulai dengan bismillah ya Nak Varo.” Ustad Ridho memberikan sebuah botol berisi air zam zam saat melihat mata Varo sudah melunak.  “Air apa ini? Aku tidak mau!” Mendadak Varo menangkis botol air zam zam itu, beruntung Ustad Ridho memegang dengan kuat hingga tidak tumpah.  “Air zam zam, Nak. Bismillah ya.”  “Air zam zam? Tidak aku tidak mau! Aku mau pulang!” Suara Varo berubah lagi, dia malah semakin menggeram marah, hendak menyerang Ustad Ridho. Dengan sigap para pemuda yang ada di belakangnya segera memegang pundak Varo agar duduk dengan tenang hingga kemudian Ustad Ridho memaksanya untuk minum air zam zam itu.  “Baca bismillah Nak Varo!” Kemudian Ustad Ridho membaca runtutan ayat suci Al Qur’an untuk ruqyah syar’iyah. Perut Varo semakin bergolak, dia ingin muntah! Memuntahkan apa yang ada di dalam perutnya! Pak Tegar segera memberikan keresek tapi tidak ada yang dimuntahkan Varo.  Kemudian yang terjadi, Varo malah bertingkah layaknya petarung yang mengajak Ustad Ridho untuk berkelahi melawannya. Suaranya jelas bukan suara Varo. Geraman dan desisan itu juga bukan milik Varo. Tapi Ustad Ridho bukanlah sembarang ustad. Beliau dan anak-anak muda itu bisa menenangkan Varo, hingga ia terduduk lemas. Matanya sayu, sangat kecapaian. Bulir keringat mengucur deras baik dari wajah apalagi tubuhnya.  Setelah beristirahat sejenak, Ustad Ridho mengajak Varo untuk berwudhu - diajari yang benar sebenar-benarnya - kemudian dipaksa untuk sholat magrib. Varo yang masih linglung pasrah saja. Dia akhirnya tahu ada yang salah padanya. Entah apa.  “Nak Varo, besok atau lusa kembali ke mari ya. Ini prosesnya belum selesai. Jin yang ada di tubuh Nak Varo tidak hanya satu. Sungguh tega orang yang melakukan ini ke Nak Varo.” Mereka sekarang sedang duduk di warung bakso, usai Varo sholat magrib. Dia sungguh kelaparan.  “Jin? Maksud Pak Ustad apa? Ada apa dengan saya Pak Ustad?” Varo bertanya dengan panik.  “Nak Varo sama sekali tidak ingat saya? Masjid ini? Tukang bakso ini?”  Varo mencoba berpikir, bayangan berkelebatan. Perempuan berwajah keibuan dengan senyum cantiknya, anak perempuan cantik yang berlari senang ke arahnya, masjid, tukang bakso…  “Aaah...” Varo memegang kepalanya yang mendadak kembali pusing, “maaf Pak Ustad, saya sama sekali tidak ingat. Saya kenapa pak?”  “Tidak apa-apa, Nak Varo, kita akan pelan-pelan menyingkap siapa Nak Varo ya. Asalkan Nak Varo turuti nasehat saya. Jangan pernah tinggalkan sholat. Selama dua tahun ini, pernahkah Nak Varo sholat?”  Varo menunduk, kemudian menggeleng. Ya, semenjak menikah, dia tidak pernah sholat lagi. Kenapa ya? Tapi tadi dia masih hapal bacaan sholat kok. Varo semakin bingung.  “Jangan pernah tinggalkan sholat ya Nak. Kalau di rumah merasa malas sekali untuk sholat, pada saat di kantor Nak Varo bisa sholat kan? Ada mushalla bukan di gedung kantor Nak Varo. Ada masjid juga tidak jauh dari situ. Ingatlah Nak Varo, jadikan sabar dan sholat sebagai penolongmu.” Tepuk Ustad Ridho ke pundak Varo, kemudian dia berdiri hendak kembali ke masjid untuk memimpin sholat Isya berjamaah.  “Ikutlah sholat Isya berjamaah kali ini. Mumpung belum sampai rumah ya. Terima kasih baksonya. Saya permisi dulu, sebentar lagi Isya.”  “Pak Ustad, saya kenapa? Apa yang terjadi pada saya?” Varo masih bertanya dengan mimik bingung.  Ustad Ridho memandang Varo prihatin. “Nak Varo kena guna-guna. Tapi Insya Allah bisa hilang dengan ijin Allah tentunya.”  “Gu… guna-guna? Pelet maksud bapak?” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD