Bab 2

1354 Words
Seharusnya, aku tidak memilih tinggal di kota ini, kota yang penuh luka untuk hidupku. Aku harus tinggal dengan seseorang yang pura-pura baik di hadapanku, dan yang lebih menyedihkan lagi, perlakuan tidak senonoh sering di lakukan oleh pamanku sendiri. Beruntungnya aku masih bisa menghindar dari semua itu. Dan sampai detik ini, aku masih menjaga mahkotaku yang sangat berharga ini. Sinar mentari pagi menyusup ke dalam ruangan yang sangat kecil melalui celah jendela yang tirainya sedikit terbuka. Kuregangkan otot-otot ku yang masih kaku di atas tempat tidurku. Aku beranjak keluar kamarku untuk membuat kopi di pagi hari. Duduk di teras belakang rumah dengan memandang pemandangan seadanya dan menghirup udara segar. Terlintas bayangan saat dulu, saat keluargaku masih lengkap, hingga tragedi yang menimpa keluargaku, yang harus memaksaku tinggal di kota ini. Tinggal bersama Bibi dan Paman yang sangat menyiksa hati. Aku yang seharusnya bisa sekolah di SMA favorit, kini hanya bisa sekolah di SMA yang jauh dari pemikiran ku. Iya, itu semua karena bibi dan pamanku yang memintanya. Bagaimana aku menolaknya, aku hanya bisa pasrah dengan semuanya, karena selama orang tuaku meninggal, aku di urus oleh bibi dan pamanku. Aku menyulut sebatang rokok yang aku bawa dari kamarku. Iya, aku merokok, merokok sudah menjadi kebiasaan ku selama aku hidup di kota ini. Rokok satu-satunya temanku saat pikiranku kalut karena peliknya hidupku ini. Bi Mimin, asisten rumah tangga pamanku, dari tadi memerhatikan ku yang sedang mengisap rokok yang ku Sulut dari pojok dapur, terlihat lap kesayangannya menempel di bahunya, dia berjalan menghampiriku yang sedang menikmati rokok dan segelas kopi hitam. "Non, sampai kapan non mau merokok? Bibi lihat semenjak non bergaul dengan non Aletta dan Non Rosa, Non Dewi sangat berubah. Dulu, bibi kagum dengan non yang anggun dan lugu," ucap Bi Mimin, aku hanya menyunggingkan senyuman datar padanya. "Bi, inilah hidup, terkadang orang baik akan menjadi jahat karena orang tersebut terbiasa terluka, dan hanya dengan berperilaku jahat, dia akan bisa bertahan hidup hingga saat ini. Itulah aku, Bi," ucapku dengan mengisap rokok ku dan membuang asap ke segala arah. "Bibi tau, non. Memang Nyonya dan Tuan seperti itu," ucap Bibi yang mencoba membuat hatiku sedikit tenang. "Mereka di mana, Bi?"tanyaku pada Bi Mimin. "Tuan dan Nyonya sedang ke luar kota, mungkin 3 atau 4 hari, non," ucapnya. "Ya sudah bibi tinggal ke dapur, nyiapin sarapan buat non. Non Dewi hari ini ke sekolah, kan?" tanya Bi Mimin yang hanya ku jawab dengan anggukan saja. Aku mematikan rokok ku, aku kembali ke kamarku untuk mengambil handuk, lalu mandi dan bersiap-siap berangkat sekolah. Kejadian semalam membuat aku sedikit trauma, untung saja malam ini paman tidak di rumah. Aku juga harus waspada, aku harus selalu mengunci pintu kamarku, agar paman tidak menyelinap masuk ke dalam kamarku lagi. **** Pagi itu, di sebuah Sekolah Menengah Atas, semua siswa berlomba berlari karena bel masuk sudah berbunyi. Semua siswa sudah masuk ke sekolahan, Pak Indro, Si Satpam garang namun menyenangkan dan lucu karena kumisnya pendek sebelah, mulai menutup gerbang. "Gila...! Indro jelek udah mau nutup tuh gerbang, Ca buruan...!" seru ku dan Alleta pada Rosa yang masih tertinggal jauh di belakang. "Gue capek, gila capek banget gue...!" Rosa berlari dengan terengah-engah. Ya aku memanggilnya dengan sebutan Oca. "Pak Indro...! tunggu...!" Aku dan dua sahabatku menerobos masuk gerbang. "Kalian kebiasaan sekali ! sudah pukul berapa baru berangkat, hah...!" kelekar Pak Indro. Aku tak menggubris ucapan Pak Indro, dan langsung nyelonong masuk ke dalam sekolah. "Eh... tunggu dulu, jangan harap kalian bisa masuk!" Pak Indro mencegahku dan sahabatku masuk ke dalam sekolah. "Ah...Pak Indro, biarkan kami masuk lah, pak. Nanti siang aku traktir bakso di kantin deh," ucap Letta. "Oke, kalian boleh masuk, ingat nona Alleta yang cantik, baksonya aku tunggu." Pak Indro melepaskan kami, kami berlari masuk ke kelasnya. Beruntung jam pertama gurunya tidak hadir, jadi kami tidak begitu gugup. Suasana riuh di dalam kelas 3 IPA 1 terdengar sampai luar. Aku masuk ke dalam kelas setelah Alleta dan Rosa masuk terlebih dulu. "Widih...jam berapa kalian baru datang," ucap Andre kekasih Rosa dengan merangkul kekasihnya itu. "Jam 9, sudah tau jam berapa, tanya. Tuh, Alleta kebiasaan, bangun telat minta di tungguin lagi." Rosa kesal dan duduk di samping Andre. "Beruntung ya, kalian bisa masuk. Kalau tadi gue tidak menyogok tuh Indro Jelek, gak mungkin kita masuk." Alleta tak kalah kesal dengan Rosa. "Isshh... sudahlah, kenapa kalian jadi ribut, sih! Gue mau mengerjakan PR Fisika dulu, kalian diam lah, sudah bising, menambah bising saja, huh!" tukasku sambil membuka buku tugas fisika yang semalam belum aku sentuh karena ada insiden dari pamanku. "Anak pintar. Baru ngerjain PR, hah?" sahut Raka yang duduk di belakangku. "Iya gue belum mengerjakan PR, sudah kamu jangan menambah keributan lagi, Ka." Aku segera membuka buku tugas Fisika ku. Aku mengerjakan nya dengan teliti. Iya, aku memang murid yang pandai di kelas, bukan aku sombong, ini sebuah kenyataan. Walaupun aku sekolah di sekolahan yang benar-benar tidak layak di sebut dengan sekolahan. Karena, semua siswa dan Siswi di sekolahan ini kebanyakan Siswa-Siswi yang nakal, suka ugal-ugalan, tawuran, dan kenakalan remaja lainnya. Raka masih saja memandangiku yang dengan cepat mengerjakan PR Fisika. IPA adalah pelajaran favoritku. Walaupun aku masuk di kelas IPA, tapi semua siswanya tidak seperti siswa di kelas IPA pada umumnya. Biasanya di kelas IPA semua siswa rajin dan culun, berkacamata tebal dan killer. Sedangkan di sekolahku, semua siswanya santai, tidak peduli dengan pelajaran. Aku benar-benar menyesal sekolah di sini, karena pergaulannya membuatku menjadi anak nakal dan berandalan, tapi aku tau batasnya. Maklum anak seusiaku masih labil dan mudah terpengaruh. Aku sudah menyelesaikan PR fisika ku, aku melihat ke arah Raka yang masih memandangiku dengan intens. "Awas, mata loe nanti kelilipan!" tukasku dengan nada sinis. "Kelilipan orang cantik bagiku tak masalah," ucap Raka dengan santainya. Aku menuju ke perpustakaan dari pada melihat teman-teman ribut di dalam kelas, dan yang lebih menjengkelkan lagi, yang memiliki pasangan di kelasnya, mereka tak segan-segan bermesraan di dalam kelas. Mungkin sudah hal wajar di dalam kelas melakukan seperti itu. Walaupun sudah wajar, aku tetap tidak suka melihatnya. Aku memilih pergi ke perpustakaan atau ke kantin saat jam kosong. Kadang aku memilih ke pojok sekolahan yang sepi hanya untuk menghabiskan sebatang rokok agar aku bisa lepas dari kekalutan dalam pikiranku. Aku duduk di kursi perpustakaan yang berada di pojok ruangan setelah mengambil beberapa buku yang ingin k*****a. Aku membaca dengan seksama, seorang guru Matematika, Pak Affan mendekatiku yang sedang asik membaca buku. "Kenapa kamu tidak di kelas, Dew?" tanya Pak Affan "Jam kosong, untuk apa aku riuh di kelas dengan teman-teman ku, pak," jawabku tanpa memandang Pak Affan. "Oh…" Pak Affan hanya menjawab seperti itu, dia masih memandangi wajahku yang sedang serius membaca buku. "Seharusnya siswa sepandai kamu tidak bersekolah di sini," ucap Pak Affan, dan aku hanya menyunggingkan senyuman saja padanya. "Dew, semester depan ada olimpiade matematika, jika kamu mau, kamu aku ikutkan. Hadiahnya beasiswa selama satu tahun. Jadi kalau menang, biaya untuk kelas 3 kamu free, karena mendapat beasiswa tersebut," ucap Pak Affan. Seketika aku menutup bukunya, dia mencerna ucapan guru matematika ku. "Kalau aku ikut, dan dapat juara, aku bisa terbebas dari Pamanku, dan aku juga bisa kabur dari rumah paman tanpa beban, karena aku sudah mendapat beasiswa jika aku juara," aku bergumam dalam hatiku sambil memikirkan ucapan Pak Affan. "Bagaimana, Dew?" tanya Pak Affan lagi. "Ehmm.iya pak mau," jawabku "Oke, mulai semester depan aku akan memberi kamu bimbingan 3 kali dalam seminggu. Persiapkan dirimu, buktikan bahwa sekolah kita yang hanya di pandang sebelah mata oleh mereka, memiliki siswa berprestasi seperti mu," ucap Pak Affan. "Iya, akan Dewi buktikan, pak," jawabku dengan tegas. "Pak, bolehkah jika bimbingan nanti, di sini saja, di perpustakaan, aku nyaman jika berada di sini," pintaku pada Pak Affan. "Oke. Saya pamit dulu, mengajar di kelas 1." Pak Affan pamit meninggalkanku. *Affan* Sudah lama aku selalu memerhatikan siswa ku yang bernama Dewi. Ada rasa iba saat aku melihatnya, gadis pintar namun pergaulannya salah, karena semua siswa di sekolahan ini memiliki tingkat kenakalan remaja sangat tinggi. Setiap tahunnya pasti ada siswa yang keluar karena hamil duluan. Aku masih memikirkan Dewi, entah kenapa nama Dewi selalu terlintas di benakku. "Sebenarnya hidupmu indah, Dew. Aku tau kamu sekolah di sini karena terpaksa. Aku janji, akan mengubah hidupmu lebih baik. Aku tak bisa memindahkanmu begitu saja dari sekolahan ini, aku sadar, aku hanya sebatas guru honorer di sini. Dan, ini saatnya aku membawa namamu untuk mengikuti olimpiade. Aku yakin, kamu pasti bisa, Dewi," gumamku sambil berjalan menuju ke ruang kelas 1.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD