1. Dia Hansel

2056 Words
"Hansel Isham Alderich!" Merasa terpanggil, anak lelaki usia tujuh tahun itu berhenti menarik-narik ujung baju bagian bawah pemuda di depannya. Wajah putih Hansel kini cemberut, terkesan ingin menangis. "Jangan mengganggu kakakmu! Sana, pergi bermain!" teriak pria setengah abad yang duduk di seberang meja. Hansel menangis, terduduk di keramik putih ruang kerja ayahnya sembari mengentak-entak kaki. "Aku hanya ingin bermain dengan Aidan! Ayah selalu membawa Kakak pergi padahal aku ingin mendengar cerita─" Prang! Sebuah pisau kecil dari laci meja dilempar sang ayah, mengenai vas bunga di sudut ruangan dekat pintu masuk. "Pergi! Atau pisau berikutnya mengenai kepalamu!" Hansel terbelalak, segera berdiri dan keluar ruangan. "Ibu ... Ayah mau membunuhku! Huwaaaa ... Ibu..." raungnya seantero koridor depan ruangan dalam istana megah itu. Aidan Irham Alderich, sang kakak, tertawa melihat ayahnya memijat pelipis. "Ayah tidak akan bisa membenci anak itu." Robert Canute Lavnik Alderich, sang raja di kerajaan Alderich itu menghela napas, sedikit menggeser kursi kebesaran saat meraih kertas di belakang meja kerjanya. "Aku tidak tahu masa depannya kalau dia terus seperti itu." "Dia masih anak-anak, Ayah." "Saat usia enam tahun, kau sudah berlatih memegang pedang dan menjamah urusan kerajaan." Aidan tersenyum kecil. "Aku harap Hansel tidak sepertiku," lirihnya. "Aku mendapat laporan dari Ghasan mengenai pergerakan aneh dari kediaman Langford. Mungkin kerajaan Alhanan akan menyerang kerajaan kita. Lincoln itu anjing setia Alhanan." Aidan membelalakkan mata dalam beberapa detik, lantas tersenyum kecil dan menaikkan kacamatanya yang melorot, kesepuluh jemari tangan bertautan di atas meja. "Maksud Ayah, Kerajaan Alhanan berani melanggar perjanjian damai yang sudah disepakati sejak puluhan tahun lalu?" "Kalau menyangkut perluasan wilayah kerajaan, bukankah melanggar perjanjian damai masih termasuk masalah sepele?"    ◊ ◊ ◊   "Ibu ... Ibu..." Hansel ke dapur kerajaan, berniat memgadu. Tampak seorang wanita dengan rambut disanggul tengah sibuk di depan pemanggang bersama beberapa pelayan. Dialah sang ratu kerajaan Alderich, Myra Qiranda Glerine. "Ibu, Ayah mau membunuhku dengan pisau. Padahal aku hanya ingin bermain dengan Kakak." Dia terus menarik-narik ujung bawah celemek Myra, sambil mengikuti ke mana pun wanita itu bergerak. "Kakak belum memberi tahu jawaban teka-teki minggu lalu. Dia pasti akan pergi lagi ke luar kerajaan tanpa mengatakan jawabannya. Ayah juga mengusirku, Bu. Ayah mau membunuhku," rengeknya. Myra meletakkan kue bentuk bintang di atas nampan, memberi kode kepada pelayan untuk mengambil alih, lalu dia jongkok di hadapan Hansel. "Benarkah Ayah bilang begitu?" tanyanya dengan raut seolah terkejut dan prihatin. Hansel mengangguk mantap, mukanya memerah. "Iya, Bu..." Dia menangis. "Ayah jahat, kan, Bu?" Myra memeluk putra bungsu Robert, dan mengelus-elus punggung anak itu penuh sayang. "Berani sekali Ayahmu itu mau membunuh putra kesayangan Ibu. Putra terbaik Ibu yang akan menjadi pewaris kerajaan Alderich ini tidak berhak mendapat ancaman seperti itu. Akan Ibu pukul kepala ayahmu nanti." Hansel melepas pelukan, iris hitamnya seolah berbinar. "Benarkah? Ibu akan memukul kepala Ayah? Ibu tidak takut sama Ayah? Ayah, kan Raja, Bu." "Kalau ayahmu raja, ibumu ini adalah ratu." Myra kemudian menghapus air mata di pipi Hansel, kemudian merapikan pin lambang kerajaan Alderich di leher baju putranya. Pin itu berbentuk bulat dengan simbol kerajaan Alderich yakni perisai keemasan, yang di dalam perisai itu terdapat gambar seekor naga putih. Di bagian atas perisai terdapat bentuk bintang, dan di atas bintang itu tertulis huruf A dan R, inisial untuk AldeRich. "Tidak ada yang Ibu takuti kalau menyangkut putra kesayangan Ibu, bahkan Raja sekalipun." Myra merapikan pula rambut kecokelatan Hansel yang sedikit berantakan. "Sekarang pergilah bermain dengan Vio, biar Ibu yang bicara dengan Ayah." "Yeey!" Hansel memeluk leher Myra, mengecup pipi tirus ibunya itu. "Hans sangat sayang Ibu," katanya, lalu berlari ke luar dapur. "Anda sangat memanjakannya, Yang Mulia. Jika Yang Mulia Raja tahu, Anda bisa ditegur." Myra tersenyum bangga melihat kelincahan Hansel. "Aku tidak peduli. Asal Hans bisa hidup normal layaknya anak seusianya, itu sudah cukup. Tidak akan kubiarkan Hans mengikuti jejak keturunan Alderich yang lain." Myra membantu si pelayan menyiapkan hidangan. "Bagaimana dengan putrimu? Apa kau sudah pikirkan tentang menyekolahkan Vio di tempat yang sama dengan Hansel?" Wanita muda yang merupakan pelayan pribadi Myra itu menggeleng, kedua tangannya membentuk gestur 'tidak'. "Saya rasa tidak perlu, Yang Mulia. Yang Mulia sudah terlalu baik kepada saya yang hanya pelayan ini. Saya─" "Aku tidak pernah menganggapmu pelayan, Dani. Kau saja yang selalu memanggilku Yang Mulia, Yang Mulia. Aku bosan mendengar Yang Mulia-mu itu." Dani menggaruk tengkuknya, tertawa kikuk. "Saya sudah terbiasa sejak di kerajaan Alderich, dan saya tidak bisa sembarangan bertutur tidak sopan." "Sudahlah! Aku kesal denganmu." Dani hanya bisa tersenyum kecil melihat Myra yang cemberut.   ◊ ◊ ◊   Hansel ke area Timur istana yang merupakan base camp para prajurit kerajaan, tepatnya ke bagian tempat latihan pedang. Dia mengintip kesibukan para pria yang melatih kemampuan berpedang, dan melihat betapa banyak keringat yang mereka keluarkan. Saat mendekat ke sana, Hansel sampai harus menutup hidung karena bau badan para prajurit itu. "Yang Mulia Pangeran!" seru beberapa prajurit yang menyadari kehadiran Hansel, lantas mereka semua berlutut. "Apa yang membawa Yang Mulia Pangeran mengunjungi tempat rendahan para prajurit ini? Jika Yang Mulia Pangeran membutuhkan sesuatu, Yang Mulia Pangeran hanya perlu membunyikan lonceng atau meminta seorang pelayan untuk memanggil prajurit ke kediaman Yang Mulia Pangeran." Ini suara pemimpin pasukan tempur kerajaan Alderich, namanya Ghasan. "Aku juga ingin berlatih pedang!" kata Hansel dengan percaya diri, tapi masih menutup hidungnya ketika berbicara. "Oh, ya, ampun, kalian bau sekali." Beberapa pengawal di sana tertawa pelan di belakang Ghasan. Ketika Ghasan melirik mereka, tawa pun berakhir. "Maaf, jika keringat kami membuat Yang Mulia Pangeran tidak nyaman. Sekali lagi saya mohon maaf Yang Mulia Pangeran, Yang Mulia Pangeran belum diizinkan menyentuh pedang." Perkataan Ghasan itu membuat Hansel cemberut. "Kenapa tidak diizinkan? Apa susahnya memegang pedang!" Hansel lantas mengambil salah satu pedang di atas peti kayu besar, dan dia langsung merasa kewalahan karena berat senjata itu. "Ini ... berat sekali ... Hah ... Hah ... Hah..." ujarnya sembari berusaha memegang pedang dengan susah payah, napasnya sampai terputus-putus, bahkan sudah berkeringat. Ghasan berdiri, mengambil alih pedang yang dipegang Hansel. "Maafkan kelancangan saya, Yang Mulia Pangeran, tapi Yang Mulia Pangeran harus meninggalkan tempat ini." Hansel buang muka, rasanya dia sangat malu setelah gagal mengangkat pedang besar Ghasan. Demi harga dirinya sebagai pangeran, dia tidak mau mundur begitu saja sebelum mempermalukan kembali lawannya lima kali lipat. Maka Hansel berkata, "Kalau begitu, temani aku bermain, Ghasan!" Ghasan kembali berlutut, menunduk di depan Hansel. "Baik Yang Mulia Pangeran, apa yang harus saya lakukan?" Hansel menyeringai.   ◊ ◊ ◊   Viona, gadis pelayan yang merupakan putri tunggal Dani, telah berkeliling istana untuk mencari Hansel. Sesuai perintah Myra, dia harus menemani sang pangeran bermain, tapi sosok anak lelaki manja itu belum juga terlihat sejak tadi. Sampai akhirnya, Viona bergerak ke bagian Timur istana. Pemandangan yang dilihat Viona membuat gadis itu terpaku di tempat, dia terbelalak melihat Hansel menunggangi punggung Ghasan. "Lari lagi, kuda!" teriak Hansel kepada Ghasan yang didudukinya. "Lebih cepat! Lebih cepat! Hahahaha..." Beberapa prajurit yang melihat Ghasan berperan menjadi kuda itu hanya bisa berlutut, menunduk malu. Viona lah yang kemudian berani mendekat, berdiri berkacak pinggang di depan Hansel dan Ghasan. "Apa yang kau lakukan, Hans?!" omel Viona. "Cih! Kau mengganggu kesenanganku," kata Hansel, dia bersedekap. "Minggir, kudaku tidak bisa lewat!" Viona mendekat, lalu menjitak kening Hansel. Tindakannya barusan membuat takut semua prajurit yang menunduk, bahkan Ghasan juga ketakutan di sana. Viona bilang, "Kata Ibu, Tuan Ghasan adalah pengawal pribadi raja, orang paling kuat dan disegani di seluruh daratan kerajaan Alderich, bahkan kerajaan Alhanan dan Asyira juga mengakui Tuan Ghasan! Tidak itu saja, kata Ibu, setiap kali Tuan Ghasan melintasi suatu daerah, orang-orang akan memberinya jalan dan menunduk di hadapannya! Tapi apa yang kau lakukan ini, Hans?!" Hansel turun dari punggung Ghasan, mengelus-elus keningnya yang dijitak Viona. Tidak suka dipermalukan, Hansel balas menjitak Viona dengan lebih keras. "Beraninya pelayan sepertimu menjitak keningku! Berlutut sekarang!" teriak Hansel. Viona mengusap dahinya santai, tidak merasakan sakit sama sekali, lalu dia tertawa. "Hahaha... Pangeran apa yang bahkan di usia tujuh tahun masih menangis di pelukan Yang Mulia Ratu." "Viona, Kurcaci!" teriak Hansel murka. "Ya, Hans?" tanya Viona dengan nada mengejek. Hansel menarik rambut hitam panjang Viona, memahami benar kelemahan gadis itu. "Berlutut sekarang!" "Auh. Lepas, Hans, lepas! Sakit!" Ghasan ingin menolong Viona, tapi tidak berani melawan perintah Hansel, begitu pula dengan prajurit lain. "Tidak akan pernah!" Viona lantas menendang kaki Hansel, lalu berlari menjauhi area pelatihan prajurit. Setelah berlari beberapa langkah, dia berbalik, menjulurkan lidah untuk mengejek Hansel yang kesakitan hanya dengan tendangan pelannya itu. "Hei Kurcaci, kau tidak akan bisa lari dariku!" "Coba saja kejar aku, Hans!" Viona mengangkat rok panjang kotak-kotak biru itu sampai batas lutut, berlarian di rerumputan hijau yang luas. "Kata Ibu, yang kalah adalah pecundang." "Kalau kau tertangkap, akan kugunting rambutmu itu!" Hansel tersenyum selagi berlari mengejar Viona. Ghasan dan prajurit lain bernapas lega, mereka tertawa pelan melihat interaksi Viona-Hansel. Yah, siapa orang di istana ini yang tidak tahu hubungan Pangeran-Pelayan itu adalah teman baik? Hansel dan Viona memang sering bertengkar, tapi keduanya selalu saling melindungi. Sementara itu, Viona berlari ke bagian belakang istana Timur, tepatnya ke taman bunga kerajaan milik Myra. Dia sembunyi di salah satu pohon yang merupakan batas istana dan dinding tinggi istana. Di luar dinding ini ada sebuah hutan lebat yang tidak boleh didatangi siapa pun. Rumornya, setiap orang yang masuk ke sana, tidak akan pernah keluar lagi. "Vio, kau di mana?" teriak Hansel, napasnya terengah-engah. Viona terkikik pelan di tempatnya sembunyi. Kesal dan lelah, akhirnya Hansel duduk di dekat taman. Dia berpikir sejenak, lalu tersenyum kecil, kemudian berniat memetik mawar putih dari taman. "Hansel!" Viona akhirnya muncul, dan Hansel malah menyeringai. "Kata Ibu, jangan memetik mawar kesukaan Yang Mulia Ratu!" Hansel berlari ke arah Viona. Dia yang tadi berniat memetik mawar merupakan taktiknya untuk memancing gadis pelayan itu keluar. Hansel sangat paham kalau Viona akan mengomelinya jika memetik mawar putih kesayangan Myra. Viona terkejut saat Hansel hampir menangkapmya, dia segera berlari menghindar. "Kau licik, Hans," keluh Viona, "tapi tidak akan bisa menangkapku! Hahaha..." Tiba-tiba... Bruk! Viona terjatuh karena menabrak seseorang berjubah hitam yang memiliki tinggi badan sepertinya. Dia fokus menatap iris merah di balik tudung seseorang itu. Tiba-tiba seperti ada sinar kecil bentuk lupis yang berwarna keperakan, berkilau dari balik tudung. "Aaaaaaaaa!" teriak Viona dengan tubuhnya yang gemetar ketakutan. Hansel segera mendekat, mendorong sosok berjubah di depan Viona. "Siapa kau?" tanyanya sembari bersikap siaga, seolah melindungi pelayan kecilnya di balik punggung. Sosok berjubah bangkit, tudungnya terbuka. Angin menerbangkan rambut keemasan sebahu milik sosok itu, membagikan aroma bunga Lily dari tubuh mungilnya. Saat berbalik, terlihat iris merah layaknya vampir di film, wajah putih pucat tak berekspresi, ada lubang kecil bentuk lupis yang bersinar keperakan di kening, bulu mata yang lentik, dan bibir tipis kemerahan. Hansel terpaku. "Kau sangat cantik," ujarnya tanpa sadar. Viona menoleh ke Hansel, wajahnya bingung. Menurutnya anak perempuan itu menyeramkan, bukan cantik. Sosok berjubah menaikkan kembali tudungnya. Saat melakukan hal itu terlihat ukiran panjang seperti bentuk meliuk-liuk di tangannya. Hansel pikir menyerupai akar tanaman atau ular, dia tidak yakin karena hanya melihat sekilas. Selain itu, ada pula sebuah gelang yang tergantung sebuah pin lambang burung elang melebarkan sayap, di dalam perut burung itu terdapat perisai dengan gambar bintang, padi dan pedang. Hansel tahu lambang pin itu adalah milik kerajaan termahsyur dalam sejarah. Anak perempuan itu hendak melangkah, tapi Hansel menahan pergelangannya karena dia ingin tahu tentang asal-usul anak perempuan tersebut. "Auh! Panas, panas!" teriak Hansel sesaat setelah memegang tangan si sosok berjubah. "Saat bulan besar tampak dari jendela, kau akan melihat laut merah," kata anak perempuan itu. Hansel terpaku, Viona di sebelahnya ikut terdiam mendengar suara merdu namun terkesan dingin. Sosok berjubah kemudian menyerahkan liontin Hansel yang tadi terjatuh, lalu melompati tembok istana yang tinggi itu dengan mudah. Dia berlari ke hutan. Viona dan Hansel terbengong di tempat dengan mulut sedikit terbuka. "Yang Mulia Pangeran!" teriak seorang remaja lelaki bermata biru. Pemuda ini langsung jongkok di depan Hansel, lalu memegang tangan sang pangeran yang memerah seperti melepuh akibat terbakar. Namanya Dieter, putra bungsu Ghasan. Di usianya yang menginjak 14 tahun, dia telah terpilih menjadi pengawal pribadi sang pangeran. "Yang Mulia tidak apa-apa?" tanya Dieter, yang meniup-niup telapak tangan Hansel. Hansel memegang liontinnya yang tadi terjatuh, lalu memasukkan kembali ke saku celana. "Siapa gadis itu, Dieter? Dia hebat sekali bisa melompati tembok. Bawa dia ke hadapanku! Aku ingin menanyakan banyak hal kepadanya." Dieter mengernyit, kikuk ketika Hansel begitu semangat ingin mengenal gadis bertudung. "Tapi Yang Mulia─" "Siapa namanya?" tanya Hansel, iris hitamnya bersinar karena penuh semangat. "Cibil."   ◊ ◊ ◊
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD