Cibil (2)

1044 Words
"Ah, ayah bagaimana?" racau Dieter. Sekarang Dieter meragu, ingin ke istana yang terbakar untuk mencari ayahnya, atau mengejar pangeran. Jika dia ke istana, ada kemungkinan jejak Hansel akan menghilang. Dieter tidak tahu pasti ke mana Hansel akan dibawa pergi oleh Lincoln. Tapi jika dia mengikuti Hansel tanpa ayahnya, itu sama saja sia-sia. "Ini saran sebagai teman, kejarlah pangeran. Percuma ke istana yang terbakar," kata Cibil, yang rupanya mengikuti Dieter ke pinggiran hutan. Dieter yang sedang dalam amarah tinggi, seketika mengeluarkan pisau, secepat kilat mengarahkan benda tajam itu ke sumber suara di belakangnya. Pipi kanan Cibil pun mendapat sayatan dari pisau Dieter. "Aku sangat membencimu!" seru Dieter, penuh penekanan. Iris biru itu menatap tajam Cibil sesaat, lalu berlari menuju istana Alderich. Cibil masih menatap Dieter selama beberapa detik. Dia yang semula berencana masuk kembali ke hutan, malah berhenti. Ditatapnya beberapa kereta kuda yang bergerak menjauhi istana, lalu kembali mengingat tatapan kebencian Dieter barusan. "Sejak awal aku memang sendiri." Cibil mengambil langkah pertamanya, tapi dia malah mengingat Dieter yang tersenyum saat memanggangkan ikan untuknya. Sang peramal kembali berhenti. "Mungkin tak apa kalau ikut campur sekali saja," gumamnya. Cibil mengulurkan tangan, ukiran meliuk di tangan kanannya menjelama menjadi ular putih kecil. Baru saja hendak memberi perintah, bayangan nenek tua rambut putih sembari memegang tongkat, melintasi pikirannya. "Kau satu-satunya kasus langka di garis keturunan peramal ini. Setengah dirimu adalah manusia dan lainnya iblis. Karena itulah kau punya kemampuan melebihi peramal, dan bisa menyamai penyihir. Tapi ingat satu hal, Cibil, kau hanya boleh meramal. Jangan pernah memakai kekuatanmu untuk ikut campur urusan mereka!" "Memangnya apa yang terjadi kalau aku ikut campur?" tanya Cibil yang saat itu berusia 2 tahun. "Kekuatan itu akan membuatmu menjadi iblis." Cibil mengenyahkan kenangan lama tersebut, tapi saat akan mengambil tindakan untuk menolong Hansel, dia malah diingatkan dengan kutukan sang nenek. "Dasar iblis! Beraninya kau menghisap energi kehidupanku! Aku mengutukmu! Kau akan menjadi b***k dari seseorang yang haus kehancuran, dan saat kau menyentuh orang itu meski sehelai rambut dan seujung kuku, kau akan menghilang! Aku mengutukmu akan mengalami penderitaan selama menjadi b***k dari orang itu! Aku mengutukmu, Cibil!" Cibil seketika terduduk di dekat akar pohon setelah mengingat kutukan neneknya. Dia melakukan respirasi berulang kali. Jantungnya berdetak cepat dan keringat mulai bermunculan di keningnya. "Sudah mati, tapi masih cerewet." Cibil memgembuskan napas, lalu memejam sejenak. "Lebih baik tidak ikut campur." Dia bangkit, kembali berjalan memasuki hutan. Ular putih yang tadi keluar, kembali ke wujud gambar meliuk di tangannya.   ◊ ◊ ◊   Dieter tak bisa mencari celah untuk masuk ke istana yang terbakar hebat, bahkan sebagian bangunan sudah roboh. Badannya gemetar ketakutan, air mata terus membasahi pipi, ketika setiap langkah yang dia ambil hanya memperlihatkan mayat berserakan penuh darah. Pikiran buruknya pun mulai memenuhi benak. "Ayah!" teriak Dieter, histeris, sudah berlutut dengan pasrah di depan pintu masuk utama istana. Beberapa saat kemudian, seorang pria dengan badan terbakar dan penuh luka keluar dari pintu besar itu. Ghasan! Dieter segera melepas bajunya dan berusaha memadamkan api di tubuh Ghasan. "Bertahanlah, Ayah." Dia sesenggukan. "Kumohon bertahanlah." Ghasan melepas Viona yang ternyata didekapnya sedari tadi. Terlihat wajah anak perempuan itu penuh rona merah, tatapannya kosong seperti hilang jiwa. "Jagalah Viona," lirih Ghasan, kemudian terkapar di dekat Viona yang terduduk bengong. "Ayah, bertahanlah!" Tangan Dieter gemetar saat memadamkan api kecil di tubuh ayahnya. "A-aku akan jadi anak yang baik, Ayah. Aku akan mendengar semua perintah Ayah. Aku mohon bertahanlah." Dieter belum menyadari ayahnya sudah tak bernapas. "Aku akan belajar di akademi seperti kemauan Ayah. Aku akan menjaga pangeran kesayangan Ayah. Aku tidak akan mencuri kue buatan Yang Mulia Ratu lagi. Aku akan rajin berlatih pedang juga, Ayah. Aku akan menguasai militer dan menjadi tameng untuk pangeran. Jadi, kumohon, bertahanlah, Ayah! Ayah!"   ◊ ◊ ◊   Hansel diguyur seember air ketika dua hari kemudian dia tersadar di sebuah daerah asing, dengan sebuah dinding besar nan tinggi di depannya. Di atas dinding-dinding itu terpasang bendera dengan lambang dua singa saling berhadapan yang memegang perisai bertuliskan 'Alhanan'. Hansel tahu bahwa dirinya telah memasuki wilayah kerajaan Alhanan. "Kenapa Tuan Lincoln menyelamatkan anak lemah sepertinya ini? Kalaupun dijadikan b***k, bukankah dia hanya akan menyusahkan nantinya?" tanya salah satu prajurit yang menunggang kuda kepada temannya. Kuda dari prajurit yang bertanya tadi kembali berjalan setelah gerbang besar kerajaan Alhanan terbuka, kuda itu menyeret Hansel, memaksa sangat pangeran berjalan tanpa alas kaki. "Dia ini pangeran kerajaan Alderich. Kalau dijual, harganya pasti mahal. Lihat kulitnya yang putih bersih itu, pasti banyak bangsawan di kerajaan Alhanan yang ingin membelinya. Hahaha..." "Hei, hei, aku tahu ke mana arah pembicaraanmu. Dia terlalu kecil kalau harus dijadikan pemuas nafsu kaum bangsawan yang seksualnya menyimpang." "Hahahaha... Justru karena masih kecil itu makanya mereka akan membayar mahal." "Ckckck, aku tidak mengerti dengan beberapa bangsawan pria yang lebih menyukai anak lelaki. Bukankah milik wanita lebih nikmat rasanya?" "Hei, kalian berdua, jangan mengoceh terus! Cepat turun dari kuda dan beri penghormatan kepada pasukan yang membawa Yang Mulia Raja Alhanan." Hansel menatap takut setiap orang di sana. Air matanya telah kering, begitupun dengan jejak darah dan keringat, tapi rasa sakit di sekujur badannya masih terus berdenyut ngilu. Hansel malah mengingat kembali pada kejadian kemarin malam.   ◊ ◊ ◊   [Perpustakaan Istana Alderich, malam sebelum p*********n]   "Saat melihat bulan besar dari jendela, aku akan melihat laut merah..." Hansel bergumam sembari jalan bolak-balik di lantai perpustakaan. "Kau masih memikirkan perkataan gadis menyeramkan tadi?" Viona sibuk melompat-lompat menggapai rak atas. Hansel menarik kursi untuk pijakan, kemudian mengambilkan buku incaran Viona. "Dia tidak seperti bercanda saat mengatakannya. Pasti dia juga ahli teka-teki seperti Aidan. Aku juga penasaran dengan caranya melompati tembok tinggi itu. Huh, sudah seperti sirkus. Kau, tahu, kan, aku sangat suka sirkus." Viona mendecak-decak sembari merapikan roknya yang kusut. "Kau terlalu maniak sirkus dan teka-teki. Tapi aku pikir, yang dikatakan gadis itu bukanlah teka-teki. Auh! Kenapa kau menjitakku?" "Isi otakmu hanya makanan dan dongeng, bagaimana mungkin kau tahu itu teka-teki atau bukan." Viona cemberut. "Aku juga tidak yakin kau memikirkan perkataannya. Kau hanya memikirkan wajah gadis itu, kan?" "Hem, kau benar," jawab Hansel cepat, membuat Viona membuka mulut karena syok. "Dia cantik, bukankah sangat jarang ada gadis berambut emas dengan mata merah? Aku bertaruh rambutnya bisa mengeluarkan sinar kalau di tempat gelap, seperti tanda di dahinya itu. Pasti cantik sekali. Dia bagai peri dalam dongeng yang kau baca. Yah, beberapa buku legendanyang pernah k****a juga mengatakan kalau peri itu nyata. Mungkin saja Cibil adalah salah satu keturunan peri." Viona melempar buku dongeng ke lantai. "Teruslah memikirkannya. Kau bahkan hapal namanya. Aku mau makan malam saja." "Hahaha... Apa kau cemburu, Kurcaci?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD