2. Kedatangan

2126 Words
~Happy Reading~ Keesokan harinya mereka sudah sampai di kota tujan dan sedang menuju kos-kosan baru mereka. “E-eh tungguin gue napa!!” teriak Dera yang sudah tertinggal jauh dari Farah, Lisa dan Nando. “Kalian budeg ya? Tungguin gue, berat nih kopernya.” Keluhnya lagi. Ia terlihat kesusahan menarik koper pink miliknya dan sebuah tas kecil dipunggung. Akhirnya mereka bertiga berhenti tanpa melihat kebelakang, kearah Dera. “Nah gitu dong tungguin gu—“ kalimat Dera terpotong ketika ia melihat apa yang dilihat teman-temannya saat itu. “Ya-yakin ini kos-kosannya, Der?” tanya Lisa. Dera meneguk ludahnya, “Menurut alamat sih i-iya ..” Farah melirik kearahnya dengan tatapan menusuk, “Pantesan murah kalo kos-kosannya gini.” “Yaelah Far, mana gue tau. Kan yang ngurusin nyokap gue, lagian ini satu-satunya kos-kosan yang deket dengan tempat kerja kita.” “Udah, santai aja kali. Lama-lama juga betah kok.” Sahut Nando menarik kopernya untuk lebih dulu masuk ke kos-kosan itu. “Tumben lo baik Mput. Iya men temen, lama-lama pasti betah ..” “Iya betah ketakutan!” jawab Nando sedikit berteriak. “Heh awas lo yaa ..!!” Dera segera menyusul Nando hanya sekedar untuk mencubit lengannya. “Bukan cuma gue kan yang ngerasain?” tanya Lisa memastikan ke Farah. “Iya, gue tau kok Lis. Tapi kita pasti baik-baik aja kalo tetap sama-sama.” Lisa tersenyum, mencoba untuk mempercayai perkataan Farah. Mereka semua berusaha yakin akan baik-baik saja. Tanpa tahu apa yang akan terjadi nantinya. Kos-kosan tingkat tiga yang harusnya terlihat mewah malah terlihat menakutkan dengan penampilannya yang seperti tak terurus, dipenuhi rumput-rumput liar yang tumbuh di dinding beserta lumut yang mengerak. Lantai-lantainya juga dipenuhi dengan noda tanah yang sepertinya tidak pernah dibersihkan. Mereka tidak tahu pasti kenapa orang-orang bisa hidup disini tanpa pernah dibersihkan sama sekali. Pintu utama terbuka, menampilkan sebuah kemegahan yang tidak mereka bayangkan sebelumnya. Desain klasik yang disajikan sungguh memanjakan mata mereka, lukisan-lukisan dan berbagai barang antik terpajang rapi di setiap dinding kamar. Setiap satu lantai terdiri dari enam kamar, tangga utama yang besar terletak di tengah-tengah ruangan. Sementara itu, ruang tamu yang sedang mereka lihat sekarang sangatlah leluasa. Sengaja didesain untuk para anak kos berkumpul disana. Mereka bertiga terperangah, tidak ada satupun yang memulai percakapan hingga akhirnya sebuah celetukan keluar dari bibir Dera. “Gak salah pilih nyokap gue.” “I-iya bener, de bes deh buat nyokap lo,” balas Nando mengacungkan jempolnya. Sementara Farah hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “btw kita kamar nomor berapa nih?” tanya Lisa. Dera kembali melihat secarik kertas yang sedari tadi digenggamnya untuk kembali memastikan, “Kamar nomor 10, lantai dua. Sedangkan Mput kamar 11 lantai tiga.” “Apa kita main nyelonong gitu aja ya? Kok sepi sih ni kos-kosan,” keluh Lisa. “Ya mau gimana lagi? Gak mungkin kan kita ngetuk pintu kamar yang orangnya gak dikenal?” sahut Farah. “Iya, yuk mending kita langsung naik aja,” saran Nando yang disetujui mereka semua. Sesampainya mereka dilantai dua, mereka bertiga menilik satu persatu nomor kamar yang mereka lewati. “Mana nih nomor 10? Yang ini nomor 8,” keluh Dera. “Sabar Der, berarti sebentar lagi nomor 10. Kayaknya yang diujung sana deh.” Jawab Lisa. “Dia emang anaknya gitu Lis, gak sabaran,” sahut Farah membuat Dera mengerucutkan bibirnya kesal. “Ya gak apa-apa lah, yang penting imut,” kata Lisa kemudian menepuk-nepuk kepala Dera pelan. Sudah dari awal bertemu ia gemas dengan Dera yang mungil, terlihat seperti adik kecilnya dirumah. Ditambah lagi Dera hanya setinggi bahu Lisa. “Beneran? Iih makasih Lisa..” “Idiih jijik gue,” balas Farah. “Bilang aja lo iri Far karna lo itu gak ada imut-imutnya. Udah badan kayak tiang listrik, rambut panjang kayak nenek sihir, dih!” Farah menoleh kearah Dera dengan mata berapi-api, “Lo nya aja yang cebol, sini gue ketekin!” Farah merangkul Dera erat-erat diketeknya. “Lepasin Far! Sumpah busuk banget nih!!!” ronta Dera berusaha memisahkan dirinya dari Farah. “Makanya jangan berani ngatain gue lagi,” kata Farah kemudian melepaskan Dera. “Ueeekk... gak nyangka gue ada cewek baunya kayak lo!” “Apa?! Mau gue ketekin lagi hah?” “Eh enggak enggak, ampun .. ampun ..” Ditengah-tengah keributan mereka, Lisa akhirnya menemukan kamar yang bernomor 10 ditepat diujung ruangan. “Der, Far, nih kamar kita.” Farah dan Dera segera menyusul Lisa dengan tergopoh-gopoh sambil berlari menarik koper mereka masing-masing. “Mana kuncinya?” tanya Farah, Dera dengan sigap mengeluarkan sebuah kunci dari tas kecil di punggungnya tadi. “Ini. Ayo cepetan buka, Far.” Ceklek! Pintu terbuka, memperlihatkan sebuah ruangan putih polos dengan satu ranjang bertingkat disebelah kiri dan ranjang tunggal disebelah kanan. Sementara sebuah jendela berterali ditengah-tengahnya. “Ehm, not bad,” celetuk Dera. “Lumayan sih,” kata Farah yang langsung masuk kekamar. Melihat itu, Lisa dan Dera juga mengikuti Farah dari belakang. “Aaah akhirnya ...!!” teriak Dera yang langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur, sementara meninggalkan kopernya begitu saja. Berbeda dari Dera, Farah dan Lisa lebih memilih untuk berkemas, mengatur koper mereka dan mengganti pakaian untuk beristirahat selanjutnya. “Ganti baju dulu gih!” seru Farah sambil mencolek-colek tubuh Dera. “Apaan sih? Gak bisa liat orang seneng aja.” “Iya Der, mending lo ganti baju dulu. Nanti kasurnya bau lho,” jelas Lisa. Dera melemparkan ponselnya kesembarang tempat, mau tak mau ia harus mengikuti nasihat dua temannya itu. “Kalian itu sama aja,” ujarnya sesaat sebelum masuk kekamar mandi yang ada didalam kamar mereka. Menggantikan posisi Dera, Farah berbaring leluasa di kasur tunggal itu. “Lo ngerasain aura negatif yang kuat gak, Lis?” Lisa yang sedari tadi duduk ditepi kasur sambil memainkan ponselnya pun menghentikan sementara kegiatannya. “Iya, Far. Ngomong-ngomong lo ada liat sesuatu disini?” “Yah .. sejujurnya, sebelum kita masuk tadi gue sempat liat satu sosok di jendela paling ujung lantai tiga. Dia merhatiin kita sampai kita bener-bener masuk ke kos-kosan.” “Beneran, Far?” “Iya Lis, tapi gue mohon ya lo jangan bahas ini didepan Dera. Gue gak mau dia jadi parnoan tinggal disini.” “Tenang aja, gue gak akan bilang apapun ke Dera.” Brak! Dera menggebrak pintu toilet, ia keluar dari sana dengan wajah mengerut. “Lo kenapa?” tanya Farah khawatir. “Gila! Nih toilet baunya amis banget. Mual gue ciumnya,” Dera menutup mulutnya, berusaha agar ia tidak muntah gara-gara bau amis yang menyengat. “Kok bisa bau amis? Lo lagi dapet ya?” sahut Lisa. “Gak kok, mana gue tau kenapa ni toilet bisa tiba-tiba bau kayak gini. Padahal didalamnya juga gak ada apa-apa.” “Aneh banget,” celetuk Lisa. “Udah-udah, gak usah dipikirin. Mending kita makan mie dulu, gue laper nih.” Timbal Farah. Farah mengeluarkan beberapa mie instan dari dalam kopernya. Ia seorang penggemar berat mie walaupun dulunya bukan anak kos-kosan. Baginya, mie instan itu adalah makanan favorit sejuta umat. “Dapurnya dimana nih?” “Kata nyokap gue dapurnya ada di ruangan paling ujung. Setiap lantai itu ada satu ruangan yang khusus jadi dapur umum gitu, Lis.” “Yaudah cepetan kita kesana,” ajak Farah. Selama menyusuri jalan menuju dapur yang terbilang cukup jauh mereka mengeluh tentang lantai yang sangat kotor seperti tidak pernah di pel. “Nyesel gue gak pake sendal!” gerutu Dera. “Kebiasaan sih nyeker, tapi jangan lo bawa-bawa ke kota juga dong Der,” tutur Farah. Farah dan Lisa memang sudah menyediakan sendal jepit untuk jaga-jaga saja. Dan kebetulan hari pertama langsung terpakai. “Lo merasa aneh gak sih kenapa nih rumah megah kotor banget?” tanya Lisa ke Farah. “Pasti ada alasan, kenapa harus kotor ..” “Kalian ngomong apa sih? Gak jelas banget,” protes Dera yang merasa hanya ia yang tidak mengerti percakapan antara Lisa dan Farah. “Gak ada apa-apa kok, tuh kita udah sampai di dapur,” ujar Lisa. Mereka bertiga masuk ke dapur, memerhatikan keadaan sekitar dengan seksama. Di ruangan ini terdapat dua kompor gas bertungku dua yang terletak masing-masing di sudut. Sedangkan dinding sebelah kiri berisikan lemari piring dan berbagai kebutuhan lainnya para penghuni kos-kosan. “Baru kali gue liat kos-kosan selengkap ini, Far.” “Iya, gue juga.” Menit selanjutnya mereka sudah mulai memanaskan air untuk merebus mie mereka masing-masing. Lisa yang mulai tak tahan dengan keadaan lantai yang kotor itupun berinisiatif untuk menyapunya ketika ia menemukan sebuah sapu tua di samping lemari piring. Ia mulai membersihkan di bagian depan, namun sedetik kemudian ia tertegun karena melihat sepasang kaki berdiri tepat di depannya. Ia melirik keatas, mendapati seorang perempuan bermuka masam. “Ma-maaf, kak.” Perempuan itu tak langsung menyahut permintaan maaf dari Lisa melainkan memperhatikan wajah mereka bertiga satu persatu. Keningnya mengerut, “Kalian penghuni baru ya disini?” Glek! Mereka bertiga saling berpandangan, tak satupun yang berani menjawab. “Jawab!” “I-iya kak, kita baru hari ini pindah kesini,” jelas Lisa memberanikan diri. “Dasar gak tahu diri! siapa yang nyuruh kalian bersihin dapur?! Kalo gak tau aturan jangan sok tau!!” Lisa semakin merasa bersalah, “Maaf kak, kita bener-bener gak tau.” Perempuan itu memutar bola matanya kesal, “Yaudah sekarang taruh itu sapu ketempatnya lagi. Dan jangan berani-beraninya kalian bersihin ruangan apapun. Kecuali kamar kalian sendiri. Mengerti?” Mereka bertiga mengangguk cepat, “Iya kak, kita ngerti.” “Bikin ulah saja!” jengkelnya kemudian langsung pergi tanpa mereka tahu namanya. “Maaf ya guys, gara-gara gue kalian jadi ikut kena marah.” “Gak apa-apa kok Lis,” Farah mencoba menenangkan Lisa. “Ini airnya udah mendidih mana mie nya?” pinta Dera. Farah menyerahkan mie yang ia bawa tadi. “Loh kok satunya mie goreng sih?” “Lah kok bisa? Perasaan tadi gue bawa tiga-tiganya mie rebus.” “Ini nih kalo mata siwer. Udah biar gue ambil mienya, nanti salah lagi.” “Iya-iya gue salah,” aku Farah. Dera kembali meninggalkan mereka berdua, membuat sebuah celah untuk mereka membahas hal itu kembali. “Lis, sepertinya gue tau kenapa nih kos-kosan gak boleh dibersihin.” Lisa menoleh, “Oh ya? Emang apaan?” “Ehm lo taukan kalo setan, jin dan sebangsanya itu sukanya sama tempat-tempat yang kotor? Gue yakin ini alasan kenapa disini banyak banget mereka. Gue juga sempat curiga kenapa tiba-tiba toilet kita bau amis, padahal gak ada apa-apa.” “Dipikir-pikir masuk akal juga sih Far, tapi lo yakin kan kita baik-baik aja disini?” Farah kini terdiam, telinganya tak lagi merespon pertanyaan dari Lisa. Matanya terpaku melihat sosok berbaju merah berdiri diatas pagar, bola matanya merah menatap tajam kearah Farah dan mulutnya robek mengeluarkan darah yang mengalir segar. Ia bersiap untuk melompat. “Aaaa!!” Farah berteriak histeris hingga terduduk kelantai. Lisa kebingungan melihat apa yang terjadi di depan matanya, Farah kenapa, apa yang ia lihat barusan. “Far? Far, lo kenapa?” tanya Lisa sambil mengangkat tubuh Farah kembali. Nafas Farah terengah-engah dan penuh dengan keringat, “Enggak, gue udah gak apa-apa lagi.” “Syukurlah, duduk dulu. Gue ambil minum buat lo.” Farah menuruti perintah Lisa, jantungnya masih terasa berdegup kencang. “Nih minum dulu.” Lisa menyodorkan segelas air putih, disambut dengan tangan Farah yang bergetar untuk mengambilnya. Ia pun meminum dengan terburu-buru. “Pelan-pelan, Far.” Farah telah menghabiskan airnya dalam sekali tenggak, “Makasih, Lis.” “Iya sama-sama. Emang lo abis liat apaan sih?” “Gu-gue liat perempuan berbaju merah terjun dari sana,” Lisa menunjuk keluar. “Perempuan?” Lisa celingak-celinguk keluar dari dapur dan melihat kebawah untuk mencari perempuan yang disebut Farah, namun nihil. Tidak ada siapa-siapa dibawah sana. “Kayaknya yang lo maksud itu bukan manusia deh, Far?” tanya Lisa ketika ia sudah kembali ke tempat Farah lagi. “Dia memang bukan manusia. Itu dia yang bikin gue shock.” “Loh bukannya lo udah sering liat yang begituan?” “Gue emang biasa liat mereka, tapi kali ini beda. Dia kuntilanak merah, dia berdiri tepat menghadap gue sebelum dia jatuh. Dan .. dan .. dia tertawa gelak sampai-sampai rasanya telinga gue mau pecah. Gue juga dengar dengan jelas suara tubuhnya remuk.” ***** “Sekarang udah gak apa-apa kan, Far?” tanya Lisa memastikan. “Iya, mungkin karna laper kali ya makanya gue jadi gak kuat tadi.” “Alhamdulillah. Udah nanti setelah makan, lo langsung istirahat aja.” Mereka berdua kini berada di kamar, Farah hanya mengatakan ke Dera kalau ia sedang tidak enak badan. “Hai hai, ini mienya sudah siap!” seru Dera ketika ia memasuki kamar dengan dua mangkok dikedua tangannya. “Lis, lo ambil sendiri ya. soalnya tangan gue cuma dua, hehe.” “Iya iya, gue ngerti kok.” Lisa keluar dari kamar, kembali lagi menuju dapur untuk menjemput mienya. Ditengah perjalanan ia bertemu dengan salah satu penghuni kos kamar nomor 8, seorang pria tinggi dengan rokok ditangannya. “Permisi, bang,” Lisa merendahkan tubuhnya ketika lewat. Pria itu sekadar melirik kearahnya tanpa menyahut sedikitpun. “Orang disini aneh-aneh ya..” batin Lisa. Ia menyesal kenapa harus menyapa orang seperti itu. Setibanya di dapur, Lisa dikejutkan dengan sosok wanita bertubuh besar sedang memasak. “Pe-permisi, bu.” Wanita itu menoleh cepat kearahnya, lalu ia tersenyum “kalian pasti penghuni baru itu ya? perkenalkan saya bu Wati, pemilik kos-kosan ini.” Lisa menghela nafas lega, akhirnya ia bertemu dengan pemilik kosan ini. Banyak hal yang ingin ia tanyakan. “Nama saya Alisa, bu. Saya sekamar dengan Farah dan Dera.” “Iya, semoga kamu betah ya disini.” “Ehm bu, saya boleh tanya sesuatu?” “Tanya aja, silahkan.” Jawab Bu Wati dengan senyum lebarnya. “Jadi begini bu, kenapa ya kos-kosan ini gak boleh dibersihin? Maaf ya bu saya nanya beginian soalnya saya orangnya paling gak bisa liat yang kotor-kotor.” Sebenarnya Lisa sudah menyiapkan jantungnya, kalau-kalau ibu kosnya itu marah karena pertanyaannya tadi. Maklum, belum ada orang normal yang ia temui disini. “Aduh gimana ya Lis, soalnya memang dari sananya gedung ini gak boleh dibersihin. Ibu juga gak tau kenapa,” jawab Bu Wati masih dengan wajah ramahnya. “Oh .. jadi gitu ya, bu? Maaf ya bu, saya banyak tanya.” “Ahaha gak apa-apa kok, santai aja kalo sama ibu. Ehm sudah dulu ya, ibu mau lanjut masak.” “Iya bu, silahkan.” Untunglah kali ini ia bertemu orang yang normal. Yah walaupun hanya ibu kosnya. Lisa kembali ke kamar dengan mangkok berisi mie ditangannya, tak lupa dengan wajah cerianya kali ini. “Kamu kenapa Lis senyum-senyum sendiri gitu?” tanya Dera kebingungan. “Hehe, kalian tau gak tadi gue ketemu siapa?” “Malaikat Izrail?” “Sembarangan!” Farah dan Dera tergelak melihat reaksi Lisa. Wajah cerianya tadi berubah menjadi masam. “Yaudah iya, emang tadi lo ketemu siapa?” giliran Farah bertanya. “Itu lho, tadi gue ketemu sama ibu kos. Sumpah dia orangnya baik banget.” “Wah beneran Lis? Akhirnya ada juga yang normal disini!” sahut Dera kegirangan. “Iya, namanya Bu Wati. Orangnya gendut terus pake turban.” Mereka berdua mengangguk-angguk mendengar penjelasan Lisa agar mereka tahu yang mana sosok ibu kos itu. Jangan lupa Like and Comment ^_^ -Salam Author
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD