Malam di klub motor itu terasa seperti oli bekas. Kental, panas, dan meninggalkan bekas yang sulit hilang.
Yena duduk di bangku tinggi, menolak sentuhan Scott yang berusaha menyampirkan jaket kulitnya di bahu Yena. Lampu strobo ungu dan merah bergantian melumat wajahnya, menampakkan setiap garis keras di rahangnya dan rambut pendeknya yang sedikit basah oleh keringat. Ia ada di sana untuk menjaga citra palsu mereka: si gadis liar yang masih 'menarik' perhatian Scott, demi Project IceStorm.
Di sisi lain bar, Hao berdiri, matanya yang tajam dan tak terbaca mengamati keramaian. Dia terlihat tidak pada tempatnya dengan kemeja hitam yang rapi dan aroma tiner yang samar, terperangkap di antara asap rokok dan bir. Luna, pacar resminya, sesekali menyentuh lengannya, tapi perhatian Hao sepenuhnya terpaku pada Yena.
Tiba-tiba, Scott mendekat, mencondongkan badannya ke telinga Yena, memaksa Yena miring menjauh.
“Aku suka rambut baru kamu, babe,” bisik Scott, suaranya yang serak nyaris tak terdengar ditelan dentuman bass. Jari telunjuknya yang dingin dengan gerakan lambat mengusap tengkuk Yena yang terbuka. Itu adalah gerakan intim yang selalu berhasil membuat Yena merinding, bukan karena suka, tapi karena sensasi bahaya. “Terlihat... kurang terkontrol. Aku kangen kamu.”
Yena memaksakan tawa yang kering. “Kamu kangen?” Yena melanjutkan kalimat sinisnya,”kamu mungkin lupa, kemarin kita udah official putus. Aku nggak mau memelihara drama dihidupku.”
Scott hanya tersenyum miring, senyum menawan yang membuat banyak gadis rela antre di pintunya. Ia mengangkat tangannya, meraih dagu Yena. “Nggak ada yang bisa gantiin the main event, Yena. Kamu tahu itu.”
Tepat pada detik itu, saat Scott hendak memiringkan kepalanya sedikit lebih dekat—sebuah gerakan yang Yena tahu bisa berakhir dengan ciuman yang ia hindari selama tiga tahun ini—Yena sudah menghindar dengan menangkupkan tangan kirinya ke atas bibirnya sendiri, namun sebuah tangan dingin dan keras melingkari Yena.
Itu bukan sekadar sentuhan. Itu adalah rangkulan.
Lengan kekar Hao melingkari d**a Yena, menarik tubuh Yena yang ramping ke belakang hingga punggungnya menempel kuat ke d**a bidang Hao. Hao memeluknya dari belakang, sangat erat. Pelukan itu begitu spontan dan protektif, nyaris posesif, hingga Yena terkesiap. Ia bisa merasakan detak jantung Hao yang cepat di belakangnya, dan aroma tiner yang kini kuat, menenggelamkan bau klub.
“Dia lagi nggak mau diganggu,” suara Hao terdengar rendah dan dalam, langsung di atas kepala Yena. Bukan ancaman, tapi sebuah deklarasi.
Scott menarik tangannya dengan kaget. Senyumnya menghilang, digantikan oleh tatapan dingin antara dua rival. “Sejak kapan kamu jadi security buat Yena, Hao?”
“Sejak dia jadi pacarku,” balas Hao, menekan kata-kata itu. Pelukan di tubuh Yena menguat. Itu bukan pelukan palsu, Yena sadar. Itu nyata. Sebuah naluri.
Luna, yang sedari tadi menyaksikan dari jauh, kini mendekat, wajahnya dipenuhi kekecewaan dan amarah. Matanya menatap tajam pada pelukan Hao dan Yena, bukan pada Scott.
“Hao, apa-apaan, sih?” tuntut Luna, suaranya sedikit meninggi.
Scott tertawa terbahak, “Kamu masih main dua kaki Hao, jangan munafik. Yena terlalu baik buat kamu. Dan jangan kamu kira Yena putusin aku, aku nggak bisa balik sama dia.”
Hao diam, rahangnya mengeras. “Iya. Kamu nggak akan bisa balik sama dia.” Hao memandang Luna dengan ekspresi yang sulit diartikan,”Gimana? Sekarang tau kan rasanya pacar kamu direbut sahabatmu sendiri.”
Scott mendecih, ia menatap Yena,”Hati-hati Yena, aku memang b******k, tapi aku selama ini menjaga kamu selama tiga tahun. Bahkan aku aja nggak berani meluk kamu. Aku menghargai kamu.” Scott menatap Hao tajam,”Tapi Hao, dia lain Yena. Kamu akan tahu sendiri seberapa bahaya dia di hidup kamu. Dan kamu akan nyesel udah pilih dia.”
Hao mengabaikan Luna dan Scott, fokusnya hanya pada satu titik. Dari sudut pandang Yena, ia bisa melihat Yosua berdiri di dekat pintu masuk, menyandar santai ke pilar, anting peraknya berkilauan. Yosua tidak tersenyum. Matanya yang persis seperti Hao menyala dengan kebencian, menatap Hao dan Yena yang bersatu dalam pelukan itu.
Yosua melihat Yena—gadis yang ia anggap parasit dan penyebab kehancurannya—kini justru dipeluk dan dilindungi oleh adik kandungnya sendiri. Api di mata Yosua membara.
“Kita balik,” bisik Hao ke telinga Yena, cengkeramannya tak melemah. “Sekarang.”
Dia menarik Yena menjauh dari bar, berjalan cepat menembus kerumunan tanpa menunggu jawaban. Yena hanya bisa mengikuti, terlalu terkejut dan merasakan adrenalin yang meluap dari pelukan itu.
Perjalanan pulang terasa sunyi dan mencekam. Setibanya di rumah, Hao langsung menyeret Yena ke dalam, melewati ruang tamu dan berhenti di ruang tengah yang sepi.
Hao membanting pintu kamar studio-nya hingga berdentum. Yena tersentak.
“Kamu kenapa, sih?! Tadi itu keterlaluan, Hao!” sembur Yena, membalikkan badan, dadanya naik turun karena marah dan ketegangan.
Hao berbalik menghadapnya. Ekspresi wajahnya adalah perpaduan antara kemarahan yang membakar dan ego yang terluka parah. Matanya memancarkan api, bukan lagi tatapan dingin seorang analyst.
“Keterlaluan?! Kamu baru aja digoda Scott, dan kamu diam aja kayak nggak terjadi apa-apa! Kamu itu Ketua Hima, Yena! Jangan mau dipermainkan kayak boneka!” bentak Hao.
“Aku nggak dipermainkan! Itu bagian dari rencana! Dan kamu nggak perlu drama posesif kayak gitu, apalagi di depan Luna!” balas Yena. “Cuma fake dating, Hao! Bukan pacaran beneran!”
“Fake?” Hao tertawa, tawa yang tidak lucu. Ia melangkah maju, memaksa Yena mundur selangkah. “Kamu pikir aku marah karena gombalan murahan Scott? Aku marah karena kamu!”
Yena mengerutkan dahi. “Aku? Emangnya aku ngapain?!”
“Kamu! Kamu bilang ciumanku biasa aja,” desis Hao, suaranya berubah rendah, tapi intensitasnya membuat Yena merinding. Ini bukan lagi tentang Project IceStorm. Ini tentang harga diri. “Kamu bilang aku amatir. Kamu pikir itu kata-kata yang pantas kamu lontarin ke aku, hah?”
Yena, didorong oleh emosi yang masih meluap dari pertemuannya dengan Yosua dan pelukan Hao, memilih untuk membakar jembatan itu.
“Emang iya! Kamu mau aku jujur? Itu bukan cuma biasa aja. Itu ciuman terburuk sepanjang sejarah!” Yena meninggikan suaranya, melontarkan kata-kata itu dengan kejam. Ia tahu dia menargetkan titik terlemah Hao: kompetensi dan keahliannya.
Hao membeku. Ekspresi di wajahnya berubah total. Kemarahan itu perlahan surut, digantikan oleh sorot mata yang sinis, menantang, dan—yang paling menakutkan—tertarik. Bibirnya membentuk senyum tipis, predatoris.
“Oke,” ucap Hao pelan, nada suaranya datar dan tenang, kontras dengan gemuruh di mata mereka. “Kamu yang minta. Kamu nantang ego aku, Yena. Fine.”
Ia melangkah maju lagi, kini tanpa jarak.
“Aku akan bikin kamu suka sama ciumanku,” bisiknya, suaranya serak dan janji. “Ciuman yang bakal bikin kamu mikir itu enak. Sampe kamu nggak akan mau berenti.”
Sebelum Yena sempat memproses ancaman itu, Hao menerjangnya. Mulutnya mencium Yena dengan kekuatan yang mematikan, tidak meminta izin, tidak memberi kesempatan untuk menolak. Ciuman itu intens, liar, dan penuh amarah yang teredam—seperti ledakan yang tertunda.
Yena berusaha menolak, mendorong bahu Hao, tapi cengkeraman tangan Hao di pinggangnya begitu kuat, menariknya lebih dalam ke pusaran kekacauan. Ciuman itu panas, lidah Hao menuntut, bergerak dengan d******i yang membuat napas Yena tercekat. Ini bukan sekadar dramatisasi untuk foto; ini adalah hukuman.
Yena merasa kewarasannya melayang. Ia memejamkan mata, membiarkan tubuhnya yang kaku melunak di bawah kendali Hao. Mereka berdua terhuyung mundur, punggung Hao menabrak dinding, lalu Hao mengangkat Yena.
Dalam gerakan yang cepat dan penuh tenaga, Hao mendudukkan Yena di pangkuannya. Kaki Yena melingkari pinggang Hao tanpa sadar, dan Hao mencengkeram pahanya, menahan Yena di posisi itu, seolah memastikan dia tidak akan melarikan diri.
Ciuman itu makin dalam, makin menuntut. Keintiman yang tercipta begitu mendadak dan agresif hingga Yena merasakan sensasi familiar yang menakutkan: jarum listrik yang baru saja dicabut dari tenggorokannya. Dia merasa hidup, tetapi di saat yang sama, dia merasa sangat rentan.
Tiba-tiba, Hao menghentikan ciuman itu, hanya menyisakan jarak sejengkal. Napas mereka memburu, dahi mereka bersentuhan.
“Kamu,” desis Hao, suaranya kasar karena gairah yang terpotong, matanya masih menatap Yena dengan tajam, “masih anak kecil. Nggak pernah ciuman. Ciuman kamu yang butuh dilatih.”
Hao mengatakannya untuk membalas dendam, untuk kembali memenangkan konfrontasi verbal.
Kata-kata itu menusuk Yena lebih dalam daripada ciumannya yang intens. Ini bukan tentang teknik. Ini tentang merendahkan. Yena merasakan air matanya mendesak keluar, terkejut karena kekejaman kata-kata itu. Ia ingin menghindar, mencoba melepaskan diri dari Hao, tapi cengkeraman tangan Hao di pahanya mengunci pergerakannya.
Hao menyadari perubahannya. Ia tertawa kecil, suara tawa yang sinis. “Kenapa? Nyerah? Kamu mau nangis sekarang?”
Saat tawa itu keluar, Hao melihatnya.
Air mata Yena benar-benar jatuh. Satu tetes, lalu dua, membasahi pipi Yena yang kini pucat. Matanya yang biasanya liar dan menantang, kini dipenuhi rasa sakit dan keterkejutan yang tulus.
Tawa Hao langsung terhenti. Wajahnya yang tegang menjadi kosong.
Ini pertama kalinya dia melihat Yena menangis. Bukan tangisan kemarahan, tapi tangisan kekalahan dan rasa sakit. Sesuatu di dalam diri Hao langsung runtuh. Dia tahu dia sudah melewati batas. Jauh melewati batas. Ciuman itu tidak lagi terasa seperti kemenangan, melainkan sebuah kesalahan besar.
Hao hendak bicara, hendak meminta maaf, tapi terlambat.
“Hao! Yena! Ya Tuhan!”
Suara teriakan Bunda Omara menggema di ruang tengah. Bunda berdiri di ambang pintu, kaget melihat putra bungsunya sedang duduk di sofa dengan Yena di pangkuannya, wajah keduanya berantakan, dan air mata Yena masih mengalir.
Yena tidak menunggu. Teriakan Bunda menjadi pelatuk. Dengan kekuatan putus asa, Yena mendorong Hao, melompat turun dari pangkuannya.
“Aku... aku ke toilet sebentar!” ucap Yena dengan suara tercekat, tanpa menatap Bunda atau Hao.
Ia lari. Ia berlari bukan menuju toilet yang ada di dekat dapur, tapi menuju toilet di lantai dua, di ujung lorong paling gelap.
Ia menutup pintu toilet dengan keras, lalu langsung merosot jatuh ke lantai. Kakinya ditekuk ke d**a. Seluruh tubuhnya bergetar, bukan karena dingin, tapi karena sensasi yang baru saja ia alami. Ciuman itu, pertarungan itu, dan mata Hao yang tiba-tiba kosong saat melihat air matanya.
Yena menangis, tidak bersuara, hanya tersedu. Ia merasa terkoyak. Ia tidak tahu apakah ia menangis karena ciuman Hao sangat menguasai, atau karena kata-kata Hao menyakitinya, atau karena untuk pertama kalinya setelah sekian lama, persona Ketua Hima-nya hancur. Ia tidak bisa lagi lari dari kenyataan: Harry Omara bukan lagi hanya partner kerjanya. Hao adalah bahaya yang nyata.