Rumah Yena terasa dingin, meskipun AC sentral di ruang tengah yang luas sudah dimatikan. Hanya ada keheningan yang tebal dan mencekik, seperti busa yang meredam semua suara bising. Rumah sebesar ini, hanya ditinggali seorang gadis dan satu ART yang sudah tua—kesepian itu nyata. Yena duduk di sofa tunggal yang besar, punggungnya bersandar pada sandaran tinggi. Di pangkuannya, sebuah buku tebal tergeletak tak tersentuh. Tugas Ketua Hima-nya untuk dua minggu ke depan sudah ia serahkan pada wakilnya. Ia diskors. Bukan karena melanggar aturan berat seperti plagiat atau tawuran, tapi karena hal konyol yang bahkan bukan kebiasaannya: merokok. Yena menghela napas panjang. Bukan skorsing itu yang menyakitkan. Luka yang paling dalam adalah saat ia melihat ekspresi Hao di koridor tadi, wajahnya ya

