Dua minggu sejak Project IceStorm dimulai, Yena menemukan dirinya merasa aneh. Dia masih menghabiskan sore di bengkel, tetapi kini ia sering mengakhirinya di dapur rumah Hao, bukan di studionya.
Kehangatan Bunda membuat Yena sedikit lengah. Tawa Bunda yang lembut, aroma sup ayam, dan pelukan tanpa pertanyaan itu terasa seperti lapisan peredam kejut di tengah kekacauan hidupnya. Bunda tidak melihat Yena sebagai si bad girl atau 'istri masa depan yang suci'; Bunda melihatnya sebagai anak yang butuh makan.
"Aku rasa kamu harus kasih Bunda penghargaan 'Best Supporting Actress'," komentar Yena suatu malam saat mereka sedang menyusun jadwal 'kencan publik' minggu ini.
Hao, sibuk membuat sketsa di buku catatannya, mengangkat bahu. "Dia nggak akting. Dia memang begitu. Dia sayang sama kamu, Yena. Dia nggak pernah punya anak perempuan."
Yena tersenyum tipis. "Aku tahu. Dan itu bikin… takut."
"Takut kenapa?"
"Karena kalau ada orang yang nge-feel beneran di drama ini, itu Bunda kamu. Kalau dia tahu ini cuma fake dating, dia pasti sedih. Dan aku nggak mau ngecewain dia," aku Yena.
Hao berhenti menggambar. Dia menatap Yena, matanya serius. "Kita pegang Pasal 4, Yena. Jangan jatuh cinta. Jangan kasih harapan. Kita cuma sampai batas enam bulan. Kita harus tetap fokus pada kehancuran Scott dan Luna."
"Siap, Kapten," kata Yena, menghela napas.
Peluang itu datang sore harinya. Scott, yang egonya masih terluka, mengirim pesan singkat yang provokatif ke Hao.
Scott: Aku dengar kamu dan Yena sekarang 'serius'. Aneh. Kamu itu cowok paling kaku yang aku kenal. Gimana kalau kita double date? Nggak perlu malu-malu lagi. Tunjukkan seberapa dalam cinta kamu sama mantanku.
Hao menunjukkan pesan itu pada Yena. Wajah Yena langsung mengeras. "Dia menantang kita. Di mana?"
"Scott sudah reservasi di Restoran Bima. Tempat yang selalu dia bilang terlalu formal buat kita, tapi cocok buat dia dan Luna," kata Hao, menyimpan ponselnya. "Dia mau pamer."
"Kita datang. Kita hancurkan pamerannya," putus Yena.
Restoran Bima adalah kemewahan yang tenang: meja-meja berlapis linen putih, lampu kristal, dan suara piano yang lembut. Kontras total dengan suasana bengkel dan Timezone yang biasa Yena datangi.
Scott dan Luna sudah duduk di meja bundar di sudut ruangan. Scott mengenakan kemeja yang mahal dan rapi, Luna dengan gaun panjang berwarna soft pink yang membuatnya terlihat selembut malaikat (seperti citra yang selalu dia jual).
Yena dan Hao berjalan masuk. Yena mengenakan dress pendek berwarna merah darah yang jarang ia pakai, dipadukan dengan jaket kulit hitamnya yang khas. Sementara Hao, dalam jaket hoodie abu-abu polos (dia menolak keras memakai kemeja), terlihat kaku namun menawan dengan rambut gondrongnya.
Mereka duduk berhadapan. Suasana langsung terasa dingin, tegang, dan palsu.
"Wah, datang juga kalian," Scott menyambut dengan senyum lebar yang terlihat dipaksakan. "Yena, kamu cantik banget malam ini. Sayang, kayaknya terlalu dress up buat cowok yang datang pakai hoodie di tempat kayak gini, ya?"
Yena melirik Hao, yang hanya mengangguk sopan pada Luna. "Hao nggak perlu pamer pakai merek mahal. Dia pamer pakai otaknya. Dan dia nggak pernah pamer ke cewek lain saat lagi kencan sama aku," balas Yena tajam.
Luna hanya tersenyum canggung. "Gimana kabar kalian?"
"Baik," jawab Hao datar. "Sangat baik. Kami sedang sibuk menyusun masa depan. Kami nggak punya banyak waktu buat drama."
"Masa depan?" Scott tertawa sinis. "Sejak kapan kamu jadi peramal, Hao? Kamu bahkan nggak bisa memprediksi pacarmu selingkuh sama sahabatmu sendiri."
Yena merasakan darahnya mendidih. Dia tahu Scott akan menyerang, tapi dia tidak menyangka Scott akan mengungkit masa lalu mereka.
Scott lalu mengalihkan fokusnya sepenuhnya pada Yena, seolah Hao dan Luna tidak ada.
"Yena, aku harus jujur nih, ya," kata Scott, suaranya sengaja dibuat merendah, seolah berbagi rahasia. "Aku kaget kamu bisa tahan setahun pacaran sama si kaku ini. Kamu yang liarnya kayak motor GP, sama cowok yang hobinya baca buku ekonomi? Kamu pasti bosan banget."
Yena tersenyum. Itu bukan Senyum Palsu 10 Detik yang ada di kontrak, itu adalah topeng amarah. "Aku nggak bosan, Scott. Justru aku nemu ketenangan yang nggak pernah kamu kasih."
Scott menyesap wine-nya. "Ketenangan? Atau cuma kamu yang emang penakut, Yena?"
Jleeb. Kata-kata itu menusuk Yena tepat di ulu hati.
"Kamu tahu, Hao," Scott melanjutkan, tatapannya mengejek, "Yena ini di luar kelihatan bad girl banget. Jaket kulit, tattoo temporer, motor kencang. Tapi dia itu yang paling kaku di ranjang, lho. Nggak pernah mau dicium. Pegangan tangan aja kayak formalitas. Pacaran tiga tahun kayak sama patung. Itu yang bikin aku... terpaksa cari warna lain."
Luna memegang tangan Scott di bawah meja, mencoba menghentikannya. Luna tahu ini bukan tentang balas dendam, ini tentang Scott melampiaskan ego yang terluka karena ia dikalahkan oleh Hao.
Hao, si kutu buku yang paling membenci konfrontasi fisik, kini merasakan amarah yang sesungguhnya. Scott tidak hanya menyerang Yena, Scott meremehkan batasan Yena dan menjadikan kesuciannya sebagai alasan perselingkuhan.
Yena merasa tenggorokannya tercekat. Dia telah memaafkan Scott berkali-kali karena Scott menjaga 'kehormatan'-nya. Dia merasa aman, meski tahu Scott berselingkuh. Tapi mendengar Scott menggunakan batasan itu sebagai ejekan di depan umum terasa seperti menampar wajahnya sendiri.
Air mata Yena sudah di ambang batas. Tetapi dia ingat. Dia bukan lagi Yena yang lemah, yang memaafkan Scott demi rasa aman. Dia adalah Yena, si wanita badai, yang berada di tengah Project IceStorm.
Yena menarik napas. Dia meraih sendok makan dan mengambil sepotong udang dari piring Hao.
"Kamu denger nggak, Sayang?" Yena mencondongkan tubuh ke Hao. Jarak mereka kini kurang dari 10 cm, melanggar Pasal 2: Batas Fisik. Scott memperhatikan setiap gerakan.
Hao, yang kaget karena Yena tiba-tiba mencondongkan tubuhnya, menegang. Dia ingat kontrak, tapi melihat mata Yena yang terluka, dia tahu Yena butuh dia.
"Dengar," bisik Hao, suaranya serak.
Yena tersenyum lebar. Itu adalah senyum gila, senyum terobsesi, senyum yang disengaja.
"Scott bilang aku membosankan dan kaku, ya?" Yena bertanya pada Hao, suaranya dibuat manja, kontras total dengan kepribadiannya yang biasanya kasar.
Hao menanggapi dengan santai, "Padahal, kalau kita lagi berdua kita nggak pernah berhenti, kan?"
Dia mengaitkan lengannya ke lengan Hao, menekan tubuh Hao ke kursinya. Hao kaku seperti tiang beton, tetapi dia membiarkannya.
"Scott," Yena menoleh ke mantan pacarnya, senyumnya semakin lebar. "Pacaran sama kamu itu kayak belajar akuntansi: terstruktur, aman, tapi membosankan. Kalau sama Hao?"
Yena menyuapkan udang itu ke mulut Hao. Hao nyaris tersedak. Dia menatap Yena, matanya memohon.
‘Apa yang kamu lakukan, Yena?’
Yena mengabaikan tatapan itu. Dia menyentuh sudut bibir Hao dengan ibu jarinya, lalu menjilatnya.
"Sama Hao, itu kayak balap liar," bisik Yena, suaranya penuh godaan, murni drama yang berlebihan. "Penuh adrenalin, nekat, dan nggak terduga.”
Yena lalu menyandarkan kepalanya ke bahu Hao, berpose ke Scott. Pose ini sangat lucu karena Hao yang kaku terlihat sangat tidak nyaman, tetapi gestur mesra itu sangat mendominasi.
Scott, yang tadinya tertawa arogan, kini wajahnya pucat pasi. Dia melihat Yena yang baru: Yena yang berani, Yena yang genit, Yena yang berani menunjukkan skinship intim. Scott merasa dikhianati dua kali: pertama, Yena pacaran dengan sahabatnya; kedua, Yena melakukan hal-hal yang tidak pernah dia lakukan dengan Scott, di depan Scott.
"Yena, kamu keterlaluan," Scott berbisik, suaranya tercekat. Ego dan harga dirinya hancur berkeping-keping.
Luna, yang menyaksikan adegan itu, hanya menatap Hao. Dia tahu Hao membenci drama dan sentuhan fisik. Melihat Hao yang rela menjadi tiang penyangga drama Yena, Luna menyadari betapa dalam Hao terluka.
"Kita sudah selesai makan malam, kan, Sayang?" Yena menarik diri dari Hao, kembali pada nada bicaranya yang biasa. "Aku kenyang. Ayo, kita balik ke studio. Aku mau lihat kamu melukis wajahku lagi."
Hao mengangguk, masih kaku. Dia berdiri, dan kali ini, dia yang meraih tangan Yena. Genggaman tangannya sangat kuat, seolah dia takut Yena akan melarikan diri.
"Selamat menikmati malam kalian, Scott, Luna," kata Hao, matanya bertemu Scott, tanpa emosi, tetapi penuh kemenangan. "Kami harus pergi. Ada urusan yang lebih penting daripada mendengar drama kalian."
Yena dan Hao berjalan keluar. Saat mereka mencapai pintu, Yena menoleh ke belakang, dan dia melihat Scott sedang menundukkan kepala, memegang dahinya. Luna hanya menatap lantai.
Begitu mereka berada di luar, Yena melepaskan tangan Hao dan tertawa keras. Tawa lega, tawa kemenangan.
"Kamu harus lihat muka Scott tadi, Hao!" Yena tertawa terbahak-bahak. "Dia kayak ikan yang dicabut dari air! Pucat pasi!"
Hao, di sisi lain, bersandar di dinding luar restoran, menutup matanya. Dia terlihat seperti baru saja lari maraton.
"Kamu melanggar kontrak," kata Hao, suaranya menyesal. "Pasal 2 dan Pasal 3. Kamu nggak boleh sentuhan lebih dari merangkul, dan kamu nggak boleh ketawa duluan. Dan aku nyaris muntah saat kamu nyuapin udang."
"Tapi kamu harus denger Scott tadi!" Yena merangkul lengan Hao, nadanya kembali serius. "Dia nggak cuma ngejek, Hao. Dia meremehkan batasan yang aku buat. Dia bilang aku membosankan. Dia bilang aku penakut. Dia buat aku ngerasa... nggak pantas."
Hao menoleh, matanya kini lembut. "Dia cuma berusaha membenarkan perselingkuhannya. Dengan membuat kamu terlihat buruk, dia terlihat lebih baik. Dan kamu tahu? Kamu nggak pernah membosankan, Yena. Kamu cuma... terlalu asli untuk drama Scott."
Yena menatap Hao lama. "Terima kasih pacarku."
Hao tidak membalas. Dia hanya menghela napas. "Sekarang, kita harus pulang. Aku harus menulis denda di kontrak karena kamu yang paling banyak melanggar aturan malam ini. Kamu yang harus beliin kopi untuk aku seminggu penuh."
Yena tersenyum. "Nggak masalah baby. Worth it."
Mereka berjalan menuju motor Yena. Yena mengambil helmnya.
"Tapi ada satu hal, Hao," kata Yena, menatapnya. "Di depan Scott, kamu bilang kita nggak pernah berhenti. Apa maksudnya?"
Hao memiringkan kepalanya sedikit, sedikit cahaya neon dari papan nama restoran memantul di matanya. "Aku harus membalas, kan? Kata 'berhenti' itu aku ambil dari rumus ekonomi. Scott tahu itu. Itu adalah sentuhan pribadi kita. Untuk membuat dia lebih gila. Karena dia tahu kita klop di ranah yang lebih intim dan dalam daripada skinship."
Yena tersenyum. Dia naik ke motornya, lalu menunjuk. "Ayo, Tuan Sempurna. Aku bonceng. Project IceStorm belum selesai."
Hao naik ke belakang Yena. Dia tidak memeluk Yena, tetapi hanya memegang jaket Yena dengan kedua tangan. Jarak fisik minimal. Kontrak masih berlaku.
Namun, Hao tidak bisa mengabaikan sensasi udang yang disuapkan Yena, atau rasa sakit yang dia lihat di mata Yena. Mereka memang tidak jatuh cinta, tetapi aliansi ini mulai terasa lebih nyata dari yang seharusnya.