Amar benar- benar membuat Najwa harus menonton dengannya, karena berkat Amar pengunjung restorannya meningkat, bukan tanpa bukti, Najwa bahkan mendengar sebagian besar yang datang berkata mereka ke sana atas rekomendasi dari Amar, dan karena penasaran dengan apa yang Amar makan.
Najwa tak bisa mengelak meski dia merasa tak enak hati pada Sarah yang menyukai Amar, tapi bukankah dia sudah berjanji, lagi pula ini hanya sebagai ucapan terimakasih.
"Mau kemana sayang? tumben sore- sore pergi?"
"Aku ada janji Ma, mau nonton," ucap Najwa pada sang Mama.
"Sama siapa-" belum selesai Mama bertanya, suara mobil di depan rumah menghentikan ucapannya.
"Temen aku udah dateng Ma, aku pamit ya." Najwa mencium tangan Mamanya.
"Eh, hati- hati jangan kecapekan."
"Aku nonton Ma, bukan kerja." Najwa terkekeh.
"Aku pergi, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam.."
Najwa keluar dari rumah saat Amar akan masuk, "Loh, udah siap?" katanya.
"Iya, ayo."
Amar mengeryit "Aku belum pamit sama orang tua kamu." mendengar ucapan Amar Najwa menggigit bibirnya, bukannya tidak sopan, hanya saja Najwa takut Mamanya salah paham "Masa pergi gak pamit, kan gak sopan."
Najwa menghela nafasnya saat melihat Mamanya justru keluar dan menghampiri Amar "Saya Amar tante, mau izin pergi sama Najwa." Ratna tersenyum lalu mengangguk.
"Hati- hati ya, pulangnya jangan malem- malem, dan jangan apa- apain anak tante." Ratna memperingatkan.
"Ma, Amar temen aku," protes Najwa.
Amar tersenyum "Iya, tante tenang saja saya tahu batasan saya," katanya sopan.
Najwa menghela nafasnya lalu menggeleng pelan.
...
Gavin menatap nomer baru yang tampil di ponselnya dan Gavin tahu itu adalah nomer Nadia, sebenarnya saat melihat Nana yang jauh dari bayangannya Gavin kehilangan semangatnya.
Tak ada Nana si gadis lucu dan lugu seperti bayangan yang ada di kepalanya.
Gavin melihat Nadia lebih seperti wanita- wanita di sekelilingnya yang rela memberikan apa saja pada pria seperti Gavin.
Apalagi pria itu bisa memberi uang.
Jelas Gavin tahu, karena Gavin sudah sering berurusan dengan wanita seperti Nadia, yang hanya dari gerak tubuhnya saja saat melihat Gavin seperti wanita kehausan.
Tapi bagaimana dengan janjinya, Gavin bahkan bertekad akan menjadikan Nana istrinya jika Nana memang belum menikah.
...
Gavin melihat sekelilingnya yang penuh dengan hilir mudik orang- orang, dia sedang berada di sebuah Mall, dan Gavin paling tidak suka keramaian, jika bukan karena Nadia yang mengajaknya, dia tidak akan membuang waktunya di tempat seperti ini.
Gavin menghela nafasnya saat melihat Nadia masih memilah tas dan sepatu di depannya, benar dugaannya Gavin bahkan dengan mudah membuat Nadia menjadi kekasihnya, bahkan gadis itu yang mengatakan lebih dulu dan memintanya berpacaran, hanya saja entah kenapa Gavin tidak merasakan getaran sama sekali, tapi, persetan dengan itu, yang Gavin pedulikan adalah dia membalas budi pada Nana, dan dia akan melakukan apapun demi Nana- nya.
"Honey bagaimana dengan ini?"
Gavin hanya mengangguk dan Nadia terlihat senang saat dia menyetujuinya.
"Selesai belanja bagaimana kalau kita menonton?"
"Menonton?" Gavin mengerutkan keningnya.
"Ya, ada film korea romantis yang baru tayang dan aku ingin menontonnya."
Gavin mengangguk "Baiklah."
Nadia memeluk Gavin dan memberi kecupan "Terimakasih."
Dan mereka berjalan ke arah bioskop yang ada di dalam Mall tersebut.
Nadia mendudukan dirinya di kursi sementara Gavin pergi membeli tiket.
"Kak Nadia?" Nadia menoleh dan terkejut melihat seseorang yang di kenalnya.
"Kamu, ng- apain disini?" Nadia menoleh melihat Gavin yang masih mengantri, tiba- tiba dia menjadi gugup.
"Aku nonton Kak, kakak mau nonton juga? oh iya aku sama temen aku, kenalin ini- "
"Lain kali ya Na- aku kayaknya gak jadi nonton deh." belum selesai gadis di depannya bicara, Nadia segera memotong ucapannya dan berjalan cepat ke arah Gavin yang baru saja mendapatkan tiket film mereka.
"Hon, aku ... kita gak jadi nonton ya, aku mau makan aja." Nadia menyeret Gavin agar menjauh dari area bioskop.
"Na, kamu okay?" Gavin bertanya karena wajah Nadia tiba- tiba pucat.
"Aku gak papa kok, cuma laper aja, yuk!"
Gavin menghela nafasnya lalu membuang tiket yang baru saja dia beli ... sia- sia.
...
Nadia mendudukan dirinya di kursi restoran dan Gavin mulai memesan, sedangkan dirinya larut dalam pikirannya, Nadia teringat tentang percakapannya dengan Gavin beberapa hari lalu.
.
.
Flashback ...
"Jadi maksud kamu kamu berterimakasih untuk kejadian 15 tahun lalu?" Nadia menatap Gavin tak percaya, bagaimana bisa ada pria seperti Gavin .
"Ya, apa kau mengingat ku?" Nadia menggaruk hidungnya gugup.
"Bagaimana ini, jika 15 tahun lalu bagaimana bisa aku mengingatnya."
"Dulu aku berdiri di depan restoran dan kamu menghampiriku, saat tahu aku kelaparan kamu membawakan makanan untukku, lalu saat itu seorang pria datang dan memanggil kamu Nana." Nadia tertegun saat Gavin mengucapkan kata Nana, benar jika itu 15 tahun lalu itu berarti gadis kecil itu bukan dirinya karena Papanya baru mempunyai restoran ini sekitar 10 tahun lalu, dan dia tahu siapa Nana yang Gavin maksud, dan Nadia tidak akan membiarkan Gavin bertemu Nana, dia tidak akan membiarkan pria kaya seperti Gavin jatuh ke tangan Nana.
"Baiklah jika kamu ingin berterimakasih, bagaimana jika kamu jadi pacarku?"
Flashback off.
...
Bagaimana ini jika Gavin tahu dia bukan Nana, apa Gavin akan minta putus.
Kerena Gavin menerimanya hanya kerena dia adalah Nana.
Nadia menggeleng dia tak mau kehilangan Gavin, karena sejak pertama melihatnya Nadia sudah jatuh cinta pada Gavin, dan dia tidak rela jika Gavin bertemu dengan Nana dan meninggalkannya.
Jadi satu- satunya cara agar Gavin tidak meninggalkannya adalah mengikatnya.
Benar Nadia harus segera mengikatnya, dan menjadikan Gavin miliknya seutuhnya.
...
Najwa menatap heran pada Kakak sepupunya yang lari meninggalkannya begitu saja, bahkan sebelum dia mengenalkan Amar.
"Kenapa ya?" Najwa merasa bingung.
"Mungkin kakak kamu lagi buru- buru."
"Oh, atau dia gak mau di ganggu mungkin, kan sama pacarnya ... ." Amar menunjuk Kakak sepupu Najwa yang menyeret seorang pria yang hanya terlihat punggungnya.
Najwa memicingkan matanya saat menatap punggung itu berjalan bersama kakak sepupunya.
"Aku rasa bukan deh, setahuku Kak Nadia udah punya calon suami dan bukan dia."
...
Amar mengantar Najwa pulang tepat waktu dan tanpa lecet sama sekali, Amar tersenyum pada Papa Najwa yang menunggu mereka di depan pintu seperti satpam yang siap sedia mengejar pencuri.
"Malam Om." Amar bahkan mencium tangan papa Najwa.
"Malam."
"Bagaimana film nya?" tanya Papa Najwa.
"Bagus Om, Najwa sampe nangis karena filmnya sedih," jawab Amar, bagaimana pun dia harus sopan pada papa calon pacarnya. Amar tersenyum dalam hati.
"Oh, gak papa kalau nangis karena film asal jangan kamu yang buat nangis anak saya." Papa Najwa terkekeh.
"Makasih ya, Mar." Najwa tersenyum sebenarnya itu kode supaya Amar segera pergi dan tidak membuat Papanya bertanya lebih.
"Oh Iya Naj, kalau gitu, saya pulang dulu Om, Naj," ucap Amar, seraya mencium tangan Papa Najwa.
Papa Najwa mengangguk lalu melihat Najwa yang menipiskan bibirnya "Pacar?"
"Temen Pa."
Papa Najwa mengangguk "Gak papa kok kalau pacar."
Najwa mencebik "Masuk Pa, sudah malam, nanti masuk angin," ucapnya, seraya memasuki rumah.
Najwa bisa mendengar Papanya terkekeh di belakangnya.
"Eh, iya Pa, kak Nadia kapan nikah?" tanyanya, Najwa teringat pertemuannya dengan Nadia tadi.
Papa mengeryit "Nikah, gak tahu, Om Yuda belum kasih kabar."
Najwa mengangguk "Tapi calon suaminya masih yang kemaren kan?"
Papa mengangguk "Iya, setahu Papa masih Bram anaknya Pak Danu." Najwa mengangguk lagi.
"Kenapa sih, dari tadi ngangguk terus."
"Nggak, tadi aku ketemu Kak Nadia di bioskop sama cowok tapi gak kenal, dan bukan Kak Bram, mungkin itu temannya Kak Nadia ... ."
...