03. KAMAR ALAN

1510 Words
"Kalau Sarka boleh tahu, siapa yang donorin mata buat Sarka?" Maria menelan ludahnya dengan kasar, otaknya sudah berpikir keras mencari jawaban yang tepat, tanpa menimbulkan pertanyaan lain. Maria kemudian tersenyum tipis, lantas wanita setengah baya tersebut berdiri dari duduknya, melangkah mengitari meja, kemudian duduk di sebelah Sarka. Maria mengelus pelan puncak kepala putranya, sebelum pada akhirnya ia berkata sesuatu, menjawab pertanyaan Sarka. "Sarka, kamu nggak usah mikirin itu, ya? Nggak penting buat kamu tahu siapa yang donorin mata, yang paling penting sekarang kamu udah bisa lihat lagi." "Tapi Sarka pengin tahu bu," balas Sarka cepat. "Siapa orang baik ini yang rela matanya dipake Sarka? Apa dia masih hidup? Atau susah meninggal? Sarka cuma pengin ngucapin terima kasih. Itu aja." "Nggak perlu," tegas Maria sambil menggeleng mantap. "Sarka nggak perlu tahu, intinya orang ini sangat baik. Udah ya jangan dibahas lagi. Kamu baru balik dari rumah sakit, jangan terlalu banyak pikiran. Nanti kamu malah jatuh sakit." Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban yang dirinya mau, akhirnya Sarka menyerah juga. Cowok itu mengangguk lesu, meskipun ia sangat penasaran siapa gerangan orang yang berbaik hati ini. Siapapun dia, gue berterima kasih banget karena gue bisa melihat lagi. Sarka bergumam dalam hati. "Udah selesai bu, masakan ibu selalu enak. Sarka suka!" Pujian dari putranya, membuat Maria tersenyum lebar. Sarka berdiri dari duduknya, "Sarka mau pergi ke kamar lagi ya Bu? Atau ibu minta Sarka melakukan sesuatu?" "Iya, kamu ke kamar aja. Istirahat dulu, nanti jangan mandi, ya?" "Siap bu!" Sarka menjawab lantang, ia pun kemudian mulai melangkah lagi menuju kamarnya. Sarka berniat menyalahkan ponselnya yang disimpan di laci kamarnya. Sudah enam bulan berlalu benda canggih itu tidak diaktifkan, pasti banyak sekali pesan yang berdatangan. Ketika ia hendak kembali ke kamarnya, entah kenapa ia berdiri di depan pintu kamar Alan—abangnya, yang sedikit terbuka. Sarka berhenti melangkah, ia sedikit melihat ke dalam lewat celah pintu. Entah kenapa, ada keinginan dibenak Sarka ingin masuk ke dalam kamar abangnya itu. Sekarang masih pukul empat sore, abangnya masih bekerja. Alan biasanya baru pulang ke rumah pukul lima sore, itu sudah yang paling cepat. Biasanya jam enam waktu Maghrib, Alan paling sering pulang diwaktu itu. Pintu terkuak lebar ketika Sarka mendorongnya lebar-lebar. Kemudian, cowok itu menolehkan kepalanya ke belakang, hanya untuk memastikan bahwa Alan benar-benar belum pulang. Tidak ada salahnya kan Sarka masuk ke kamar kakaknya? Cowok itu tertawa pelan, kemudian kembali menutup pintu setelah posisinya sudah berada di dalam kamar Alan. Yang disukai Sarka dari kamar abangnya ini adalah, banyak sekali komik yang berjarak rapi di rak lemari. Memang, abangnya maniak komik. Sarka suka meminjamnya. Dan, koleksi komik Alan bertambah banyak semenjak terakhir kali Sarka melihatnya, enam bulan yang lalu. Sarka mendekat ke arah lemari, ia hendak menarik satu komik dari dalam rak, namun sebelum ia sempat melakukannya, Sarka terlebih dahulu tertimpa tumpukan komik yang jatuh dengan sendirinya. "Aduh ...." Sarka meringis pelan, ia menatap lantai yang sekarang penuh dengan komik. "Kok bisa jatuh sendiri dari lemari?" tanya Sarka pelan, ia menghela napas panjang. Sebelum ia berjongkok dan memunguti komik-komik yang jatuh tersebut, Sarka terlebih dahulu mendongak ke atas. Dan detik itulah Sarka langsung terjatuh ke belakang. Dengan bola mata yang terbelalak, bibir Sarka sudah bergetar, tatapannya tidak mau beralih dari sesuatu yang sedang duduk di lemari. Sarka hendak mengucapkan sesuatu, tapi ia kesulitan untuk berkata. Mulutnya hanya bisa membuka dan menutup, tidak ada suara yang keluar. Sarka ingin berteriak sekencang mungkin. Tapi ia tidak mampu. Lidahnya terasa sangat kelu. Apa yang Sarka lihat benar-benar diluar dugaan cowok itu. Diatas lemari komik milik Alan, seorang perempuan dengan pakaian putih duduk di sana, rambutnya panjang menutupi seluruh wajahnya. Sarka sudah mulai ketakutan, bulu kuduknya sudah meremang. Apalagi seluruh tubuhnya kini bergetar. Keringat dingin dengan cepat keluar dari pelipis Sarka. "Ka-kamu siapa?" Sarka memberanikan diri mengajukan pertanyaan untuk perempuan berambut panjang yang memakai pakaian putih panjang itu. Kakinya benar-benar tidak terlihat, mengambang. Sarka menelan ludahnya dengan kasar. Dengan rasa takut yang sepenuhnya sudah menguasai tubuhnya, Sarka melihat jika perempuan yang duduk di atas lemari, perempuan yang ia yakini bukan manusia, perlahan menunjukan wajahnya. Rasanya Sarka ingin berteriak sekencang mungkin. Tapi entah kenapa ia tidak bisa melakukannya. Terlalu sulit. Wajah sosok perempuan itu dipenuhi darah berserta ulat yang bercampur dengan nanah, membuat Sarka rasanya ingin memuntahkan isi perutnya. Bau tak sedap dengan cepat membuat Sarka tidak tahan. Memejamkan matanya serapat mungkin, Sarka merapalkan doa dalam hati. Apapun doa yang ia hapal, ia utarakan saja. Tubuhnya semakin menggigil. Hawa disekitarnya juga tiba-tiba terasa suram dan mencengkam. Sarka sadar bahwa perempuan yang ia lihat tadi adalah makhluk dari dunia lain. Buktinya saja, wajahnya benar-benar tak normal. Darah, nanah, ulat, bercampur menjadi satu. Sangat menyeramkan dan menjijikan. Belum lagi, ketika Sarka membuka matanya, sosok tadi sudah menghilang. Sarka menatap sekelilingnya dengan jantung berdegup kencang. Napasnya sudah tidak beraturan. Entah sudah berapa lama Sarka menahan napasnya karena ketakutan. "Di-dia menghilang?" Sarka bergumam pelan. Matanya semakin awas, takut kalau tiba-tiba perempuan menyeramkan tadi muncul lagi. "Saya nggak menghilang, saya ada di sini." Bisikan pelan dengan suara parau itu terdengar tepat didepan daun telinganya. Sarka merinding, perlahan ia memberanikan diri menolehkan wajahnya ke samping. Sarka langsung terlonjak kaget, ia terseok menjauh. Wajah perempuan itu begitu dekat dengannya, kini ia memamerkan senyumannya dengan sangat lebar, semua giginya berwarna hitam. Semakin menyeramkan saja wajahnya itu. "Ka-kamu siapa? Ke-kenapa ada di sini?" Sarka mencicit lirih, mati-matian ia memupuk keberanian. "Saya penunggu kamar ini. Kamu bisa melihat saya?" balas perempuan itu. "Mustahil aku nggak melihat kamu!" Sarka membalasnya cepat. "Ka-kamu terlihat sangat jelas." Perempuan itu terkekeh panjang, mendengarnya membuat bulu kuduk Sarka dibuat berdiri lagi. "Senang akhirnya ada yang bisa melihat saya." "Jawab pertanyaanku, kamu siapa?" tanya Sarka. "Saya sudah jawab pertanyaanmu tadi, saya penunggu kamar ini." "Ka-kamu siapa sebenarnya?" Sarka bergerak mundur, sebisa mungkin menjaga jarak dengan perempuan menyeramkan itu. "Sepertinya kamu takut melihat muka saya yang menjijikan ini." Perempuan bersurai panjang itu terkikik lagi, sebelum akhirnya ia muncul dengan wajah yang baru. Kali ini lebih baik. Wajahnya hanya pucat. Tidak ada lagi darah, nanah, ataupun ulat menjijikan tadi. Semuanya sudah menghilang. "Gimana? Ini lebih baik, kan?" Sarka masih tidak percaya perempuan itu bisa mengubah wajahnya dalam waktu sesingkat itu. Dan Sarka lebih tidak percaya lagi bahwa saat ini ia sedang berinteraksi dengan makhluk tak kasat mata. Ini gilaa! "Ba-bagaimana bisa?" "Maaf, sepertinya saya membuatmu takut. Tenang saja, kamu nggak usah berlebihan begitu, saya tidak akan apa-apain kamu." "Kamu siapa?!" Sarka berteriak sekali lagi. "Orang-orang menyebut saya kuntilanak, tapi saya punya nama. Mau kenalan? Saya Gwen, siapa namamu? Saya merasa beruntung bisa bertemu denganmu. Kamu spesial, bisa melihat saya yang sudah nggak hidup lagi." Tenggorakan Sarka tercekat penuh mendengarnya. Ia masih sedikit merasa was-was walaupun tidak setakut sebelumnya. Sekarang Sarka bisa lebih santai lagi. "Kamu kuntilanak?" "Jangan takut, saya nggak semenyeramkan itu." "Tapi kamu emang nyeremin!" "Tidak, saya tidak setuju. Lihat, sekarang kamu sudah nggak takut lagi. Siapa namamu?" "Kamu nggak perlu tau!" tegas Sarka. Perempuan tadi tersenyum sinis, kemudian ia melayang lagi dan berakhir duduk di atas lemari komik. Seperti sebelumnya. Sarka terbelalak melihat itu tepat di depan matanya. Ini sungguh aneh dan tidak bisa Sarka sangka-sangka. "Kamu Sarka, saya sudah tahu. Barusan saya cuma mau mengetes kamu saja." Perempuan yang kini wajahnya pucat itu memamerkan giginya yang berwarna hitam. "Bagaimana bisa kamu tau?" Sarka bertanya pelan. "Sudah saya bilang kalau saya penunggu kamar ini. Kamu sering bolak balik ke sini, saya sudah kenal kamu. Kamu adiknya Alan." "Kenapa aku bisa melihatmu? Ini ... aneh." "Kamu masih takut dengan saya?" "Sudah lumayan tidak, karena sekarang aku ngerasa sedang bicara dengan sesama manusia." "Bagus, itu lebih baik. Karena saya benci jika dibilang setaan, hantu, arwah penasaran, atau apalah itu. Kamu nggak perlu takut lagi, mungkin kita bakal sering bertemu." "Kenapa aku bisa melihat kalian? Aku sebelumnya nggak bisa lihat hantu." Sarka memegang kepalanya yang kini terasa sangat pening. "Karena sekarang kamu punya kelebihan. Kita bisa berteman, saya nggak jahat. Saya bakal baik asalkan orang-orang nggak mengganggu saya." "Kenapa kamu bisa ada di sini?" "Karena ada kakakmu, saya suka kakakmu. Kamu tahu, kakakmu itu sempurna. Kakakmu tampan, saya suka melihatnya. Kamu sendiri juga nggak kalah tampan sebenarnya, tapi saya lebih suka kakakmu yang sudah dewasa. Kamu masih kecil, saya nggak minat." "Jangan ganggu bang Alan!" Sarka marah, ia menatap tidak suka kepada hantu kuntilanak yang mengaku secara terang-terangan menyukai kakaknya. Ini terdengar sangat gilaa dan sembrono. "Saya tidak mungkin mengganggu kakakmu. Mana mungkin saya melakukan itu? Saya suka lihat kakakmu waktu dia tidur, lagi baca komik, ataupun nonton film. Dan yang lebih saya sukai, saya paling suka mengintip kakakmu itu mandi lagi hihihi ..." "Dasar kuntilanak gilaa!" Sarka mengumpat kesal, awalnya ia memang takut, tapi lama-lama perempuan yang sedang duduk di atas lemari komik itu berubah sangat menyebalkan. "Sarka, kamu lagi ngomong sama siapa?" Suara yang sangat Sarka kenali tiba-tiba terdengar, dengan cepat Sarka menolehkan wajahnya ke sumber suara. Sarka membelalakkan matanya terkejut, menatap Alan yang kini berdiri di ambang pintu dengan kening terlipat dan kedua alisnya yang nyaris saja menyatu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD