2

1472 Words
WARNING! Sesuai dengan trigger warning yang aku pasang di blurb, kisah ini akan berating dewasa (non-explicit). Akan ada beberapa scene disturbing seperti s****l assault, penggunaan kata-k********r, kekerasan dan lain-lain. Jadi rating dewasa yang aku kasih bukan karena adegan s****l aja ya tapi beberapa hal yang aku sebutin di atas termasuk. Aku harap kalian bisa ambil hal-hal yang baik dari cerita ini dan jadiin pembelajaran. Happy reading~ . . .  Damian masih ingat jelas pertemuan pertamanya dengan Gabriella. Saat itu Damian datang mengunjungi sebuah panti asuhan di pinggir kota sebagai seorang mahasiswa yang akan melakukan projek amal sekaligus untuk keperluan tugas kampusnya. Saat Damian datang, Gabriella yang masih berusia sepuluh tahun sedang bersenandung sambil memakan buah apel di atas dahan pohon rindang di halaman panti. Pertemuan itu sebetulnya tidak terlalu berkesan. Damian tidak banyak bercengkrama dengan Gabriella dan lebih banyak bermain dengan anak laki-laki. Setidaknya hingga kunjungan Damian berikutnya, ia baru bisa berinteraksi langsung dengan gadis itu. Gabriella suka menari dan mendengarkan musik. Karena di kunjungan kedua, Damian baru bisa menunjukkan kebolehannya sebagai mahasiswa jurusan musik saat itulah ia berhasil menarik perhatian Gabriella. Tetapi bukan berarti Damian adalah seorang p*****l yang jatuh cinta pada anak berusia sepuluh tahun itu. Tidak sama sekali. Gabriella hanya mengingatkan Damian pada sosok kakak perempuannya yang sudah meninggal dunia bersama orang tuanya saat Damian berusia tiga belas tahun. Saat itu kakak perempuannya, Sabrina, berusia lima belas. Keluarganya terlibat kecelakaan beruntun di perjalanan pulang dari pertunjukkan tari Sabrina. Damian sendiri lolos dari kecelakaan maut tersebut karena berada di rumah, ia menolak ikut karena sedang marah pada sang kakak. Dan hingga hari ini,hal itu menjadi penyesalan yang mungkin akan Damian bawa hingga akhir hayatnya nanti. Setidaknya jika Damian tahu hari itu adalah hari terakhirnya bisa melihat senyum Sabrina, Damian mungkin tidak akan memusuhi kakaknya hanya karena kakak perempuannya sibuk berlatih dan tidak punya waktu lagi untuknya. Hingga beberapa tahun kemudian, takdir membawa Damian ke panti asuhan Shining Sun dan mempertemukannya dengan Gabriella. Gabriella tidak mirip dengan Sabrina secara fisik. Tetapi bagaimana Gabriella bersikap, tertawa bahkan menunjukkan emosinya ketika ia diganggu benar-benar mengingatkan Damian pada Sabrina. Damian sempat berpikir bagaimana jika ia mengadopsi Gabriella sebagai adiknya, tetapi niat itu tidak mungkin bisa Damian wujudkan karena kondisinya yang juga yatim piatu. Damian hanya hidup dengan pelayan keluarga yang sudah bekerja untuknya turun-temurun. Paman William, adik laki-laki ayahnya, hanya menjadi wali untuk Damian sampai usianya delapan belas tahun. Dinas terkait tidak akan semudah itu memberikan izin untuk Damian yang saat itu masih berusia dua puluh tahun mengadopsi seorang anak. Bahkan jika di Amerika Serikat, Damian masih dianggap underage saat itu. Bagaimana bisa seorang yang belum cukup umur mengadopsi anak lainnya. Tidak masuk akal. Damian membanting botol di tangannya. Ingatannya akan masa lalu yang menjadi akar kebencian Gabriella padanya membuat ia muak, kesal. Ia marah pada takdir yang mempermainkannya dengan semena-mena. Damian pun kehilangan lagi kesadarannya malam itu dengan dadanya yang dipenuhi kepedihan, seperti malam yang sudah-sudah. Tidak peduli seberapa banyak alkohol yang ia tenggak, seberapa banyak ia kehilangan kesadaran, rasa sakit itu selalu ada karena saat hari berganti, Gabriella tetap membencinya. --- Gabriella memutar penanya dengan kesal. Ia sudah membuka hampir seluruh buku di hadapannya hanya untuk bisa mengerjakan soal kalkulus yang membuatnya mual. Ia sudah mencoba beberapa cara dari yang mudah hingga tersulit, tapi ia tetap tidak dapat memecahkan soal-soal sialan tersebut. Gabriella menggeram. Ia menatap ke sekeliling ruang belajarnya—yang sebenarnya ruang perpustakaan pribadi Damian—dan tatapannya tertuju pada laki-laki yang sedang berkutat dengan laptop dan dokumen yang tidak dimengertinya di pojok ruangan yang tersekat oleh dinding kaca bening. Gabriella langsung menggelengkan kepala setelah membayangkan dirinya meminta bantuan pada orang itu. Dia adalah orang terakhir yang akan aku mintai tolong di dunia ini. Gabriella mendesah pelan, lalu kembali berkutat pada soal di hadapannya. Sialan. Soal-soal itu menjadi lebih sulit bagi Gabriella karena fokusnya saat ini sudah terbagi ke mana-mana. Padahal guru les privatenya baru saja pulang setelah menyelesaikan sesi tutor khusus persiapan ujian beberapa jam yang lalu. Tetapi saat ini Gabriella sudah lupa apa saja yang sudah diajarkan oleh gurunya hari ini. Dan Gabriella tidak bisa membayangkan apa yang terjadi besok pada dirinya saat mengerjakan soal ujian sebenarnya. Gabriella mengulang mengerjakan soal-soal itu meskipun yakin hasilnya tidak akan terpecahkan. Karena Gabriella betul-betul tidak mengerti dari awal. Namun meskipun fokus Gabriella yang mengarah pada buku di hadapannya, gadis itu dapat merasakan seseorang mengawasinya. Membuatnya bergidik. "Kalkulus, ya?" Tiba-tiba saja suara pria itu berada di belakang telinga Gabriella, membuat gadis berambut panjang itu tersentak hingga menjatuhkan pulpennya. Dadanya bergemuruh, tangannya mengepal dan keringat mulai menguar di tubuhnya. "Ini mudah, kau hanya perlu memahami rumus ini," Gabriella terpaku pada harum maskulin yang menguar dari tubuh pria yang meski enggan ia akui tetapi menjabat sebagai calon suaminya ini. Gabriella mendadak tidak bisa mendengar apapun yang tengah Damian coba katakan. "Gabriella, apa kau mendengarku?" Gabriella segera menggelengkan kepalanya menepis bayang-bayang yang menjijikan di kepalanya. Ia memundurkan kepalanya menjauhi Damian yang masih tetap di posisinya, menatapnya ragu. Tunggu dulu! Gabriella menyadari bahwa dirinya baru saja melakukan kesalahan fatal. Ia baru saja lengah pada Damian. Oh sial. Dia tau apa yang akan terjadi setelah ini. Gabriella segera membereskan buku-bukunya namun tangan Damian lebih dulu mencengkram pergelangan tangannya. "Kau mau ke mana?" tanya Damian tanpa menatap Gabriella, tatapan laki-laki itu justru tertuju pada lembar soal yang tersebar di meja. "Bu..bukan urusanmu! Lepas!" Gabriella berusaha meronta, melepaskan tangannya dari cengkraman Damian. Damian memutar kursi Gabriella hingga menubruk meja dan ia mengurung tubuh Gabriella dengan tubuhnya. "Bukan urusanku? BUKAN URUSANKU HAH?!" Damian memukul meja di belakang Gabriella membuat gadis itu mengerut ketakutan. "Sampai kapan kau akan terus mengatakan apapun yang kau lakukan bukanlah urusanku? Aku berusaha di sini, Gabriella, setidaknya bisakah kau beri aku kesempatan dan menganggapku sebagai manusia dan bukan monster? Bisakah?" tanya Damian menatap tajam mata Gabriella. Gabriella menatap balik mata coklat itu. Kedua luka itu bertemu dan saling bertubrukan. "Kau sudah kehilangan kesempatan itu sejak hari itu! Minggir!" Damian mencengkram dagu Gabriella. Tatapan yang semula tajam itu melunak menjadi tatapan sangat lembut penuh kasih, sangat bertolak belakang dengan bagaimana tangannya mencengkram dagu gadis itu agar mau menatapnya. "Bisakah kau mengerti, aku tidak pernah menginginkan semua ini terjadi. Tidak—" Gabriella memalingkan wajahnya kasar hingga tangan Damian terlepas dari dagunya. "Tidak aku tidak mau mengerti! Selamanya aku membencimu dan keluarga terkutukmu! Lepaskan aku!" Gabriella mengerang, menggerakan seluruh tubuhnya berusaha lepas dari kungkungan Damian namun tenaga pria itu tentu jauh lebih besar. Bahkan jika boleh jujur, saat ini Damian hanya menggunaka sedikit saja dari tenaga yang ia miliki. "Gabriella..." "LEP—hmmp!!" Damian melumat kasar bibir Gabriella. Membungkam gadis itu agar tidak membantahnya terus menerus. Gadis itu menggeliat, meronta tidak terima akan perlakuan Damian padanya. Demi Tuhan ia tidak sudi disentuh oleh pria yang paling dibencinya! Damian menahan setiap pukulan bahkan cakaran dari Gabriella tanpa berusaha berhenti. Damian justru melanjutkan memagut bibir Gabriella dengan dalam dan kuat. Pria itu menghisap bibir bawah dan atas Gabriella bergantian. Sial! Gadis ini membangkitkan 'monster' dalam tubuhnya. Ciuman Damian menuntut, jauh dari kata manis, lembut atau romantis. Ciuman ini jelas mimpi buruk untuk Gabriella. Gabriella memalingkan wajahnya dengan sekuat tenaga sehingga ciumannya terlepas. Tetapi hanya sebentar sebelum akhirnya bibir Damian kembali menemukan bibirnya. Usaha terakhir Gabriella hanya satu yaitu dengan membalas ciuman Damian, setidaknya sampai laki-laki itu lengah dan mengakhirinya dengan sebuat gigitan hingga rasa amis mencecap lidahnya. Yup. Gabriella baru saja membuat bibir seorang Damian Alexander berdarah. Damian terengah begitupun Gabriella. Gabriella menatap Damian benci, sedangkan Damian menutup matanya lalu menarik nafas dan menghelanya teratur sambil mengusap luka yang dibuat oleh Gabriella di bibirnya. "Kau tahu, aku masih marah karena anak ingusan itu berani menciummu," ucap Damian tanpa menatap Gabriella. Gabriella berdecih. "Memangnya aku peduli? Dia pacarku dan aku menikmati ciumannya!" balas Gabriella seolah memancing. Sepertinya hukuman Damian sama sekali tidak membuat gadis itu takut. Damian memejamkan matanya dan rahangnya mengeras. Marah. Tetapi Damian memutuskan untuk tidak menangkap pancingan yang Gabriella berikan. "Aku sudah membersihkan bekas anak ingusan itu dari bibirmu. Setidaknya ciumanku akan kau ingat lebih lama daripada ciuman payah anak ingusan itu," bisik Damian sambil mengelus lembut bibir Gabriella yang kemerahan akibat ciuman mereka tadi. Gabriella menggerakan kepalanya agar tangan Damian lepas dari bibirnya. "Anak ingusan? Kau tidak sadar kau juga akan menikahi dan baru saja melecehkan seorang gadis ingusan?!" Damian melepaskan kungkungannya dan Gabriella memanfaatkan itu untuk berdiri. Bahkan ia tidak peduli dengan kertas-kertas soal latihan yang berserakan di meja. Gabriella berdiri dan mengelap bibirnya di hadapan Damian dengan ekspresi jijik. "Akan aku pastikan menyikat gigiku dan mencuci mulutku dengan bersih! Minggir, sialan!" Gabriella pun pergi sambil menyempatkan diri menubruk bahu Damian cukup keras. Damian hanya berdiam di tempatnya. Kata-kata Gabriella menohoknya. Membuatnya merasa seperti seorang monster yang baru saja melecehkan seorang gadis remaja meski gadis itu adalah calon istrinya sendiri. Ya, Damian Alexander memanglah seorang monster karena jatuh cinta pada gadis berusia delapan belas tahun yang sangat membencinya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD