NAD(R)A

1614 Words
Aku mematung di depan pintu salah satu unit apartemen yang akan menjadi rumahku sejak detik ini. Kedua tanganku masih menggenggam handling sebuah koper yang berisi barang-barang pribadiku. Berkali-kali benakku menyuarakan pertanyaan yang tak sanggup kujawab. Benarkah keputusan yang sudah kuambil? Akankah suatu saat nanti keputusan ini menjadi bumerang untukku? "Nara..." "Nara..." "Nara..." Aku terkesiap saat tangannya menyentuh lembut lenganku. "Nara?" "Iya, Mas..." "Ada apa? Kenapa melamun?" "Ngga apa-apa, Mas." "Ayo masuk. Maaf lama, tadi aku lupa naruh key card-nya dimana." "Ga apa, Mas." ujarku seraya melewati pintu berwarna hitam yang ditahan oleh Mas Andra. Andra. Pria yang selama beberapa bulan terakhir kuketahui sebagai tunangan saudariku sendiri. Tunangan kakakku, Ajeng. Lucunya, hari ini adalah hari pernikahan mereka, setidaknya itulah yang tercatat di undangan yang sudah tersebar. Sayangnya, entah kemana Kak Ajeng melarikan diri. Ia menghilang bak ditelan bumi tepat disaat Mas Andra sudah duduk khidmat di depan Ayahku dan Sang Penghulu. Lantas apa yang terjadi? Tentu saja semua sanak keluarga panik. Para undangan - walaupun keluarga dan kerabat terdekat - sudah memenuhi event room yang khusus disewa untuk pelaksanaan akad nikah. Ibuku menangis. Ayahku terduduk lesu. Kiamat rasanya datang tak diundang secara tiba-tiba di keluargaku. Entah ide konyol darimana, tiba-tiba saja pria di sampingku ini bersuara lantang. "Nara... Menikahlah denganku." Luar biasa bukan? Tahu apa yang lebih luar biasa lagi? Ibu menangis sesenggukan seraya memintaku mengiyakan permintaan Mas Andra. Ayahku pun tak melerai, justru ikut-ikutan menganggukkan kepalanya. Dan bodohnya, aku mengiyakan keinginan mereka, menyelamatkan wajah orang tuaku walaupun akhirnya akad nikah tertunda cukup lama karena harus mengganti data calon mempelai perempuan terlebih dahulu. Ya Tuhan, sedemikian naasnya hidupku ini. "Nara?" "Iya, Mas." "Maaf ya." "Untuk apa?" "Kamu pasti belum bisa menerima keadaan ini." Aku diam saja seraya menundukkan kepalaku. "Kamu punya pacar?" Aku menggeleng lemah. "Baru putus kemarin, Mas." "Kemarin banget?" "Kemarin banget, Mas." Mas Andra mengusap-usap tengkuknya sendiri. "Mau cerita?" "Ngga, Mas. Rugi ngomongin mantan. Mereka ga sepenting itu untuk dibicarakan." Mas Andra malah tertawa geli. "Pinter kamu, Nara." "Iya, Mas. Aku summa cumlaude." Lagi-lagi Andra tertawa geli. Usai puas tertawa, tiba-tiba saja ia mengulurkan tangan kanannya. Mengacak-acak rambut di puncak kepalaku. "Ayo, kita ke kamar. Aku tunjukin walk in closet kita, biar kamu bisa nyimpen barang-barangmu itu." ujarnya seraya mengambil koperku dan membawanya ke dalam kamar utama di unit itu. Unit apartemen yang kami huni ini berada di area Jakarta Selatan. Bagiku yang masih berstatus b***k corporate, memiliki unit di wilayah bernilai tinggi seperti ini belum pernah masuk ke dalam dream list-ku. Ya bayangkan saja, unit yang kami huni dengan tiga kamar tidur dan dua kamar mandi sudah seharga 25 milyar rupiah. Jangankan mencicilnya, mendengar harganya saja aku sudah megap-megap. Oh, aku ingat, unit ini dibeli Mas Andra cash. Mungkin dia punya mesin cetak uang sendiri di salah satu kamar di unit ini. "Itu walk in closet-nya ya, Nara." Aku menatap pintu yang ditunjuknya, berjalan mendekat, meraih handle pintu, lalu membuka pintu itu lebar-lebar. Mulutku menganga seraya melangkah pelan ke dalam ruangan yang ukurannya bahkan melebihi kamar mungilku di rumah Ibu dan Ayah. Berdecak kagum menatap pakaian-pakaian yang tergantung dan tertata rapih di dalamnya. "Mas..." panggilku. Mas Andra masuk ke dalam walk in closet, duduk di sebuah kursi yang berada di sana sedari awal. "Mas... Ini baju siapa?" tanyaku. Merujuk ke baju-baju wanita yang terpajang rapih. "Kamu ga suka?" tanya Mas Andra. Aku diam saja. "Nara?" "Baju-bajunya untuk orang tinggi, Mas. Tinggiku hanya 155 cm. Aku bisa kaya hantu pakai baju-baju ini." Kini Mas Andra yang terdiam. "Oh, ya udah Mas, ga apa-apa. Nanti kubawa ke tukang jahit langganan saja. Biar dipotong sesuai tinggiku." "Ga usah, Nara. Maaf. Biar besok aku minta orang membuang semua baju-baju ini dan menggantinya dengan ukuranmu." "Dibuang?" tanyaku shock. "Iya." "Tapi Mas..." "Tak apa Nara." "Maaf ya Mas. Bukan begitu maksudku." "Aku yang seharusnya minta maaf." Aku hanya tersenyum, mencoba bersikap ramah pada suamiku sendiri. "Beristirahatlah, Nara. Kalau ada yang kamu perlukan, aku ada di kamar samping ya." "Mas mau ngapain di kamar samping?" "Tidur, Nara." "Oh, kita tidur di kamar samping?" "Bukan, Nara. Kamu tidur di kamar ini. Aku di kamar sebelah." Tiba-tiba saja dadaku sesak. Aku tersinggung dengan kata-katanya. "Kenapa begitu? Mas ga ikhlas menikahi aku?" "Nara..." "Mas masih nunggu Kak Ajeng?" "Bukan begitu Nara." "Kalau Mas menikahiku hanya untuk memancing kak Ajeng agar segera kembali, aku harap usaha Mas berhasil." sarkasku. Mas Andra mematung. "Tapi sampai Kak Ajeng datang, aku akan bersikap selayaknya seorang isteri. Dan tak ada pisah ranjang di kamus pernikahanku. Sekalipun mungkin ini pernikahan main-main untukmu Mas!" Aku kesal. Aku berjalan melewatinya, keluar dari walk in closet, meninggalkannya yang masih berdiri membeku di dalam sana. Aku menyambar bathrobe yang tergantung di dinding, lalu masuk ke dalam kamar mandi begitu saja. Entah sudah berapa lama aku menangis di dalam kamar mandi ini. Aku tak pernah mengharapkan pernikahan seperti ini. Dinikahi sebagai isteri pengganti. Umurku baru 24 tahun. Kurasa aku masih punya cukup waktu untuk memikirkan konsep pernikahan yang kuinginkan, untuk mencari tambatan jiwa yang kuidamkan. Bukan seperti ini. Menikahi seorang pria yang mencintai kakakku sendiri sungguh bukan salah satu doaku. Aku membuka pintu kamar mandi, keluar dari ruangan yang sudah penuh dengan uap hangat itu. Melangkah kembali ke dalam closet, mengambil piyama ice silk berwarna hitam polos dari dalam koperku lalu memakainya. Aku menatap wajahku pada cermin dihadapanku. Mataku sembab. Mungkin besok pagi akan terlihat lebih buruk lagi. Aku meraih mukena yang juga berada di dalam koperku, lalu beranjak keluar dari ruangan itu. "Ayo kita shalat sama-sama, Nara." ajak Mas Andra yang sudah siap di atas sajadahnya. Sepertinya ia tetap di kamar ini sedari tadi. Aku diam saja. Hanya melangkah ke atas sajadah di belakangnya. Memakai mukenaku dalam diam sementara Mas Andra memperhatikan setiap gerak gerikku lekat. Hingga dirasanya aku siap, suara takbiratul ikhram menyapa pendengaranku. "Mau langsung tidur?" tanyanya sehabis aku mencium punggung tangannya takzim. "Iya, Mas." "Tidurlah. Aku mau mandi dulu." "Iya, Mas." Mas Andra menangkup kedua pipiku, menarikku mendekat, melabuhkan kecupan singkat di keningku yang membuat perutku terasa ngilu setengah mati. Begitu Mas Andra masuk ke dalam kamar mandi, aku kembali masuk ke dalam walk in closet kami. Mengambil satu stel piyama berwarna sama seperti milikku. Aku terkekeh, bahkan piyamanya bukan piyama seperti milikku yang hanya seharga seratus ribu yang kubeli di Thamrin City. Piyama miliknya memilki brand yang aku tahu harganya membuat karyawan bergaji tujuh juta per bulan sepertiku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala kala menatap price tag yang digantung walaupun dengan iming-iming diskon sekalipun. Aku benar-benar tak paham, apa yang membuatnya memintaku menikahinya. "Mas..." ujarku dari depan pintu kamar mandi setelah mengetuk beberapa kali. "Ya?" jawabnya dari dalam kamar mandi setengah memekik. "Maaf Mas, piyama Mas sudah aku siapkan. Aku taruh di atas kursi di dalam walk in closet ya." "Oh iya, Nara. Terima kasih." "Ya, Mas." Aku mematikan lampu tidur di sisi kanan, lalu naik ke ranjang, menarik selimut hingga batas pinggangku kemudian merebahkan diri dan memiringkan tubuhku menghadap kanan. "Ya Allah, cape banget rasanya." lirihku pelan. Mungkin karena sudah terlalu letih, aku tertidur begitu saja. Hingga aku merasa begitu terperangkap, tak mampu menggerakkan tubuhku sendiri. Aku terbangun, pandanganku turun menatap tangan kekar yang merengkuh erat pinggangku. "Nara?" Aku memutar tubuhku menghadap suamiku. Kedua netra kami bersirobok, saling menatap lekat tanpa ada yang bermaksud mengalah mengusaikan lebih dahulu. "Mas ga bisa tidur?" tanyaku lembut. Mas Andra tak menjawab. "Mas kalau tidur lampunya hanya diredupkan? Ga dimatikan?" "Iya. Aku ga bisa tidur kalau terlalu gelap." "Oh. Aku nyalakan dulu deh lampuku." "Ga usah, Nara. Lampuku saja sudah cukup." Aku menguap. Sungguh badanku lelah sekali setelah dipajang di depan para undangan berjam-jam hari ini. "Nara..." "Iya, Mas..." "Kamu yang kucintai. Bukan Ajeng." Aku terdiam. Jauh di dalam hatiku bersorak sorai bahagia. Tetapi dalam di relung pikiranku mengatakan jika ia hanya sedang berusaha menjalankan tugasnya sebagai seorang suami - mencintai isterinya. "Iya, Mas." jawabku datar. "Aku sungguh-sungguh, Nara." "Iya, Mas." "Nara, apa kamu ga mengingatku sama sekali?" Aku terdiam. Adakah yang kulewatkan tentangnya? "Aku kakak tingkatmu sewaktu di kampus dulu. Aku di tingkat akhir waktu kamu masuk jadi mahasiswi baru. Memang aku ga pernah punya keberanian menyatakan perasaanku, Nara. Sampai dua tahun yang lalu, kamu interview di kantorku. Aku memang jarang ke kantor yang di Setiabudi, karena tempatku di kantor pusat yang di Senayan, dan aku juga tidak mewawancaraimu langsung saat itu. "Dan akhirnya tahun lalu, perusahaan kita menandatangani kontrak dengan Ajeng sebagai brand ambassador produk terbaru. Usai penandatangan kontrak itu, Ajeng mengajakku merayakannya. Di hari itulah aku baru tau jika kamu dan Ajeng bersaudara, ketika aku mengantar Ajeng pulang. Dan sayangnya, malam itu, aku melihatmu bergenggaman tangan dengan mantanmu. Yang lebih menyakitkan lagi, kamu ga mengingatku sama sekali, Nara." Aku masih terdiam. Menyimak semua untaian kata dan kalimat yang ia tuturkan. "Awalnya aku mendekati Ajeng untuk mendekatimu. Aku tak pernah menyangka jika akan terjebak di dalam rencanaku sendiri. Ajeng justru benar-benar mencintaiku, setidaknya itu yang kurasakan dulu. Aku berusaha menjalani hubungan kami sebaik mungkin. Walaupun akhirnya sia-sia, karena Ajeng memilih meninggalkanku." "Mas tau Kak Ajeng dimana?" "Tau." "Dimana?" "New York. Fashion Week. Dia dapat penawaran untuk menjadi salah satu model di sana." "Dan Mas ijinkan? Mas, bahkan Ibu dan Ayah ga tau dimana Kak Ajeng saat ini." "Dia baru mengabariku selepas akad nikah, Nara." "Kak Ajeng tau kita menikah?" "Ya." "Lalu?" "Pernikahan kita akan kekal selamanya." "Mas..." "Aku mencintaimu, Nara." "Kalau Kak Ajeng pulang bagaimana?" "Aku tetap mencintaimu." "Bukan itu maksudku Mas..." "Aku mencintaimu, Nara." "Iiih Mas Andra! Bukan itu yang mau kubahas." "Aku mencintaimu, Nara." "Mas..." "Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu, Nara." Mas Andra menutup kedua matanya, sepertinya kantuk sudah tak sanggup dilawannya lagi. "Aku... cinta kamu... Nara..." gumamnya sebelum dengkuran halus terdengar merdu di telingaku. ------------------------- Ryan, 16-Des-2021
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD