LOST TIME

3561 Words
"Ma, Pa, Dek... Varro berangkat dulu ya." "Lho, sarapan dulu nak!" ujar Amara seraya berdiri mendekati Varro, mengapit kedua bahu puteranya agar duduk di meja makan bersama suami dan puteri bungsunya. "Varro ada meeting sama penulis yang novelnya mau Varro garap jadi film itu lho, Ma..." "Iya, sarapan kan ga sampai setengah jam." ujar Amara lagi. Akhirnya Varro memaksakan diri mengunyah roti isi di hadapannya. Mengunyah beberapa kali lalu menyeruput s**u hangat agar menu sarapannya itu lebih cepat tersantap habis. "Pelan-pelan, Ro..." ujar Theo pada puteranya. "Hmm..." "Ro..." tegur Amara. "Hmm..." "Kapan rencana kalian bertunangan?" "Mama!" tegur Theo agar Amara menghentikan ocehan rutin paginya. Amara memberengut. "Varro udah selesai Pa, Ma. Varro berangkat." ujar Varro seraya berdiri dari tempatnya duduk, bersiap melangkah menuju tempatnya mencari nafkah. "Varro! Nania itu perempuan! Dia butuh kepastian!" pekik Amara lagi, tak terima tak diperdulikan oleh puteranya. "Oh, kalau gitu Mama tinggal bilang supaya dia menjauh dari hidup Varro!" "VARRO!" Varro tak perduli, ia melangkah cepat, meninggalkan Amara yang menahan panasnya amarah di d**a dan ubun-ubunnya. *** "Ro..." "Hey, Ran." "Ada Nania di dalam." ujar Randy, sahabat Varro sejak di bangku Sekolah Menengah Pertama yang kini juga menjadi tangan kanan Varro. "s**t! Masih pagi udah kacau hidup gue!" gerutu Varro. Randy hanya bisa diam, sementara Varro mendengus kasar seraya meneruskan langkahnya masuk ke dalam ruang kerjanya. "Hi, baby!" sapa Nania ramah. "Hmm..." "Kenapa sih? Pagi-pagi udah murung gitu?" "Ada apa pagi-pagi begini Nia?" "Mami dan Papi nanyain mulu... Kapan kita tunangan, Ro? Umurku udah 25 tahun lho bulan depan. Gimana kalau pas ulang tahunku aja?" Varro menyandarkan bokongnya di meja kerjanya, mengangkat kedua tangannya untuk menarik rambutnya sendiri. Geram. "Nia... Kamu yang paling tau, aku ga mencintaimu." lirih Varro. Lelah sekali hatinya berurusan dengan perempuan berhati batu dihadapannya. Wajah Nania kaku menahan emosinya, ia menarik panjang nafasnya, menutup kedua netranya seraya menahan udara di paru-parunya, setelah beberapa saat baru perempuan itu menghembuskan kembali udara yang tadi dihirupnya. Lalu, kembali tersenyum. "Cinta akan hadir karena terbiasa, Ro. Kita tunangan, lalu menikah. Begitu hidup bersama kamu juga pasti akan mencintaiku." ujar Nania lembut. "Sayangnya aku ga pernah bercita-cita menikah dengan perempuan yang tidak aku cintai!" ketus Varro. "VARRO!" pekik Nania. Habis sudah kesabarannya. "Aku bisa menghancurkanmu dalam sesaat! Kamu ingat Varro, pemilik saham terbesar perusahaan ini bukan kamu lagi! Papamu sudah menjual sebagian besar saham kalian pada orang tuaku untuk membiayai pengobatan adikmu dulu!" Varro tertawa geli. Terbahak-bahak sampai memegang perutnya yang terasa ngilu. "Ya, aku ingat! Tenang saja Nania." ujarnya seraya terkekeh. Nania mengerutkan keningnya, merasa tak wajar dengan respon Varro. "Dan akupun ingat, semua perusahaanmu yang lain di ujung tanduk. Nilai saham kalian terjun bebas. Satu-satunya perusahaan yang sehat hanya perusahaan yang kupimpin ini. Kamu mau membuangku? Silahkan! Kamu pikir aku takut miskin?" "VARRO!" pekik Nania lagi. "KELUAR!" balas Varro. Randy yang mendengar pekikan Varro menyegerakan langkahnya membuka pintu ruangan Varro, berdiam diri di samping pintu, menunggu Nania melangkah meninggalkan sahabatnya dengan wajah merah menahan amarah. "b*****t!" 'BRAK!' Varro meluapkan amarahnya, mendaratkan tinjunya di atas meja kerjanya. Lelah, ia begitu lelah dipojokkan seperti ini terus menerus. Ia tak pernah menyangka, pengorbanan keluarganya justru menuai petaka seperti ini. Dimanfaatkan orang lain, diperah seenaknya, bahkan dilecehkan berkali-kali. Randy menutup pintu ruangan Varro perlahan, iba dengan nasib yang harus dihadapi oleh sahabat terbaiknya. "Permisi, Pak Randy. Saya mengantarkan Ibu Ophelia." ujar seorang perempuan yang Randy kenali sebagai receptionist perusahaan tempatnya bekerja. "Oh, sudah datang ya?" Randy menatap perempuan yang berjalan perlahan seraya tersenyum mendekatinya. Kedua netranya terbelalak kala menyadari sosok perempuan itu. Perempuan itu mengulurkan tangannya, dengan gugup Randy menyambutnya. "Ava." ujar perempuan itu ramah memperkenalkan diri. Randy masih terdiam kaku. "Bisa saya tinggal, Pak?" Randy mengangguk, mengiyakan permintaan undur diri dari receptionist yang mengantar Ava. "Ava..." "Ya?" "Kamu ga ingat aku?" Ava terdiam. "Ava?" "Maaf, Pak. Maaf jika saya tidak mengenali Bapak." "Ya Allah, Ava. Aku Randy temanmu. Aku sahabat Varro, Ava!" Ava terdiam lagi, ia benar-benar tak bisa mengingat siapa pria di hadapannya. 'Randy? Varro?' "Ava?" "Maaf..." lirih Ava. Randy mengusap wajahnya kasar, tak bisa memahami situasi aneh yang terjadi pagi itu. "Oke. Kamu tunggu di sini sebentar ya?" Ava mengangguk seraya tersenyum santun. "Ro!" tegur Randy panik begitu ia masuk ke dalam ruangan Varro. "Apa?" jawab Varro lesu. "Lo abis bikin dosa apaan semalem?" Varro mengerutkan keningnya, berfikir sejenak, lalu bahunya terjatuh lesu. "Siapa lagi yang mau nyari ribut sama gue?" tanyanya lirih. "Lo abis bikin dosa apa semalem?" desak Randy lagi. "Ah taik lo! Buruan ada apaan?" pekik Varro kesal. "Ava!" Kedua netra Varro membola sempurna. Terkejut mendengar nama yang baru saja Randy sebut. "Ava... Ophelia." Varro masih membeku. "Tapi dia ga ingat gue, Ro." "What?" "Dia ga inget gue. Ga inget lo juga." Varro mengulurkan tangannya, mencengkram kerah baju Randy. "Jangan macem-macem lo sama gue!" pekik Varro putus asa. Bagaimana mungkin Ava bisa tak mengenalinya. "Ro, sabar dulu Ro. Gue juga bingung. Ava nunggu di luar. Kita tanya baik-baik. Oke?" Varro melepaskan cengkramannya, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Randy menepuk pelan bahu kanan Varro, memberikan dukungan untuk sahabatnya itu. "Gue dan Ava masuk lima menit lagi, lo jangan kelihatan kacau oke?" Varro masih menutup wajahnya, sementara Randy bergegas meninggalkan ruangan Varro. Begitu pintu ruangan kembali menutup, Varro menurunkan kedua tangannya. Terduduk lesu seraya menempelkan keningnya di atas kedua lutut. Membiarkan air matanya mengalir agar bisa mengurangi sesak di dadanya. Lima menit berlalu. 'tok-tok' Varro segera berdiri kembali, mengusap wajahnya dan memastikan tak ada jejak air mata yang tertinggal. 'tok-tok' "Ya, masuk." jawab Varro. Parau. Jantungnya berdetak menggila kala menatap perempuan yang tersenyum sopan padanya. Varro bahkan seperti lupa bagaimana cara bernafas. Hingga ia terbatuk karena tersedak udara yang ia hirup sendiri. Ava mengulurkan tangannya, tersenyum menatap Varro. Varro menguatkan hati, menyambut uluran tangan Ava. "Ava. Ophelia nama pena saya." "Silahkan duduk." ujar Varro pelan. Senyum Ava langsung menghilang kala menyadari paraunya suara Varro seakan menahan emosinya. Begitu Varro berbalik hendak mengambil laptop dari atas meja kerjanya, netra Ava menangkap guratan tato yang terukir di leher belakang Varro. Tato itu, sama persis dengan tato yang terukir di bahu kanannya. Sekeping ingatan berkelebat di benaknya, seorang pria sedang memeluknya erat dari belakang, mencumbu leher dan bahunya berkali-kali, dan Ava mendesah berkali-kali. Hanya saja, Ava tak bisa melihat wajah pria itu. "Ava!" tegur Varro seraya mencengkram kedua lengan Ava. "Ava!" tegur Varro lagi. "Ya?" "Kamu kenapa?" "Hah?" "Kamu kenapa? Kepala kamu sakit?" Ava terdiam, menatap lekat manik mata Varro. Jantungnya berdetak menggila. "Kamu siapa?" lirih Ava. Varro membeku. "Ro, biarin Ava duduk dulu." tegur Randy. Varro membantu Ava duduk di atas sofa panjang berwarna nude di ruangan itu, lalu ikut duduk di samping Ava. Sementara Randy memilih menyingkir, memberi ruang pribadi bagi Varro dan Ava. "Kamu siapa?" lirih Ava lagi, kedua netranya kini mengalirkan air mata. "Varro. Aku Varro, Ava." Ava terdiam, mencoba mengingat sosok pria di sampingnya. Entah mengapa, rasanya ia ingin sekali memeluk pria itu. "Kamu ga ingat aku?" tanya Varro. Ava menggeleng. "Kenapa Ava? Kenapa kamu bisa ga ingat aku?" tanya Varro frustasi. "Aku sempat kecelakaan beberapa tahun lalu. Tabrak lari. Kata Ibu dan Ayah, kejadian itu terjadi waktu aku baru mulai kuliah di Jakarta. Aku kehilangan ingatanku karena kecelakaan itu." Varro terdiam. Dadanya sesak seketika. Hingga kebekuannya mencair kala kedua tangan Ava mengusap wajahnya, menghapus air mata yang mengalir dari wajah Varro. "Varro?" Varro berusaha menenangkan dirinya. Jika ia seperti ini, ia tak akan pernah mendapatkan jawaban dari setiap teka-teki di benaknya lima tahun terakhir. "Lalu, selama ini kamu dimana Ava?" "Aku sempat dirawat di Kuala Lumpur karena cedera di kepalaku. Aku, Ibu dan Ayah dua tahun di sana. Setelah aku sehat, kami kembali, tinggal di Ubud." "Di KL?" "Iya, ada adik Ibu yang menikah di sana dan menjadi Dokter di Rumah Sakit yang merawatku." Ya, Varro ingat, Ava pernah bercerita tentang Pamannya yang bekerja di Ibu Kota negara Malaysia itu. Hanya saja, tak pernah terpikir oleh Varro jika Ava mengalami kecelakaan dan hijrah ke sana selama dua tahun. "Jadi, kamu siapa?" tanya Ava lagi. Varro masih diam. "Tato kamu. Kenapa sama dengan milikku?" desak Ava lagi. Varro tak mampu lagi menahan tetesan air matanya. "Varro?" "Aku... Aku kekasihmu Ava." lirih Varro parau. Ava menatapnya lekat. "Apa?" "Aku kekasihmu Ava." ulang Varro lagi. Ava menunduk. Satu tangannya terulur, menyentuh tato yang menghiasi bahu kanannya. "Jadi, tato ini... Varro Ava? VA?" Varro mengangguk. "Kita membuatnya di Jogja." "Varro..." "Ya?" "Apa... Apa... Apa kita pernah..." Varro mengangguk lagi. Sendu benar-benar sudah menyergap jiwanya. "Kita pernah b******a?" tanya Ava lagi, lirih. "Iya, Ava. Kali pertama, setelahnya, kita membuat tato itu." Kini Ava yang meneteskan air matanya. "Kamu ingat, Ava?" Ava menggeleng. "Terkadang kepingan-kepingan ingatan datang, tapi aku ga bisa menyatukannya." "Oh..." "Varro..." "Hmm..." "Apa kita saling mencintai?" Varro tersenyum. "Sangat, Ava." "Apa kamu mencariku?" Varro mengangguk. "Tapi aku ga ingat apapun, Varro..." Kedua tangan Ava naik ke kepalanya, mencengkram helaian-helaian rambut hitamnya. "Ava... Stop it... It's ok... Jangan paksa diri kamu mengingat semuanya." ujar Varro lembut seraya membawa kedua tangan Ava ke dalam genggamannya. "Maaf Varro..." "It's ok, Ava... Pelan-pelan saja." "Kamu sudah punya penggantiku?" Varro tersenyum, lalu menggeleng. "Masa?" "Sudahlah. Hidupku tidak penting untuk dibahas Ava. Kamu bagaimana? Sehat?" Ava mengangguk. "Kecuali aku melupakan dua puluh tahun hidupku, aku baik-baik saja Varro." "Kenapa aku ga mendengar kabar tentang kejadian itu sama sekali, Ava?" "Entahlah. Aku ga pernah berfikir ke sana." "Bahkan ada teman SMA kita yang kecelakaan dan koma lebih dari sebulan, kabar itu cepat sekali menyebar. Sementara kabarmu, aku ga dengar sama sekali. Semua yang kutanya mengatakan hal yang sama, kamu menghilang begitu saja." Ava menggeleng lagi. "Aku bahkan ga ingat siapa teman-temanku." lirihnya. "Ya Tuhan, Ava..." Jeda. Mereka berdua sama-sama terdiam beberapa saat. Ava yang canggung. Varro yang merasa tak beres dengan keadaan yang menimpa Ava. "Varro..." "Ya?" "Aku ke sini mau bicara soal pembuatan film bukan?" "Ah iya. Maaf, aku malah lupa." "Aku ada janji sore ini sama Ibu. Apa bisa kita bahas sekarang?" Varro tersenyum seraya menganggukkan kepalanya sebelum memanggil Randy agar bergabung dengan mereka kembali. Hingga lewat tengah hari, Varro baru mengusaikan meeting mereka. Setelah mengantarkan Ava naik ke taksi di depan lobby gedung perusahaannya, Varro bergegas kembali ke ruangannya, meminta Randy mengikutinya masuk. "Kenapa Ro?" "Gue mau lo cari tau, soal kecelakaan tabrak lari Ava lima tahun lalu." "Apa lo bilang? Tabrak lari?" Varro mengangguk tegas. "Gue ga ngerti kenapa ga ada satu orang pun yang mendengar kabar ini? Seolah yang melakukannya orang yang bisa membungkam kabar." "Maksud lo?" "Tolong cari tau, Ran!" "Oke!" *** Tiga bulan kemudian "Ava..." sapa Varro hangat ketika Ava sedang menikmati waktu istirahatnya siang itu dengan bercengkrama bersama para artis yang mewakili karakter di dalam novelnya. "Oh, siang Pak Varro." balas Ava ramah. Kelima artis yang sedang bersama dengannya mengangguk seraya tersenyum pada Varro. Usai sedikit bercengkrama, Varro mengajak Ava berjalan menuju taman hotel and resort yang digunakan untuk shooting mereka hari itu. "Gimana? So far ada kendala ga?" Ava menggeleng. "Ngga sih. Semua artis dan kru baik dan ramah sama aku. Sutradara juga komunikatif, setiap kali butuh up level beliau pasti konsul dulu denganku supaya alur ceritanya ga melenceng dari cerita di novel." Varro mengangguk seraya tersenyum pada Ava. "Varro ga sibuk?" "Kenapa? Ga suka aku di sini?" "Ih, kok ngomong gitu?" ujar Ava, wajahnya berubah merengut yang justru membuat Varro terkekeh. "Kenapa? Kok nanya aku sibuk atau ngga?" "Varro kan jarang banget ke lokasi." "Oh... Biasalah, nyari sponsor, ketemu client, dan ada beberapa hal yang harus aku urus sama Randy." "Oh... Penting banget ya?" Varro mengangguk. Kedua netranya lekat menatap Ava. Ava terdiam, merasa tenggelam dalam tatapan Varro. "Kamu cantik..." lirih Varro. Ava tersenyum, lalu menunduk. Malu. "Ava..." "Ya?" "Apa kepingan ingatan itu masih suka datang?" Ava mengangguk. "Tapi bukan kepingan yang berkelebat saat aku sadar. Itu hampir ga pernah aku alami lagi. Sekarang justru mimpi yang sering datang, dan terasa nyata sekali. Kata Paman, bisa jadi itu kepingan ingatan dari alam bawah sadarku." "I see..." "Varro..." "Hmm..." "Dulu, Ava orang yang bagaimana?" Varro terdiam, dadanya kembali terasa sesak. "You're beautiful... Your face, personality, the way you move... Everything about you is beautiful." Ava membeku mendengar jawaban Varro, sungguh tak ada kebohongan di balik nada suara sendu milik pria yang masih berstatus kekasihnya itu - walupun Ava tak bisa mengingatnya sama sekali. "Apa mungkin, Tuhan membuat Ava melupakan banyak hal karena jika Ava mengingat semuanya, Ava akan merasa terlalu sakit?" Kali ini Varro yang membeku. Ia tahu benar, jawaban atas pertanyaan Ava itu adalah benar adanya. "Setelah Ava ketemu Varro, aku tanya Ibu dan Ayah apa mereka mengenal kamu. Mereka bilang kenal, kata mereka kamu temanku. Aku bingung, karena raut wajah Ibu dan Ayah turut berubah getir. Apa kita dulu sudah berpisah Varro?" "Ava, kita ga pernah putus. Ga pernah ada kata terkutuk itu di hubungan kita. Kita saling mencintai Ava. Sangat!" "Waktu aku tanya tentang kamu, Ibu sempat bilang agar aku membatalkan kerjasama dengan kamu. Lalu di malam harinya, Ibu dan Ayah bicara lagi denganku, mereka bilang tak apa jika aku mau meneruskan kerjasama ini. Hanya mereka minta aku menjaga diriku baik-baik." "Ava..." "Aku sempat berfikir, apa kamu yang menyebabkanku seperti ini? Tapi rasanya ga mungkin. Setiap kali bersama kamu, aku ga pernah merasa khawatir atau takut. Aku mungkin tak mengenalmu, tapi kurasa tubuh dan hatiku sangat mengenalmu." Varro meneteskan air matanya lagi. "Bersabarlah Ava. Aku akan membuat orang yang melakukan ini padamu mendapatkan hukumannya." *** 'tok-tok' Ava meletakkan laptop di pangkuannya ke atas ranjang, lalu turun dari tempatnya beristirahat di hotel and resort tempat mereka menginap malam itu. "Hei..." "Sudah mau tidur?" tanya Varro. "Belum..." "Aku bawa vanilla chocolate. Hangat. Mau minum bareng?" Ava tersenyum. "Masuk, Ro." ujarnya lembut mempersilahkan Varro masuk. "Kamu ga apa-apa nyamperin aku begini?" tanya Ava lagi seraya terus berjalan menuju teras di samping kamar tidurnya yang langsung berbatasan dengan hamparan pasir yang menuju ke private beach. "It's ok. Kamu suka villa ini?" "Iya, suka." Ava duduk lebih dulu di sofa rotan di teras itu. Menepuk-nepuk dudukan sofa di sampingnya, mempersilahkan Varro untuk duduk bersamanya. "Habis jalan sama Randy?" tanya Ava seraya menerima cup yang berisi minuman hangat favoritnya. "Iya. Biasa, nyari kopi." Ava mengirup wangi dari cup-nya, lalu menyesap minuman hangat nan manis itu beberapa kali. "Enak..." "Iya, itu favorit kamu." "Oh ya?" "Walaupun yang paling kamu suka adalah bikinan aku." "Serius?" Varro terkekeh seraya mengangguk. "Makasih, V..." lirih Ava. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya, membuat Varro bungkam seketika, begitupun Ava. "A?" lirih Varro. "Baby?" ucapnya lagi. "Do you remember me?" Ava kembali menunduk. Menggelengkan kepalanya pelan. Sementara Varro menutup kedua matanya, menahan diri dari emosi yang membuatnya ingin berteriak putus asa. Sungguh, betapa rindunya ia mendengar Ava memanggilnya V, panggilan sayang yang Ava berikan padanya. Tak ada siapapun di dunia ini yang memanggilnya seperti itu. "A..." lirih Varro. "Itu, panggilan..." "Ya, kamu manggil aku V, aku manggil kamu A. Itu panggilan sayang kita." jawab Varro lugas. "A, listen... Aku akan ceritain beberapa hal ke kamu, hal yang aku pikir kamu harus tau." Ava mengangguk. "Kalau ingatanmu tak bisa kembali, ayo kita buat kenangan baru." ujar Varro lagi, lembut. Ava tersenyum, mengangguk mengerti. Tak terasa, malam semakin larut, Ava tenggelam dalam setiap cerita Varro. Kini Ava mengerti, mengapa Varro tak menemukannya, mengapa saat kejadian itu Ayah dan Ibunya mengatakan jika Varro tak pernah datang menemuinya, mengapa hati dan tubuhnya begitu merindukan sosok pria bersuara bas itu. "V... Aku bisa percaya kamu kan?" Varro mengangguk. "Of course, baby..." Ava menandaskan coklat di dalam cup-nya, sementara Varro masih menatapnya lekat. 'I love you, A...' "Aku balik ke kamarku ya, A..." "Oke." Varro berdiri lalu melangkah menuju pintu villa, diikuti Ava di belakangnya. Baru saja Varro hendak meraih handle pintu, kedua tangan Ava menggenggam erat tangan Varro. Varro memutar tubuhnya, menghadap perempuan terkasihnya yang sedang memandangnya syahdu. "Terima kasih, V..." Varro mengikis jarak, memberikan kecupan singkat di bibir Ava, kemudian menarik dirinya kembali, menunggu reaksi Ava padanya. 'Aku mencintaimu, Ava... Aku tak ingin kamu melupakanku...' Ava masih menyentuh bibirnya, kelebat ingatan masa lalu berputar di benaknya, terputus-putus, berkeping-keping. Pria yang menciumnya, pria yang merengkuhnya, pria yang membawanya di gendongannya, pria yang membuatnya tertawa, pria yang menahannya kala amarah mengganggu hubungan mereka... Tetapi lembutnya kecupan Varro tadi terasa tak asing bagi Ava. 'Varro... Is that you?' Kini Ava yang mengikis jarak, merapat pada Varro yang masih terdiam. Ava melingkarkan kedua tangannya di belakang leher Varro, mengusap lembut tato Varro dengan jari telunjuknya, kemudian menarik wajah Varro agar lebih mendekat, agar Ava bisa membalas kecupan pria yang kembali membuatnya jatuh cinta. *** Ava sedang duduk di sebuah kursi kayu tak jauh dari lokasi shooting mereka. Hari ini adalah hari terakhir shooting gambar sebelum hasilnya dibawa ke tahap produksi film selanjutnya. Telunjuk Ava terus berputar mengitari tepi mug yang berisi teh hangat, sementara ingatannya terus tertuju pada memori bersama Varro yang tercipta semalam. Bahkan mengingat apa yang mereka lakukan hingga nyaris pagi saja membuat jantung Ava berdetak cepat layaknya kepak sayap merpati. "A..." Ava memalingkan wajahnya, menatap pria kesayangannya yang sudah duduk di sampingnya. Entah kapan Varro datang menghampirinya. "Bengong aja!" Ava terkekeh. "A... Nanti akan ada beberapa orang yang datang mendekati kita. Sebagian atau semuanya mungkin akan mengganggu kamu. But, please... I want you to believe me. Ok?" Ava merasa aneh dengan kegetiran dibalik suara Varro. Tetapi tentu saja ia percaya pada Varro. Ava mengangguk, menjawab tegas permintaan Varro. Benar saja, tak lama, orang pertama datang. "Ro, Va.." sapa pria itu. "Hey, Ran." sapa Ava hangat. "Woi!" kali ini Varro yang menyapanya. Varro mendelik, memberi isyarat pada Randy. "Lagi di depan. Nunggu target datang." jawab Randy. Varro mengangguk, sementara Ava mengerutkan keningnya. 'Trust him, Ava. No need to ask.' Sekitar setengah jam mereka bersenda gurau bersama, kali ini suara seorang perempuan menyapa mereka. Menyapa Varro lebih tepatnya. "Hai sayang..." ujar perempuan itu sumringah, berjalan cepat menghampiri Varro. Baru saja perempuan itu hendak melakukan kontak fisik dengan Varro, kedua matanya membola kala menangkap sosok Ava yang duduk di apit Varro dan Randy. "Nania." sapa Varro ramah. Wajah Ava terlihat kaku karena mendengar sapaan yang Nania berikan pada Varro tadi. 'Sayang?' Nania mundur selangkah, kedua netranya masih terbelalak menatap Ava. "Elo?" Ava mengerutkan keningnya, memalingkan wajahnya menatap Varro, Varro hanya menaik turunkan bahunya menanggapi kebingungan Ava. Beberapa saat kemudian, kedua orang tua Nania turut datang menghampiri mereka. Keduanya terpaku menatap sang puteri yang membeku. "Nania? Kenapa sayang?" tanya Reni khawatir. Reni dan suaminya sama-sama mengikuti arah pandang Nania. Sontak, keduanya pun ikut membeku. Selanjutnya, empat orang pria berpakaian casual dan satu orang berpakaian resmi turut mendekati mereka. Kelimanya hanya berdiam diri. Lalu, orang tua Ava mendekati mereka. Keduanya terbelalak kala mendapati Nania dan orang tuanya juga ada di tempat yang sama. Ava semakin tak mengerti dengan keadaan di tengah mereka di pagi menjelang siang itu. Terakhir, orang tua Varro pun bergabung di sana. Wajah mereka, pias. Varro tertawa geli begitu semua orang yang dipanggilnya sudah hadir di sana, sementara semua orang kecuali Randy menatap ngeri pada Varro. "Sumpah Ran, lucu banget tau ga lo! Lo liat dong muka mereka semua!" ujar Varro seraya tertawa terbahak-bahak. Randy mengulurkan satu tangannya, menepuk-nepuk punggung Varro lembut. "VARRO!" pekik Amara. "Santai, Ma. Santai!" jawab Varro, masih sambil terkekeh. Begitu berhasil menenangkan diri, Varro berdiri dari tempatnya duduk. "Silahkan Anda bawa perempuan itu dan kedua orang tuanya. Dia yang melakukan tabrak lari pada kekasih saya, dan kedua orang tuanya yang membungkam semua saksi juga merekayasa kejadian." Ava mengangkat kedua telapak tangannya, menutup mulutnya yang menganga. "VARRO!" kali ini Reni yang memekik. "Dan silahkan bawa orang tua saya. Mereka juga saksi dari kasus ini." lirih Varro. "Nak..." lirih Theo. "Papa tenang saja. Kalian hanya berstatus sebagai saksi. Dan, kita tidak kehilangan perusahaan kita. Orang-orang bodoh itu tidak sadar jika selama ini Varro menarik kembali saham-saham yang sudah Papa jual pada mereka." ujar Varro sinis. "Varro..." lirih Theo lagi. "Bang Ian dan Randy yang akan mendampingi Mama dan Papa, juga Tante dan Om selama memberikan keterangan di kepolisian. Jika Ava nanti sudah lebih tenang, Varro sendiri yang akan mengantar Ava untuk turut memberikan keterangan." ujar Varro lagi seraya mendelik pada pria berpakaian resmi yang kini berdiri di samping Randy. "Tolong bantu saya, Bang." ujar Varro pada Ian, pengacaranya. Ian mengangguk. "Ah, satu lagi. Kalian, jangan coba-coba berkelit lagi. Semua bukti sudah saya copy dan simpan di tempat yang aman. Hanya saya yang tau. Begitu kalian bertindak macam-macam, saya pastikan seluruh dunia ini tau betapa bajingannya kalian!" ujar Varro lagi, kali ini kembali pada Nania dan orang tuanya. Ava masih membeku, hanya air mata terus saja mengalir dari kedua netranya. Hingga semua orang meninggalkan tempat itu, Varro kembali duduk di samping Ava. "A..." Ava memalingkan wajahnya dari menatap punggung-punggung yang kian terlihat menjauh, kembali menatap netra kelam milik Varro. "Maaf kalau kamu kaget." "V..." "Sudah kubilang kan, aku akan pastikan orang yang melakukan ini padamu bertanggung jawab." "Tapi... Ibu dan Ayah, orang tua kamu..." "Mereka diancam, A... Mereka dibungkam. Saat itu orang tua Nania masih memiliki posisi yang memungkinkan mereka merekayasa kejadian dan mengancam kedua orang tua kita dengan kuasanya. Ditambah seperti yang aku ceritakan pada kamu semalam, orang tuaku butuh dana untuk menyelamatkan Devi adikku. Aku minta maaf atas nama mereka, A..." Ava menggeleng. Kedua tangannya terulur, menghapus air mata yang lolos dari kedua ujung netra Varro. "Aku mencintaimu, A... Sangat mencintaimu..." Ava tersenyum ditengah tangisnya. "Aku juga V... Aku juga mencintaimu... Sangat mencintaimu..." --------------------------------- Ryan, 30 Desember 2021
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD