Terjebak hujan badai

1284 Words
Hujan disertai badai menghadang perjalanan Nathan dan juga Alika menuju Jakarta. Mereka yang baru saja selesai bertemu klien di restoran daerah Bogor, sedang menuju Jakarta, tetapi di tengah perjalanan ban mobil yang mereka tumpangi amblas di jalanan tanah merah. "Astaga! Bagaimana ini, ban mobilnya tidak bisa keluar," gerutu Nathan, wajahnya tampak pucat pasi saat beberapa kali mencoba menjalankan mobilnya, tetapi ban mobilnya masih belum bisa keluar dari lubang. Semakin Nathan berusaha melajukan mobilnya, ban mobilnya semakin amblas ke dalam tanah. "Pak, apa tidak ada kendaraan lain di sekitar sini?" Wajah Alika yang tak kalah panik, semakin membuat Nathan sulit berkonsentrasi. "Sebaiknya kita turun! Seingatku di sekitar sini ada vila milik keluargaku. Kalau kita tetap berada di dalam mobil, akan sangat berbahaya. Bisa-bisa pohon tumbang dan menimpa kita," usul Nathan, sembari memegang pintu mobil. "Tap-tapi Pak, hujan di luar sangat deras dan anginnya juga kencang. Apa mungkin kita berjalan ditengah badai seperti ini?" tanya Alika. Pilihan yang sulit dan serba salah tetap harus dipilih oleh mereka berdua. "Saya, enggak mau mati tertimpa pohon di sini," hardik Nathan. "Cepat keluar!" titah lelaki tampan itu. "Baik, Pak." Alika pun menuruti perintah Nathan mereka berdua memutuskan keluar dari dalam mobil dan berjalan kurang lebih 500 meter ke depan, berjalan menuju vila keluarga Nathan. "A-apa masih jauh, Pak?" tanya Alika suaranya terdengar gemetar karena kedinginan. "Jalan terus! Cerewet!" pekik Nathan. Sekujur tubuhnya terasa membeku karena diguyur derasnya air hujan. Pandangan jalan yang dipenuhi kabut tebal membuat mereka berdua hampir putus asa untuk terus melangkah, tetapi rasa dingin yang menusuk tulang membuat mereka harus bisa secepatnya sampai di vila milik keluarga Nathan. "Pak, a-apa Masih jauh?" tanya Alika dengan suara yang semakin terbata-bata dan gemetar karena dingin. "Jalan terus!" sahut Nathan singkat, padat, tetapi masih terdengar jelas. Sebenarnya Nathan juga tidak terlalu yakin dengan ucapannya karena rasa dingin yang menusuk tulang sudah membuat ia hampir putus asa. Andai saja aku tau akan sedingin ini, lebih baik aku menunggu hujan reda dan tetap berada di dalam mobil, batin Nathan. "Pak, itu vilanya sudah terlihat apa itu vila yang Bapak, maksud?" Tangan Alika menunjuk ke arah bangunan besar bercat putih di depannya, tetapi Nathan hanya terus berjalan tanpa melihat ke depan. Ia juga tak menghiraukan perkataan Alika tadi. "Pak, lihat apa itu vila yang Pak Nathan maksud?" Alika mengulang pertanyaannya, ia harus memastikan karena ia sama sekali tidak pernah ke vila milik keluarga Nathan kalau mereka asal masuk pasti akan menjadi masalah baru. "Pak!" "Iya itu vila nya. Apa kamu tidak bisa berhenti berbicara! Cerewet!" pekik Nathan. "Maaf ... Pak." Alika terdiam, karena terus dibentak oleh lelaki tampan itu. Setelah sampai di dekat pagar vila. Nathan berusaha membuka pintu pagar dengan tenaganya yang hanya tersisa sedikit. "Kita harus cepat masuk, di luar sangat dingin." Suara Nathan terdengar gemetar, bibir atas dan bibir bawahnya sudah tak mampu ditutup karena kedinginan. Alika hanya berdiri diam, sambil mendekap tubuhnya dengan kedua tangan. "Bantu Saya membuka pintu ini! Dasar bodoh!" hardik Nathan emosi. "I-iya, Pak. Marah-marah terus sih, ntar cepat tua loh!" Alika menggerutu pelan, sambil berusaha menarik pintu pagar ke samping. "Cepat masuk! Saya sudah kedinginan," titah Nathan saat pintu pagar sudah terbuka lebar. Alika pun masuk menyusul Nathan dan membiarkan pintu pagar tetap terbuka. Pandangan mata Alika mengedar melihat keseluruhan ruangan vila beserta isinya yang terlihat sangat mewah. Apa benar ini vila milik keluarga pak Nathan? Apa dia anak konglomerat, gumam Alika dalam hati. Nathan yang sudah terlihat sangat kedinginan berjalan masuk ke dalam kamar. Ia naik ke atas tempat tidur, lalu membungkus tubuhnya dengan selimut tebal, tak memperdulikan tempat tidur itu basah. "Alika, buatkan Saya, teh hangat!" titah Nathan wajahnya terlihat pucat nyaris membiru, melihat keadaan bosnya seperti itu Alika panik. Ia mendekat, lalu mencoba memeriksa suhu tubuh Nathan, menempelkan telapak tangan ke kening bosnya yang galak itu. "Pak, badan Pak Nathan panas tinggi." Alika menatap wajah Nathan tanpa berkedip, membuat lelaki itu salah tingkah. "Cepat, buatkan Saya teh hangat di dapur!" titah Nathan, lalu menangkis tangan Alika yang menempel di keningnya. "I-iya Pak, tunggu sebentar." Alika berlari kecil menuju dapur. Rasa dingin yang menusuk tulang seketika hilang saat ia mengetahui kalau Nathan sedang tidak baik-baik saja. "Apa pak Nathan akan baik-baik saja? Bagaimana kalau dia meninggal? Astaga! Mikir apa sih aku ini," gumam Alika ia berjalan mencari-cari dapur untuk membuatkan teh hangat sesuai permintaan Nathan. "Teh ... teh ... teh. Mana teh? Tidak ada teh di dapur ini aku harus cari teh kemana. Astaga pak Nathan sudah sekarat masih saja menyusahkan." Alika mengelilingi dapur dan mencari keberadaan teh yang diminta Nathan, sudah hampir setengah jam Alika mencari-cari teh, tetapi tidak ketemu. Akhirnya ia memutuskan untuk memasak air panas dan memberikannya pada Nathan. "Apa boleh buat semoga air panas ini bisa menurunkan suhu tubuh Pak Nathan," gumamnya. Setelah selesai memasak air, ia berjalan menuju kamar sambil membawa segelas air panas untuk Nathan. "Pak Nathan, di dapur enggak ada teh yang Pak Nathan minta. Tapi saya bawakan Bapak air hangat, bangun Pak minum air hangat dulu!" Alika mendekat, melihat Nathan sudah tak sadarkan diri. Dia menggoyang-goyangkan tubuh Nathan karena panik, tetapi Nathan belum memberikan reaksi. "Astaga, Pak Nathan, apa dia sudah ... " ucapan Alika terhenti saat dia melihat tangan Nathan bergerak. "Saya, belum mati." Terdengar suara berat Nathan, matanya sedikit terbuka melihat Alika sesaat, lalu kembali terpejam. Alika menghela nafas lega saat ia tau kalau Nathan masih hidup. Aku pikir dia sudah mati, oh ... iya lupa, orang jahat 'kan matinya lama, gumamnya dalam hati. "Pak, minum dulu air hangatnya." "Tolong bangunkan, Saya!" Nathan mengulurkan tangan meminta Alika membangunkannya dari tidur. Alika meletakkan gelas berisi air hangat, lalu dia memapah tubuh besar dan kekar Nathan, wajahnya berada sangat dekat dengan wajah Nathan membuat jantungnya berdebar kencang. Wanita mana yang tak akan bereaksi berlebihan saat berada di dekat lelaki tampan seperti Nathan, rahangnya yang tajam, hidungnya yang mancung, dan bola mata yang kebiruan membuat ketampanannya nyaris sempurna. "Mana air hangatnya?" tanya Nathan ketus, suhu tubuhnya panas tinggi membuat badannya lemas dan sulit untuk bergerak bebas karena gemetar. "Pak, badan pak Nathan panas sekali, sebaiknya kita ke Dokter," celetuk Alika tanpa berpikir. "Kamu mabok ya! Kamu nggak liat di luar masih hujan badai. Cepat mana air hangatnya?!" hardik Nathan, kedua bola matanya menatap sinis ke Alika. Alika terdiam dia merasa sangat bodoh, tetapi kebodohannya itu karena dia merasa sangat khawatir saat melihat kondisi bosnya sedang tidak baik-baik saja. Setelah Nathan meminum air hangat yang dibawa Alika, ia mulai merasa lebih baik, tetapi rasa dingin masih terasa menusuk tulang. "Tolong buka bajuku!" titah Nathan sembari mengangkat kedua tangan ke atas, ia ingin membuka baju basahnya yang sudah menempel di kulit. "Tap-tapi Pak." "Cepat! Cerewet! Tapi, tapi. Terus!" "Baik, Pak." Alika mendekati Nathan, lalu membantunya membuka baju, ia melihat tubuh kekar Nathan, enam susun d**a kotak-kotak berbaris rapi tiga di kiri dan tiga di kanan. Kini roti sobek itu tak terbalut sehelai benang pun. Ketampanan Nathan semakin membuat jantung Alika berdebar tak bisa di kendalikan. "Hangatkan tubuhku!" desis Nathan. Alika terbelalak, kedua bola matanya membulat sempurna saat mendengar ucapan yang keluar dari mulut lelaki tampan itu. "Say-saya carikan selimut tebal sebentar. Bapak tunggu disini! Saya akan kembali," ucap Alika terbata-bata sembari menelan saliva untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering. "Jangan tinggalkan aku!" Nathan memegang tangan Alika menahannya agar tak pergi. "Maaf, Pak. Saya mau carikan selimut." Jantung Alika berdegup kencang, tak bisa dikendalikan, dia mencoba melepas genggaman tangan Nathan. Jantungnya seakan mau copot saat tangan kekar Nathan masih tetap memegangi tangannya dengan erat. Apa pak Nathan mau aku yang menghangatkan tubuhnya? Dasar bos m*sum! Aku nggak mau jadi salah satu korban seperti pacar-pacarnya dulu, gumam Alika dalam hati ia memejamkan kedua bola matanya karena rasa takut, tubuhnya gemetar. Walau udara sangat dingin, tetapi dia terus berkeringat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD