Bg.2 | Sebuah Permulaan

1999 Words
"I never thought that you would be the one to hold my hand. But you came around and you knocked me of the ground from the start." Arms - Christina Perri *** "Hi guys sorry gue telat," ujar Davi sambil menyalami semua orang yang ada di ruangan tersebut ala cowok biasanya. "Wih siapa nih Dav? Tumben amat lo bawa cewek ke mari," ujar Gara. Davi tersenyum. "Cewek gue bang," jawabnya. "Kenalin, Naya." "Gara." "Naya." "Adit." "Naya." "Nino." "Naya." "Luna." "Naya." "Bianca." "Naya." "Edo." "Naya." "Njir, serius lo? Kok lo gak pernah cerita sama gua? Wah jahat lo Dav," protes Nino yang notabenenya adalah teman sekelas Davi. "Ceritanya panjang," timpal Davi sekenanya. "Gilang sama Reno mana? Belom datang?" "Udah, tadi lagi keluar sama Felicia. Cari makan buat kita-kita." Kini Edo yang menjawab. Davi mengangguk mengerti. Tak berselang lama, dari arah pintu muncul Gilang dan Reno serta Felicia yang membawa jinjingan berisi kotak makanan. "Lo beli makan atau rakit bom atom, sih? Lama banget!" protes Edo. "Ya Sorry bro. Tadi ponsel si Felicia jatoh terus layarnya ancur. Jadi kita cari counter ponsel dulu ke mall," jelas Gilang sambil meletakkan barang bawaannya ke atas meja. "Iya. Sorry ya. Gara-gara gue kalian jadi nunggu lama." "Oh gak papa kok, Fel. Kalau buat elo mah apa sih yang gak boleh," ujar Edo. "Alah modus lo! Receh!" Nino menoyor kelapa Edo. Semua yang ada di ruangan itupun refleks tertawa. "Wait-wait ... Dav, itu yang samping lo kok gue berasa kenal, ya?" ucap Reno tiba-tiba. Gilang yang sedang mengeluarkan kotak nasi pun ikut menengok dan terdiam beberapa saat seolah mengingat-ngingat. "Naya, kan?" tebaknya dan langsung diangguki oleh Naya. "a***y, ini serius elo, Nay? Gue gak salah liat, kan?" "Nggak Kak Ren, ini emang gue kali." "Oh my god ... dunia ternyata emang sesempit daun kelor ya, Bro." Reno menepuk bahu Gilang. "Hooh. Lama nggak ketemu makin cantik aja lo Nay," ujar Gilang. "Of course! Siapa dulu, pacar gue!" timpal Davi. "Songong lo bos! Eh Nay, Lo kuliah di sini?" tanya Reno. Lagi, Naya mengangguk. "Jurusan?" "FKIP prodi bahasa Inggris." Gilang menggeleng. "Emang ya, jodoh mah nggak kemana." Keempatnya tertawa. "Lo kemana aja? Davi tuh udah kayak orang gila waktu lo gak ada kabar. Frustasi banget. Kayak orang yang udah bosen idup. Kerjaannya mantengin ponsel mulu tiap hari. Ya walau gue heran juga sih kenapa IP-nya tetep aja gede," papar Gilang. Naya terkekeh. "Iya, ponsel gue ilang. Jadi ya nggak bisa hubungin siapa-siapa, deh. Tapi, emang Davi sampe segitunya ya, Kak?" "Pantesan. Ah elo Nay kayak nggak tahu Davi aja. Kalau gak uring-uringan ya kerjaannya marah-marah. Tau deh! Lo kasih dia pelet apaan sih, sampe dia gak bisa berpaling ke cewek lain. Heran gue." "Apaan sih lo, Lang? Kok malah bahas aib gue? Udah mendingan lo bagiin deh makanannya, yang lain udah pada laper." Davi menginterupsi. Karena jika diteruskan yang ada bakal jadi Reoni dan sekarang bukan waktu yang tepat untuk itu. Reno, Gilang dan Felicia mulai membagikan kotak nasi itu pada semua orang yang ada di ruangan tersebut. "Nay, lo nggak kebagian gak papa? Soalnya kita kan nggak tahu bakal kedatangan elo," ujar Reno sambil menyerahkan kotak itu pada Davi. Belum sempat menjawab, Davi lebih dulu bersuara. "Nggak papa. Naya biar makan berdua sama gue." "Dududu, yang baru ketemu mah gitu, ya. Pengennya so swet so sweet-an terus bawaannya. Makan aja sekotak sama berdua," goda Reno. "Ahaha, lagian gue tadi udah makan kok, Kak." "Nggak papa. Makan lagi." Davi yang menjawab. Ia bangkit dari duduknya. "Bentar, ya. Gue mau cuci tangan dulu," katanya. Naya mengangguk dan cowok itupun melangkah menuju toilet. Reno hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Sepertinya sahabat sekaligus bosnya itu sekarang sudah kembali ke dirinya yang semula dan ia bisa bernapas lega. Syukurlah, ujarnya dalam hati. "Sekotak berdua nggak apa kan, ya?" bisik Davi saat ia kembali dari toilet. "Gue udah makan kok Dav. Itu buat elo aja." "Nggak bisa. Lo juga harus makan." "Dav ...." "Gue. Nggak nerima. Penolakan," katanya penuh penekanan. "Dav?" "Ya?" "Lo kok nggak berubah-berubah sih? Tetep aja pemaksa!" dumel Naya. Davi terkekeh. "Kalau gue nggak pemaksa, ya gue bukan Davi lah. Udah bawaan. Jadi terimain aja. Okay?" ujar Davi sambil menyuir ayam lalu memberikannya pada Naya. Inilah kebiasaan Davi, meskipun diberi sendok, ia memilih untuk menyuir Ayam dengan tangan. Meskipun untuk bagian nasi tetap pakai sendok. Naya manatap cowok di hadapannya ragu. Pasalnya ada banyak orang di ruangan tersebut dan ia merasa tidak enak. Tapi kemudian, Davi mengangguk seraya berkata, 'Nggak papa. Nggak ada yang liatin ini.' Akhirnya, Naya membuka mulutnya dan suapan pertama setelah sekian lama pun terjadi. "Nah gitu dong," kata Davi sambil mengulas senyum lalu kembali sibuk dengan nasi dan Ayamnya. Davi, entah kenapa selalu memberi efek luar biasa pada Naya. Seperti sekarang, hanya dengan menyuapinya saja, mampu membuat jantung Naya berdebar tak karuan. Harusnya gue nggak boleh menikmati masa-masa ini kan, Dav? Setelah acara makan selesai, Gara mengambil alih ruangan. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke depan. "Ok Guys, sebelumnya gue mau minta maaf karena dari pihak senior sendiri yang bisa hadir cuman gue sama Adit. Karena kalian juga pasti tahu lah mahasiswa tingkat akhir udah pada sibuk," ujarnya. "Tujuan gue nyuruh kalian kumpul itu, gue mau bahas planning kita akhir bulan ini. Sebelumnya, gue udah bahas ini bareng Adit sama Davi dan mereka setuju." Gara mulai membahas tentang rencana panjat tebing yang akan diadakan akhir bulan ini. Menurut Gara, lokasinya tidak terlalu jauh namun keadaan tebingnya cukup menantang. Hal itu berkenaan dengan lomba persahabatan antar kampus yang diadakan oleh kedua belah pihak. Naya mendengarkan dengan penuh minat. Pasalnya, ini merupakan pengalaman baru untuknya. Meskipun dirinya bukan anak PT dan tidak ada niatan untuk gabung ke dalamnya, tapi pembicaraan ini cukup menarik untuknya. "So, akhir minggu ini kita bakal observasi tempat dan coba buat manjat tebing di sana. Sekedar penyesuaian biar pas hari H kita nggak terlalu shock," ujarnya kemudian. Nino mengangkat tangannya. "Kita ke sana bareng anak-anak panjat tebing Kampus Sriwijaya juga?" "Iya. Gue udah sepakat sama Leo buat hal ini. Ya biar fair aja, sih." Nino mengangguk mengerti. "Dan ya, satu lagi. Gue harap kalian semua jaga kesehatan sampe hari H. Karena waktu gue, Bang Gara sama Bang Adit cek lokasi, itu tebingnya lumayan menantang," tambah Davi. "Bener tuh yang di bilang sama Davi. Oh ya, Lang, Ren, gimana soal peralatan? Beres semuanya?" tanya Adit. "Tadi pagi kita berdua udah cek dan semuanya masih Ok. Aman lah," ujar Gilang. Adit mengangguk. "Soal lokasi, itu kira-kira kendaraan bisa masuk berapa jauh, Dav?" "Cuman sampe pos penjagaan. Ke sananya kita harus jalan. Lumayan jauh jadi usahaian persediaan air lo cukup," jawab Davi. "Oh Ok." Cewek itu tersenyum. Naya merasa sedikit ... entahlah. Tapi dari sekian banyak orang yang ada di ruangan ini, kenapa cewek itu harus bertanya pada Davi? Kenapa dia nggak tanya sama Gara saja yang jaraknya lebih dekat dengan dirinya atau Adit yang bahkan duduk di sampingnya? Bukannya mereka juga ikut observasi? Tapi, Naya tidak ingin berpikir negatif. Lagipula sejak tadi dirinya tidak melihat sesuatu yang salah dari Felicia. Mungkin cewek itu refleks saja menyebut nama Davi. "Ok kalau gak ada yang ditanyain lagi, gue tutup pertemuan kita kali ini. Inget, jaga kesehatan dan tetap semangat!" katanya lalu kembali berjalan ke kursinya. Semua yang ada di ruangan itupun satu persatu mulai bangkit dan berjalan keluar. Davi bangkit dari duduknya di susul oleh Naya. "Abis ini mau ke mana? Langsung pulang atau?" tanyanya. Naya melirik jam yang ada di tangannya. "Masih jam segini, sih. Mau ke mana emang?" tanya Naya ragu. "Duileh yang baru ketemu udah mau jalan aja lagi. Ckckck," celetuk Gilang yang menghampiri keduanya. Davi terkekeh sedangkan Naya, wajahnya langsung memerah. "Ikut yuk Kak Ren, Kak Lang. Bareng-bareng seru kayaknya." "Muanya, sih. Tapi gue masih ada jadwal nanti jam 4," ujar Reno. "Gue juga. Dua puluh menit lagi ada mata kuliah," Gilang ikut menimpali. "Yah gak bisa pergi barengan dong?" Davi mengacak-ngacak rambut Naya lembut. "Nggak papa. Lain kali kan masih bisa." "Iya, sih." "Ya udah yuk?" Naya mengangguk. "Kan Ren, Kak Lang, kita duluan ya, see you ..." "See you ..." timpal keduanya berbarengan. Jika ada yang lebih membuat Naya bahagia, itu sudah pasti Davi. Jika ada yang lebih membuat Davi mampu tertawa lepas, itu sudah pasti Naya. Bagi keduanya, tidak ada yang lebih indah dari pada pertemuan mereka kembali setelah sekian lama. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada kebersamaan mereka lagi setelah perpisahan yang begitu panjang dan tanpa kejelasan. Naya bahagia? Pasti. Tapi rasa bahagia itu sepertinya tidak sebesar rasa bersalahnya pada Davi. Ada hal yang tidak bisa Naya jelaskan. Hal yang akan menghancurkan bukan hanya dirinya tapi juga Davi. Dan pertemuan ini benar-benar membuat Naya bingung harus bagaimana memposisikan diri. Di satu sisi, perasaannya untuk Davi masih tetap sama. Tapi di sisi lain, untuk berada di samping cowok itu, Naya merasa sudah tak bisa. “Dav ... gue harus gimana?”keluhnya dalam hati. Saat ini, mereka sedang menikmati indahnya sunset di rooftop sebuah Mall. Davi menghela napasnya. Ia merasa hari ini seperti mimpi. Davi menoleh dan meraih lengan Naya, menggenggamnya erat seolah berjanji tidak akan melepaskan tangan itu apapun yang terjadi. "Like a sun, you're my light. Like a sunset, you're my oranye. Like a world, you're my life." Davi mencium tangan Naya bersamaan dengan matahari yang tenggelam. Naya tersenyum lalu kemudian menimpali. "Like myself, you're my breath." Jika boleh jujur, hatinya terasa nyeri mengatakan hal tersebut. Tapi, sebisa mungkin ditahannya. Sebisa mungkin ia bisa bersikap biasa. "Nay?" "Ya?" "Gue mungkin bakal lebih posesif setelah ini," ujarnya dengan suara yang berat. Naya paham. Tadi, saat mereka sedang menikmati es krim tiba-tiba ada pesan masuk dari ponsel Naya. Di situ tertera nama Sam dan Davi melihatnya. Meskipun Naya sudah menjelaskan siapa itu Sam, Davi tetap pada instingnya sebagai orang cowok. "Gue ngerti." "Jangan bikin gue marah, okay?" Bukan marah, tapi lebih kepada cemburu. Davinya saja yang tidak ingin mengatakannya secara langsung dan lebih suka menggunakan kata 'marah' sebagai penggantinya. "Lo cemburu?" "Ck! Gue bilang marah, Nay. Not jealous!" ralatnya. Naya tertawa. "Nggak. Lo cemburu." "Nggak." "Iya." "Nggak." "Iya. Lo cemburu." "Nggak. Gue nggak cemburu." "Pokoknya lo cemburu!!!" kekeuh Naya masih tidak mau kalah. Davi yang tidak tahan langsung mencubit kedua pipi Naya gemas. "Iya, iya. Gue cemburu. Puas?" "Puas. Banget!" timpalnya sambil tertawa hingga membuat wajahnya memerah. Davi mengacak-ngacak rambut Naya. "Dasar. Pulang, yuk?" Naya mengangguk. "Lo ngekost?" "Iya." "Di mana?" "Nggak jauh dari kampus, kok. Lo sendiri?" "Sama. Nggak ada cowoknya, kan?" "Daaaaav!" Davi terkekeh. "Gue cuman nggak mau punya saingan," katanya enteng sambil memutar stir mobilnya. Naya hanya tersenyum. Entahlah, bersama Davi semuanya terasa selalu ajaib. Ia akui, Davi berhasil membuat dirinya lupa pada satu kenyataan yang paling menyakitkan. Bersama Davi, yang terlihat seolah hanya bahagia dan Naya takut jika ia semakin menikmati kebersamaannya dengan Davi. Karena Naya tahu benar, sekali dirinya terjerat dengan cowok di smpingnya saat ini, maka tidak akan ada kesempatan untuk bisa lepas. Dan pada akhirnya, dirinya hanya akan menyakiti Davi. Ya, Ia tahu itu. Naya juga teramat paham, bagaimana cowok itu begitu lihai dalam menawarkan bahagia. Seakan cukup ada di sampingnya, di dekatnya, dan bersamanya, semua akan tetap baik-baik saja. Tapi itu dulu, jauh sebelum satu kejadian terjadi. Jauh sebelum semuanya berubah. Jauh sebelum kenyataan pahit membayangi setiap langkah Naya saat ini. Dan saat Davi mengetahuinya, Naya yakin ia tidak akan lagi menjadi Davi yang sama. Yang mencintainya begitu besar, yang menganggap dirinya segalanya, yang bersedia berkorban untuknya, yang ... bahkan Naya tidak bisa menyebutkannya satu persatu. "Dav?" "Iya, Nay? Kenapa?" "Jangan benci gue apapun yang terjadi, ya. Jangan benci gue kalau pada akhirnya nanti gue nggak bisa bersama lo," ujar Naya dalam hati, tidak berani mengatakannya langsung pada Davi. "Gak papa. Gue cuman ngerasa kalau hari ini kayak mimpi." Davi yang sedang fokus menyetir pun tersenyum. Ia menoleh sekilas ke arah Naya dan mengulurkan satu tangan untuk kembali membelai rambut gadis itu. "Gue juga. Jangan pernah pergi dari hidup gue lagi ya, Nay." "Iya. Nggak akan." Nggak tahu kalau nanti. Kita liat aja, Dav ... sambungnya dalam hati, merasa sangat bersalah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD