Pertemuan

813 Words
"Cuci piringnya sebelum kau berangkat kerja hari ini!" Setiap pagi suara ini selalu terdengar di telinga Diana sebelum ia pergi bekerja. "Nanti sore saja, Bu. Aku hampir terlambat ini," ujar Diana yang sedang memakai sepatunya di ruang tamu sebuah rumah kontrakan kecil. "Sekarang, Diana! Aku tidak tahan mencium bau busuk itu!" Wanita yang merupakan ibu tiri Diana itu menunjuk ke arah tempat cucian piring yang penuh dengan piring kotor lalu menatap tajam pada putri tirinya. Sementara Diana hanya mendengus lalu berdiri. "Jika tidak tahan bau, seharusnya kalian bisa lebih menjaga kebersihan sedikit saja." Diana melirik kearah ibu tirinya dan juga Liona yang baru saja keluar dari kamar. Liona hanya mencebik mendengarnya. Ia berjalan dengan malas ke arah dapur dan tak menghiraukan suara Diana. "Kau! Memang anak yang tak tahu di untung!" cetus Sovia. "Sudahlah! Aku harus berangkat bekerja, tolong jaga ayah dengan baik. Nanti malam jika aku pulang aku akan bawakan makanan untuk kalian." Diana berkata sambil berlalu ke kamar ayahnya untuk berpamitan. "Diana berangkat, Ayah." Gadis dengan rambut sepinggang itu mencium punggung tangan dan juga kening ayahnya dengan lembut. "Hati-hati Diana," balas Hendra dengan lirih. "Jangan lupa untuk belanja kebutuhan dapur!" Sovia berjalan sambil bersedekap dibelakang Diana yang menuju keluar. "Tenang saja, asalkan kalian menjaga ayahku dengan baik aku tetap memenuhi kebutuhan kita," jawab Diana tanpa menoleh kebelakang. Ia terus berjalan lurus kedepan, menyusuri jalanan setapak yang berlubang-lubang karena aspalnya sudah rusak. Butuh waktu setengah jam bagi Diana untuk berjalan kaki menuju restoran tempat kerjanya. Kakinya sudah terbiasa berjalan sejauh itu setiap hari, tanpa mengeluh juga tanpa drama. Sejak ditinggal oleh ibunya, hidup Diana seolah seperti tak punya pilihan. Ia harus menjalani apa saja yang tidak ia inginkan dan sukai. Ciiiitttt!! Sebuah mobil terpaksa berhenti mendadak karena seorang gadis menyeberang tanpa melihat kiri kanan. Seseorang turun dan berdiri berkacak pinggang dihadapan Diana yang sedang duduk berjongkok karena kakinya terasa lemas. "Apa Anda tidak punya mata, Nona?" tanya seseorang dengan suara dingin. Diana membuka wajahnya yang tadi ia tutupi dengan telapak tangannya. Melihat siapa orang yang tengah berbicara padanya. "Ma-maafkan saya," ujarnya meminta maaf pada pria berpakaian rapi lengkap dengan jasnya. "Menyingkir lah! Anda sudah membuang waktu Tuan saya." Lelaki itu dengan gaya angkuhnya menyuruh Diana untuk pergi. Tatapannya begitu dingin. "Sombong sekali," gumam Diana lirih, namun masih cukup jelas didengar oleh orang dihadapannya. "Anda mengatakan sesuatu?" "Tidak! Aku tidak mengatakan apapun. Ah ya, silahkan pergi! Waktuku juga terbuang sia-sia gara-gara kalian." "Willy!" panggil seseorang dari dalam mobil. Sepertinya pria itu sangat berkuasa. Lihat saja, orang yang tadi angkuh dan dingin kepada Diana langsung tergopoh-gopoh menghampirinya. "Jangan buang waktuku demi meladeni gadis itu!" Suara pria di dalan mobil itu terdengar jelas karena ia membuka jendela mobilnya. "Hei, Tuan. Siapa juga yang ingin menyita waktumu? Aku juga merasa sangat dirugikan atas kejadian ini. Aku harus bekerja, kalian tahu?" Diana berkata dengan bersungut-sungut. Gara-gara hal ini ia terancam telat sampai di tempat kerja. Deg ... Willy yang merupakan asisten pribadi dari pria yang ada di dalam mobil itu merasa terkejut atas keberanian gadis yang hampir dia tabrak itu. Apa gadis itu tidak tahu siapa orang yang berada di dalam mobil ini? gumamnya dalam hati. Gawat! Kalau tuan muda sampai tersinggung bisa habis kau Nona, lanjutnya. "Willy! Bawa gadis itu kemari!" perintah Raymond dari dalam mobil. "Baik, Tuan." Willy dengan cepat menghampiri Diana dan memegang lengannya dengan erat. "Hei! Apa yang kau lakukan? Aku bisa berteriak dan akan ku buat kau celaka, kau tahu?" ancamnya seraya memasang wajah galaknya pada asisten Raymond. Namun hal itu justru terlihat imut. "Masuk!" perintah Willy seraya membuka pintu. "Tidak mau! Kalian berusaha menculik ku, hah?" Diana berusaha melawan dan berontak. "Asal kalian tahu, jika aku bisa membuat kalian berdua dalam masalah jika berani membuat masalah padaku, apalagi berani menculik ku!" "Cepat masuk atau kau akan kehilangan pekerjaanmu!" Pria dalam mobil itu berkata dengan dingin dan angkuh. Seketika Diana teringat pada pekerjaannya. Ia mematung. "Benar juga apa yang dia katakan. Tapi kalau mereka berniat jahat padaku bagaimana?" gumam Diana dalam hati. Ia menatap pria yang membuang pandangannya ke luar jendela. "Tidak perlu kau amati wajahku, cepat masuk!" perintahnya lagi. Sementara Willy mendorong tubuh mungil Diana itu agar masuk ke dalam mobil mewah itu. Dingin ... Terasa dingin sekali di dalam mobil itu. Bahkan bukan hanya dingin, tapi udara didalamnya terasa begitu menekan. Aura dari orang yang duduk disampingnya terasa begitu dominan dan terasa semakin menekan. "Katakan kemana tujuan Anda, Nona!" Willy membuka suara. "Restoran Anggrek," jawab Diana dengan cepat. Setelah itu hanya ada keheningan. Tidak ada basa-basi atau obrolan apapun. Hanya hembusan nafas dari masing-masing mereka bertiga. Diana melirik sekilas pada pria disampingnya. "Astaga! Tampan sekali," gumamnya. "Jangan lancang memandang wajahku!" Tiba-tiba lelaki berhidung mancung itu membuka suara. Diana jadi gelagapan karenanya. Ia segera membuang pandangannya ke bawah. Tidak sadar sudah berapa lama ia memandangi wajah tampan itu tadi. Malu sekali rasanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD